Konten dari Pengguna

RKUHP: Resep Baru untuk Si Bayi Besar

Chris Wibisana
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Kontributor Reguler Tirto.ID. Humanis. Sosialis Demokrat.
3 Juli 2022 18:09 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chris Wibisana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demonstrasi Menolak RKUHP (Sumber: ANTARA Foto)
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi Menolak RKUHP (Sumber: ANTARA Foto)
ADVERTISEMENT
Berlalu sepekan sejak ajakan demonstrasi Menolak RKUHP dari Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) BEM berseliweran di kanal sosial media dan grup kelas, seorang teman tiba-tiba mengaku kecewa pada saya. Katanya, sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, saya dianggap egois dan tak acuh.
ADVERTISEMENT
"Kalau lo peduli, seharusnya lo ikut turun [demonstrasi] kemarin. Itu tanda kita sadar situasi dan peduli sama bangsa ini," ujarnya. Saya cuma membaca pesan itu dan sampai tulisan ini dibuat, saya malas menanggapi ataupun membalasnya. Bukan saya tidak peduli dengan undang-undang simsalabim yang sudah bermasalah sejak dikandung dalam pikiran itu, tetapi saya memiliki cara lain untuk bersikap.
Dalam kesempatan "dianggap-tidak-acuh" atau "dianggap-sok-edgy" yang tidak sekali saya alami ini, saya lebih sering berkaca pada prinsip yang saya pegang. Tidak perlu bersusah-susah menerka apa "ideologi" dan cara pandang saya terhadap sesuatu, Anda bisa mengetahuinya lewat lagu SWAMI tahun 1991 bertajuk "Hio".
Saya akan kutip satu baris lirik lagu tersebut, yang mampu merangkum sikap yang saya tempuh tiap kali diajak ikut menyatakan sikap, berdemonstrasi, ataupun diajak meliput demonstrasi mahasiswa sebagai wartawan pers kampus:
ADVERTISEMENT
Ya, itu saja.
Saya tidak mau bicara (atau mengadvokasi, atau menolak, atau mendukung) sesuatu yang belum saya ketahui. Tetapi tidak berarti, saya bangga dan bertahan dengan ketidaktahuan. Saya merasa perlu mencari tahu apa yang sebenarnya ditolak dari RKUHP, bukan saja pasal-pasal keluaran, proses yang tidak transparan, atau ancaman yang timbul jika undang-undang ini dikeluarkan.
Saya berusaha menemukan jawabannya mulai dari awal sekali: mengapa kita perlu memperbarui KUHP, siapa yang terlibat, kepentingan apa dan siapa yang dibawa, dan apa tujuan pembaruan itu. Secara baik sekali, sebuah konsorsium 9 lembaga mencoba untuk menjelaskannya dalam sebuah seminar daring bertajuk "Konsultasi Nasional" yang dilaksanakan pada 22-23 Juni 2022 lalu.
ADVERTISEMENT
Saya coba memulainya dari Panel 1, bertajuk "Tujuan Pembaruan RKUHP". Barangkali, karena mendengarkannya sambil mencuci piring, rincian isi tersebut tidak berhasil saya tangkap. Tetapi sebagai usaha keluar dari ketidaktahuan, saya berusaha mencerna 1 jam pertama dari panel berdurasi 3 jam itu. Harapan saya, ada pencerahan yang saya dapat jika mencerna pandangan para pakar hukum ini.
Sebuah harapan yang ternyata zonk.
Terlalu banyak pertanyaan yang timbul di kepala daripada jawaban atau pencerahan. Karena saya tidak berhasil menemukan orang yang cocok untuk menjelaskannya, saya akan bertanya lewat tulisan saja. Siapa tahu, pertanyaan saya bisa dijawab lebih ringkas dan terang daripada uraian hukum serba njelimet dan beranak-ular yang tidak jelas mana buntut dan mana kepalanya.
ADVERTISEMENT
Pembaruan Coba-Coba
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya tahu bahwa semua pembicara dalam seminar tersebut adalah orang-orang yang sudah kenyang makan bangku sekolahan. Kalau Anda tidak percaya, cium saja bau mulutnya: pasti bau pelitur.
Yang saya sayangkan, banyaknya bangku sekolah yang sudah digragoti orang-orang itu tak menjamin mereka berhasil menjelaskan masalah secara sederhana dan gampang ditelan orang kebanyakan, baik yang sudah cerdas maupun yang belum. Alhasil, penjelasan tentang tujuan pembaruan RKUHP sama sekali tidak menghasilkan kejelasan, padahal ialah indung semua kebingungan dan protes yang menggemuruh selama beberapa waktu terakhir.
