Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mahasiswa Seharusnya
2 April 2022 19:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Chris Wibisana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KATA orang, mahasiswa itu kompas moral sebuah republik. Maksud kata-kata ini tak perlulah dijelaskan. Intinya, mahasiswa mesti ikut bunyi kalau politik sudah hamil tua. Yang tidak bunyi, yang menyelinap ke kafe, harus dicibir dan disindir, karena itu pertanda nuraninya mati. Kalau negara kita ibarat sebuah rumah, mahasiswa adalah giwang nyonya: sewaktu sulit bisa digadai, setelah beres, bisa ditebus.
ADVERTISEMENT
Sejarah garansinya. Lihat saja tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998. Itu empat tahun keramat dalam sejarah gerakan mahasiswa. Saat itu, pemuda tanggung yang memegang kartu mahasiswa mendadak kena setrum hawa politik yang pengap dan bau bacin. Berduyun-duyun mereka keluar dari kampus, membentangkan spanduk dan mengusung panji-panji, berteriak dekat kuping penguasa sampai yang diteriaki merah dan tipis daun telinganya. Orang-orang di pinggir jalan cepat terpesona dan menyoraki mahasiswa, sang pahlawan yang datangnya lebih cepat dari kopi tubruk di warung Haji Darga.
Tetapi, biar diagungkan setinggi Burj Khalifa, mahasiswa tak jarang terkena sindrom Warkop: maju kena mundur kena. Apalagi pemerintah sekarang semakin lihai mengelabuhi mahasiswa lewat tawaran segambreng kesibukan alternatif berkedok pengembangan soft skill itu.
ADVERTISEMENT
Sekarang, dengan iming-iming cepat kerja, demonstrasi berpanas-panasan kelihatan sebelas-dua belas dengan artefak di museum: tak menarik dan dirasa tak penting lagi. Organisasi yang menuntut tarik urat tapi tak menambah uang saku dipinggirkan. Istilah “gerakan mahasiswa” sudah mirip kerupuk kena siram kuah bakso, tidak menyeramkan dan dianggap kuno.
Karenanya, jangan heran kalau demonstrasi “Mahasiswa Melawan” yang digelar BEM-SI Senin kemarin dan longmarch Aliansi Mahasiswa Indonesia hari Jumat setelahnya terhitung istimewa, meski dari jauh tetap mirip parade sinyo ngos-ngosan. Kedua aksi itu, seperti biasa, tidak digubris penguasa dan dianggap lalat langau yang nanti lewat sendiri. Mereka yang berorasi dengan wajah berbedak debu dipandang separuh lelembut. Lain dengan Kelompok Cipayung Plus yang tiba dengan senyum politikus di bibir, berpakaian necis, dan menyiapkan berantang-rantang pujian malu-malu untuk program pemerintah di tembolok, siap dikeluarkan kalau diminta bicara.
ADVERTISEMENT
Gerakan mahasiswa yang sekarang kembang-kempis seperti odading itu juga harus kuat-kuat menerima komentar orang-orang tua pemakai media sosial, yang rata-rata heran dan kecewa, meski tak sedikit yang ikut bersuit-suit. Buat orang-orang tua, mahasiswa seharusnya melewati jalan yang lempang saja: kuliah yang benar, dapat nilai yang bagus, cepat lulus, dan segeralah masuk kandang marmut multinasional dan jadi tenaga kerja. Tidak usahlah ikut-ikutan unjuk rasa. Diam-diam saja di kelas. Keluar saja kapan-kapan, bagaikan senter yang hanya keluar laci kalau PLN menggilir pemadaman.
Bagaimanapun, harapan orang tua agar mahasiswa mengurangi demonstrasi dan pulang ke habitatnya di fakultas bertujuan baik. Hanya saja, mahasiswa punya penilaian lain. Maklum, isi otak tiap orang tak ada yang sama. Barangkali mahasiswa menganggap demonstrasi adalah kemewahan warga negara, yang tidak bisa dinikmati kalau gaji sebulan sudah balapan dengan cicilan. Maka, selama bisa, dinikmati saja dulu.
ADVERTISEMENT
Di luar masalah demonstrasi yang harus dilakoni sampai ngos-ngosan itu, patut juga gerakan mahasiswa diapresiasi, karena isu penting yang dibawanya: tolak penundaan Pemilu. Wah, ini tanda kesadaran politik tingkat tinggi. Dan, meski tak seberapa, demonstrasi itu cukup menjadi bukti mahasiswa masih bisa bersuara dan demokrasi baru teler sedikit, belum knock-out seperti kecemasan ilmuwan sosial-politik.
