Tutupnya Perpustakaan Nasional, Sebuah Tragedi

Chris Wibisana
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Kontributor Reguler Tirto.ID. Humanis. Sosialis Demokrat.
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2021 22:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Chris Wibisana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Medan Merdeka Selatan 11, Jakarta (perpusnas.go,id)
zoom-in-whitePerbesar
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Jalan Medan Merdeka Selatan 11, Jakarta (perpusnas.go,id)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
SUDAH dua bulan berjalan ini, saya punya ritual baru setiap Senin malam. Bukan pacaran atau menghabiskan waktu dengan menonton film di Netflix, tetapi menunggu sebuah pengumuman: apakah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat diperpanjang atau tidak?
ADVERTISEMENT
Dua bulan menjalankan ritual ini, 99% isinya kekecewaan belaka. Tak ada kebijaksanaan berarti, selain mengulur-ulur waktu. Kasus harian memang turun (bagaimana tidak, pengambilan spesimen dikurangi), tetapi angka kematian tidak pernah kurang dari 1.000 jiwa per hari. Dalam seminggu ini saja, misalnya, jari saya sudah terlatih menulis "turut berbelasungkawa" dan "selamat jalan" lebih dari 20 kali.
Tragedi kematian orang-orang yang kita kenal memang tidak dapat lagi dicegah. Penanganan separuh-separuh dan kebijakan yang pertama-tama dilakukan untuk mencari keuntungan, membuat rakyat bertahan dengan pegangan seadanya.
Yang kehilangan pegangan punya dua pilihan: menghabiskan tabungan atau mencari pekerjaan. Tidak dapat kerja yang halal, yang haram pun diambil. Apa boleh buat? Kepada negara yang tuli dan berjalan sesuai dikte orang-orang kaya, sekeras apapun orang-orang miskin meraung, tetap hanya akan menghasilkan kerusakan pita suara.
ADVERTISEMENT
Kelaparan, wabah yang sesungguhnya itu, bersarang di dua tempat: di perut dan di otak. Kelaparan pada perut mengerikan, tapi kelaparan di otak, walau tidak terasa sekarang, dampaknya jauh lebih mengerikan. Tukak pada lambung menyakitkan buat diri sendiri, tetapi tukak pada akal sehat bisa membawa mala buat orang banyak.
Dan kalau kami menyebut tragedi ketiga yang harus kita tanggung sesudah kematian orang-orang tercinta dan ancaman kelaparan perut adalah kelaparan otak itu, karena Perpustakaan Nasional sudah tutup sejak 24 Juni dan layanan di tempat tidak buka sampai tanggal 30 Agustus. Entah kalau akan diperpanjang untuk kesekian kali.
Pemberitahuan penutupan Perpustakaan Nasional di laman InstaGram
Menurut keterangan yang kami peroleh di laman InstaGram Perpustakaan Nasional, penutupan itu seiring pemberlakuan PPKM. Ditutup mulai 24 Juni, persis tanggal 23 Juni saya masih berkunjung mencari bahan-bahan untuk artikel mingguan. Untungnya tanggal 23 itu saya tidak meminjam buku untuk dibawa pulang.
ADVERTISEMENT
Dengan perpanjangan penutupan pada tanggal 23 kemarin, genap dua bulan perpustakaan tutup. Kalau sehari, katakanlah, ada 500 pengunjung yang membutuhkan layanan koleksi monograf tercetak (yang sebagian besar tidak ada di iPusnas), kira-kira ada 25.000 orang yang tidak terlayani kebutuhannya, termasuk saya.
Dan jumlah ini akan bertambah terus, kalau perpanjangan PPKM tidak memperhatikan kebijakan penutupan perpustakaan tertinggi di dunia ini.
Karena Ekonomi?
Sejauh ini, tidak ada alasan yang lebih memuaskan, baik dari Perpustakaan Nasional RI maupun dari pemerintah pusat mengenai alasan ditutupnya khazanah ilmu terbesar kita itu sampai begitu lama.
Dengan jangka waktu lebih dari 2 bulan penutupan, maka Perpustakaan Nasional sampai begitu jauh kehilangan fungsinya untuk melayani kebutuhan akses bacaan yang baik, terutama warga ibu kota, mahasiswa, akademisi, maupun penulis lepas seperti saya, yang gelagapan kalau kekurangan bahan dan referensi saat menulis.