Penjelasan pertama yang membuat saya melongo adalah penjelasan Prof. Dr. Pujiyono dari Universitas Diponegoro dan Anugerah Rizki Akbari, M.Sc dari STIH Jentera. Penjelasan keduanya berpaut satu sama lain, yang saripatinya hendak menyatakan bahwa pembaruan RKUHP bertujuan "mendekolonialisasi" unsur-unsur nilai "Belanda" yang diwariskan dalam KUHP dan merehabilitasi KUHP yang saat ini disebut "tambal-sulam".
ADVERTISEMENT
Sebagai gantinya, rancangan undang-undang KUHP baru berusaha menyuntikkan infus "nilai-nilai keindonesiaan" dan living law dalam masyarakat ke dalam aturan pidana. Sebagai contoh, kata Prof. Pujiyono, adalah nilai-nilai individualisme dan liberalisme yang tidak cocok dengan masyarakat Indonesia, sehingga harus diganti dengan paradigma "monodualisme" yang khas Indonesia.
Sampai di sini, saya menggumam dalam hati: apa yang salah dengan individualisme? Mengapa individualisme harus ditolak karena "tidak sesuai" dengan nilai keindonesiaan? Saya orang Indonesia dan saya terus-terang mengakui diri individualis, sebab saya berkuasa untuk menentukan pilihan pribadi saya sendiri dan setiap pilihan itu pertama-tama saya pantulkan ke dalam diri saya sendiri, apakah baik dan menguntungkan ataukah buruk dan merugikan. Lain orang tidak perlu berurusan dengan pilihan itu, seperti saya peduli setan dengan pilihan orang lain.
ADVERTISEMENT
Sejauh yang saya pahami, demikianlah karakter penduduk di semua masyarakat yang berhak menyandang gelar "madani" (civilized). Ada pagar dalam diri setiap orang yang tidak berhak dilanggar orang lain. Penghormatan pada pagar orang lain dilakukan, sama keras dengan usaha setiap orang menjaga pagarnya sendiri. Jangan melompat pagar orang lain jika Anda tidak ingin pagar Anda dilompati orang lain. Itu adalah pengertian yang lazim di seluruh dunia tentang individualisme.
Ilustrasi Individualisme (Sumber: MJGraphics/Shutterstock)
Tentu, pengertian lazim itu berbeda dengan arti individualisme yang diajarkan di Indonesia, yang memburuk-burukkan individualisme sampai digunakan bergantian dengan egoisme, seolah keduanya pinang dibelah dua. Mengenyahkan individualisme, pada akhirnya, akan sama saja dengan membabat hak asasi manusia, sebab yang terakhir lahir dari gagasan bahwa pilihan tiap individu harus dihormati dan pemerintah berkewajiban mengakomodasinya.
ADVERTISEMENT
Pula dengan membangkitkan diskursus tentang pelibatan hukum adat. Terkait satu ini, Prof. Sulistyowati Irianto dari Fakultas Hukum UI menulis Opini di harian KOMPAS edisi 27 Juni 2022, yang mewanti-wanti agar living law jangan dikecilkan sebagai hukum adat saja, tetapi sebagai hukum yang hidup di masyarakat dan bersilang dengan hukum-hukum lain membentuk pluralisme hukum.
Pula, "hukum adat" dan pemberlakuannya di aras formal berpotensi memasung cita-cita Indonesia sebagai proyek bersama, mengingat ia adalah bagian dari politik hukum kolonial yang pertama kali dibawakan Van Vollenhoven untuk membendung politik Islam di zaman penjajahan. Terkait ini, saya akur saja dengan uraian Prof. Sulistyowati dalam opininya bahwa pemuliaan hukum adat tiada lain dilakukan dengan memuliakan masyarakat adat, menjaga hak-haknya, dan menghormati tanah ulayat yang sudah mereka warisi 15 keturunan walau sonder sertifikat.
ADVERTISEMENT
Menyuntikkan "nilai-nilai keindonesiaan" sebagai ganti "corak kolonial" dalam hukum pidana pun menjadi gagasan yang tidak kalah runyamnya dengan dua ide di atas. Apa itu "nilai keindonesiaan"? Apakah "keindonesiaan" adalah sebuah proyek yang sudah selesai, sehingga "nilai"-nya bisa diambil? Kalau sudah selesai, buat apa? Kalau belum selesai, mengapa diambil?
