Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Calon BEM UI 2020 Paparkan Crisis Center Kekerasan Seksual di Kampus
22 November 2019 23:47 WIB
Tulisan dari Redaksi Suara Mahasiswa UI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sesi tanya-jawab pada eksplorasi Calon Ketua dan Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) 2019 di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) pada Rabu (20/11) ramai oleh pertanyaan audiens. Salah satu pertanyaan yang diangkat adalah mengenai kebijakan undang-undang perlindungan korban kekerasan seksual di kampus, atau Crisis Center, yang dicanangkan Ari Kuncoro selaku rektor terpilih. Crisis Center tersebut diharapkan dapat memberi perlindungan kepada korban kekerasan seksual. Selain itu, penanya juga mempertanyakan tanggapan para Pasangan Calon (Paslon) terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Paslon nomor urut 3, Fajar Adi Nugroho dan Tri Rahmawati, menyatakan kesetujuannya terhadap upaya perlindungan korban kekerasan seksual di UI.
“Saya dan Fajar tentunya akan sangat amat mendukung adanya Crisis Center ini, berdasarkan saya melihat perspektif dari perempuan. Ini adalah satu hal yang sangat penting,” ujar Tri.
Selain itu, paslon ini juga mengkritik sistem pengaduan kekerasan seksual yang berlaku sekarang. Sistem tersebut memproses aduan dengan melaporkannya ke Sistem Pelayanan Terpadu, yang membuat penanganan kasus menjadi tidak efektif. Demikian juga mengenai RUU PKS, paslon ini menyatakan pentingnya upaya advokasi korban. Korban kekerasan seksual seringkali mendapat respons serta stigma yang tidak mengenakan dari aparat.
Tanggapan senada mengenai Crisis Center juga dilontarkan oleh paslon 1, yaitu Ahmad Fauzy dan Kabul Hidayatullah atau yang sering disapa Oji-Kabul. Selain mendukung Crisis Center, mereka mendorong adanya pemantauan secara optimal terhadap kebijakan-kebijakan mengenai kekerasan seksual guna memperbaiki sistem yang ada hingga seluruh laporan kekerasan seksual di kampus terwadahi.
ADVERTISEMENT
“Dan ini adalah gimana caranya bagi kita di sini untuk bisa mengawal segala kebijakan yang dibawa dan mengawal beberapa hal-hal yang belum maksimal (terkait penanganan kekerasan seksual di kampus—red),” jelas Fauzy.
Sedangkan mengenai RUU PKS, Fauzy menyatakan bahwa terdapat beberapa hal dalam RUU PKS yang harus direvisi karena bertentangan dengan Pancasila, tepatnya sila pertama dan sila kedua. Hal tersebut dikarenakan RUU PKS mendorong adanya pendidikan seks di tingkat SD. Menurutnya, pendidikan seks seharusnya diberikan oleh keluarga, bukan instansi pendidikan dasar.
“Dan menurut kami, hal-hal seperti ini yang harusnya lebih ditekankan oleh pemerintah, bagaimana pendidikan-pendidikan seksual ini disampaikan dalam lingkup ring yang paling dekat dengan seorang anak, yaitu keluarga,” katanya.
Namun, ia dan wakilnya tetap mendukung sahnya RUU PKS, dengan catatan adanya revisi terhadap pasal-pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Paslon nomor urut 2, M. Risky Altaresh dan Camar Maulana atau yang kerap dikenal Ares-Camar juga melihat kekerasan seksual dalam kampus sebagai sebuah urgensi yang harus ditanggapi serius. Mereka melihat adanya kecenderungan pihak-pihak internal kampus untuk menyembunyikan kasus kekerasan seksual alih-alih menyelesaikannya. Oleh karena itu, peran Crisis Center harus dioptimalkan.
“Seharusnya kita bisa menjaga nama baik universitas justru dengan penanganan-penanganan pelecehan seksual, bukan dengan menyembunyikannya,” ujar Camar.
Penulis: Nada Salsabila
Kontributor: M. Aliffadli, Satrio Alif
Foto: Muhamad Aliffadli
Editor: Kezia Estha T.
Pers Suara Mahasiswa UI 2019
Independen, lugas, dan berkualitas!