Pertanyaannya satu: apakah setelah demonstrasi ngos-ngosan itu, upaya menghalau penundaan Pemilu ikut melempem? Asal tahu saja, untuk menghadang kelicikan setingkat menunda Pemilu butuh lebih dari sekadar demonstrasi sekali kelar. Tetapi di sini pun terjadi masalah. Mahasiswa memilih mengambil jalan sendiri dan menolak didikte pemerintah. Itu betul. Tetapi jalan yang bagaimana? Sebagai warga negara, mahasiswa harus ambil sikap kalau konstitusi mau dikencingi demi kepentingan yang berkuasa. Tapi, bagaimana menggambarkan sikap yang harus diambil itu?
ADVERTISEMENT
Bagi saya, jawabannya gampang. Bayangkan saja sikap orang Kwitang kalau Makam Habib Ali Alhabsyi terancam dirusak orang. Sudah. Tiru saja itu. Begitulah sikap mahasiswa seharusnya dalam melindungi konstitusi, seperti orang Kwitang melindungi Makam Habib Ali. Kalau orang Kwitang pasang badan dan rela taruhan nyawa demi kehormatan Habib Ali, mahasiswa juga siap pasang badan demi kehormatan konstitusi. Kalau orang Kwitang siap cabut golok di saat makam itu terancam, begitupun mahasiswa harus siap cabut golok kalau politisi sudah siap-siap menurunkan ritsluiting buat mengencingi konstitusi. Keteladanan tak harus jauh dari itu. Gambaran takzimnya orang Kwitang kepada Habib Ali sudah lebih dari cukup untuk dicontoh mahasiswa dalam menghormati konstitusi sampai tulang rusuk. Jangan lupa, dengan membela konstitusi berarti Saudara ikut membela tanah air, bangsa, negara dan lima dasarnya.
ADVERTISEMENT
Cara membuktikan kesiapan itu juga tidak susah. Kalau Saudara anggap membela negara itu harus panggul bedil, sekarang juga Saudara sudah memiliki bedil: media sosial. Kirimlah spam sebanyak-banyaknya ke kanal akun resmi politisi-politisi itu. Retas kalau perlu. Jika selama ini Saudara menentang perundungan, sekali ini pergunakan hak Saudara merundung politisi tak tahu diuntung itu. Kalau demonstrasi tak digubris, dan surat resmi cuma masuk tong sampah resepsionis, barangkali mereka baru sudi membaca kalau kita mengirim surat kaleng. Jangan lupa, dengan meneror politisi-politisi tak tahu diri itu, suatu gerakan politik alternatif telah lahir—gerakan menyampaikan aspirasi secara lugas tanpa banyak cingcong.
Tetapi apakah etis? Apakah sesuai dengan sopan-santun budaya Timur dan budipekerti luhur? Ah, ini dia benalunya. Sudah kelewat lama pemerintah mengekang aspirasi politik anak muda di balik kelambu etika, sopan-santun, budi luhur, dan perangkat tatakrama ini-itu, seolah-olah tanpa itu semua, anak muda tumbuh seperti binahong, menjalar ke mana-mana tak tentu arah. Moral memang penting, tapi jangan sampai jadi pegangan satu-satunya. Nyatanya, akal sehat dan nurani yang peka pada penderitaan rakyat jauh lebih dibutuhkan daripada tatakrama.
ADVERTISEMENT
Pula, siapa masih mereken sopan-santun kalau politisi saja sudah tak memilikinya? Jangankan dipraktikkan, ide menunda Pemilu saja sudah merupakan pornografi politik yang menjijikkan. Syukur, masih ada mahasiswa istikamah berdebu-debuan di jalan, kebal janji-janji bikinan yang berkuasa. Walau sampai ngos-ngosan, demonstrasi pekan lalu menegaskan pornografi politik tidak bisa terus-terusan jadi bahan tontonan.
Sekarang, tinggal bagaimana menjaga gerakan mahasiswa tidak sekadar menggertak di depan, lantas bubar tengah jalan seperti layar tancap kena gerimis. Itu berarti, sudah waktunya mahasiswa memberi politisi kuliah sekali lagi bahwa kedaulatan masih kita yang pegang dan kedaulatan itu selamanya takkan berpindah tangan.