ADVERTISEMENT
Saya insaf belaka kalau di pusat perbelanjaan, keramaian yang tercipta memiliki kompensasi perputaran uang dalam jumlah yang cukup besar. Ada aktivitas ekonomi yang terjadi di sana, dan tentunya mendatangkan nominal pajak yang lumayan bagi kas negara.
Lain dengan Perpustakaan Nasional. Sebagai pengunjung setia, kami catat hanya dua aktivitas ekonomi yang terjadi: pembayaran denda dan pembelian makanan dan minuman di lantai empat. Selebihnya, orang diberi keleluasaan memanfaatkan waktu 8 jam sejak buka sampai tutup, melahap sekuatnya bacaan di sana. Gratis, selama Anda anggota terdaftar.
Jika asumsi ini benar, yaitu pusat perbelanjaan dibuka dan perpustakaan ditutup semata-mata karena perbedaan dampak ekonomi yang dihasilkannya, sungguh-sungguhlah kerugian yang ditanggung dari penutupan perpustakaan dua bulan jauh lebih besar daripada kerugian penutupan mall, bahkan untuk dua tahun.
ADVERTISEMENT
Rugi finansial yang diderita mall selama dua tahun, bisa kembali dalam dua tahun berikutnya, jika mall itu dibuka dalam keadaan normal. Tetapi rugi moral yang diderita penutupan perpustakaan dua bulan dan tertundanya kerja-kerja kebudayaan akibat hilangnya sumber bacaan tadi, berhadapan dengan kemerosotan kualitas manusia yang tidak selesai dalam satu generasi.
Produksi Lawan Konsumsi
Pada akhirnya, tutupnya Perpustakaan Nasional dan hilangnya akses bacaan yang baik, lengkap, dan gratis untuk masyarakat menghasilkan dampak jangka panjang yang nyata. Kerugian moral, yaitu terbentuknya perilaku konsumtif dalam kepribadian seseorang, secara akumulatif membentuk budaya gagal memproduksi.
Tidak hanya dalam segi terbatas, yaitu barang dan manufaktur, melainkan produksi pengetahuan, yaitu akses bacaan yang membidani lahirnya pemikiran-pemikiran baru dan orisinal, yang lahir dari pertukaran gagasan dan kebiasaan membandingkan sumber-sumber bacaan.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, akses bacaan bermutu yang gratis dan dapat diakses sepuas-puasnya adalah batu bata dalam pembangunan kebudayaan. Produksi pengetahuan dan kerja budaya di Perpustakaan Nasional adalah usaha membangun peradaban Indonesia.
Kekhawatiran ini pula yang menyebabkan Pramoedya Ananta Toer, dalam wawancara dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira yang kemudian dibukukan dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian (2006), begitu geram. "Di dalam kehidupan keluarga Indonesia sekarang ini, keluarga tidak mengajarkan anak-anaknya untuk berproduksi, mereka hanya diajarkan untuk mengonsumsi saja. Hasilnya adalah rakyat tidak tahu lagi bagaimana cara berproduksi, hanya jadi kuli, jadi suruhan saja dalam hidupnya," gerutu Pram (2006, hlm. 6).
Tragedi nasional yang kita alami sekarang, berupa pandemi, ancaman kelaparan, pemusatan kekayaan di tangan segelintir orang kaya, dan diperparah dengan penutupan sumber kebudayaan, tetapi dibarengi dengan pembiasaan berbelanja terus-menerus (bahkan sampai disediakan fitur utang gaya baru bernama paylater) pada akhirnya memang dipersiapkan membentuk kultur masyarakat yang konsumtif.
ADVERTISEMENT
Sambil meratapi pengumuman tutupnya perpustakaan untuk kesekian kalinya di laman InstaGram Perpustakaan Nasional, saya menebak-nebak akan jadi apa kira-kira, sebuah negara yang memiliki gedung perpustakaan paling tinggi di dunia, tapi kultur membaca dan kemampuan memproduksi pemikirannya berada di tataran paling mengenaskan, yaitu tidak sanggup memproduksi pengetahuan sama sekali?
Perpustakaan ditutup adalah tragedi. Tetapi pusat perbelanjaan dibuka adalah strategi. Dan strategi itu menyiapkan masyarakat konsumtif gagal produksi di tahun 2045 kelak. Memang benar kata orang tua dulu: memelihara kebodohan dan kerakusan lebih gampang daripada mencerdaskan dan mendidik orang berhemat.