Tendensi ini bisa berakhir mengenaskan kalau praktiknya akan semata-mata menduduki hukum pidana dengan semak-belukar jargon nasionalisme dan kebangsaan yang ndakik-ndakik, tetapi lupa bahwa saripati hukum tidaklah terletak pada corak atau semangat yang dimilikinya, melainkan pada fungsi utamanya yaitu mengadakan kepastian hukum bagi setiap kepala — yang sampai hari ini masih sumir keberadaannya di Indonesia.
Dari tiga butir sederhana di atas, coba-coba RKUHP sudah kelihatan compang-camping, bahkan sejak berupa gagasan dasar. Inilah yang menurut saya harus ditolak, yaitu gagasan yang jatuh dari langit dan serta-merta dieksekusi tanpa diketahui publik. Kecuali KUHP itu kelak cuma berlaku di dalam Gedung Nusantara Senayan, saya merasa perlu mengetahui aturan macam apa yang sebentar lagi akan membetot leher saya dan leher 270 juta warga negara Indonesia lain.
ADVERTISEMENT
Si Bayi Besar?
Air gagasan pembaruan RKUHP yang keruh dan jaminan kepastian hukum yang sumir tertutup kabut keinginan menggebu-gebu untuk merombaknya menghasilkan sepotong gambaran suramnya masa depan warga negara saat air tersebut mengkristal dalam draft yang disebut "belum selesai", meski bau bacinnya sudah tercium dari jarak Jakarta-Bandung.
Kekhawatiran pertama, dan jadi yang paling kencang disuarakan, adalah hilangnya kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai amanat Pasal 28 dan 28E Konstitusi, akibat pemberlakuan sejumlah pasal karet yang multitafsir, lebih-lebih oleh aparat hukum yang berkuping tipis dan kurang banyak membaca, dus sewaktu-waktu bisa menekuk leher Anda karena perbedaan interpretasi terhadap sebuah pemikiran yang disampaikan secara lisan maupun tulisan.
Selain menghilangnya kebebasan berekspresi, hak-hak individu terancam ikut disate karena hukum diberi karpet merah untuk mengintervensi masalah-masalah yang sangat pribadi, seperti siapa yang Anda tiduri di ranjang (sudah pakai akte atau belum, ber-KTP satu atau beda alamat), bagaimana masa depan janin yang Anda kandung (diizinkan hidup atau diaborsi di tengah jalan), ke mana unggas Anda hendak berjalan (jangan sampai melangkahi tanah orang), sampai alat kontrasepsi yang harus Anda sembunyikan (karena konon bisa membikin anak-anak Anda berotak mesum dan menjadi pelaku casual sex di masa depan).
ADVERTISEMENT
Belum lagi, RKUHP menggariskan Anda untuk menjaga kehormatan Presiden di muka umum. Artinya, bagaimanapun jengkelnya Anda pada Presiden, Anda hanya boleh menggebuki bantal dan guling di kasur masing-masing dengan membayangkan wajah Presiden. Di luar kasur, betapapun Anda jengkel setengah mati, kepala negara tidak boleh kehilangan hormatnya karena kritik yang Anda sampaikan.
Last but not least, Pasal 156A yang sudah jadi fosil di berbagai negara, kini masih terus dipelihara atas nama kerukunan beragama. Aha! Ini dia jenis baru contradictio in terminis a la Indonesia: bercita-cita menjadi negara maju dengan memelihara sebuah pasal dari zaman kegelapan, yang sudah ditinggalkan lebih dari 120 negara di dunia.
Saya tidak mau ikut-ikutan menolak RKUHP sebagai produk hukum yang compang-camping. Sebagai warga negara yang individualis, yang sadar akan harga kebebasan saya sebagai anak-anak pasca-Reformasi, dan yang diberkati pemahaman hak sipil dan politik terstandar ICCPR, saya tidak menyetujui RKUHP sejak masih berupa gagasan.
ADVERTISEMENT
Mustahil ide-ide yang semrawut dan tidak beres akan menghasilkan produk hukum yang mampu melindungi semua warga negara tanpa merampas kebebasannya. Tidak akan ada kepastian hukum, jika aturan main dibikin cacat dan sembarangan.
Jika pegangan hukum sudah kesurupan ketakutan a la negara Hobbesian, tidak mungkin kepala Anda bisa tegak sebagai warga negara, sebab aturan membikin Anda sederajat dengan ternak yang harus tunduk pada kehendak yang berkuasa, betapapun kekuasaan itu manipulatif, korup, dan menindas (*)