Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Keturunan Prabu Brawijaya V yang Gemar Berkelana dan Bertapa
24 Maret 2019 6:44 WIB
ADVERTISEMENT
Ki Demung Plakaran, Sosok Dibalik Berdirinya Kerajaan Madura Barat (Part-1)PortalMadura.Com, Bangkalan - Bagi masyarakat Desa Plakaran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, nama Ki Demung Plakaran tentu tak terdengar asing di telinga.
Beliau adalah leluhur, panutan, sekaligus pemimpin di wilayah Plakaran di abad ke-14.
"Ki Demung Plakaran adalah sosok peletak dasar lahirnya sistem pemerintahan di Plakaran yang waktu itu telah berbentuk kerajaan. Sistem pemerintahan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Madura Barat," ungkap Raden Panji Abdul Hamid Mustari (72) selaku pemangku adat dari garis keturunan Kesultanan Bangkalan.
Era Kerajaan Madura Barat dipimpin13 raja, dari tahun 1531 hingga 1882. Raja pertama adalah Ki Pratanu atau Panembahan Lemah Duwur (1531-1592), sedang raja terakhir adalah Raden Ismael atau Panembahan Cakradiningrat VIII (1862-1882).
Kesemua raja yang pernah memerintah berasal dari garis keturunan Ki Demung Plakaran.
Mengapa disebut Kerajaan Madura Barat? "Oleh karena wilayah kekuasaan Kerajaan Madura Barat yang dipimpin oleh anak keturunan Ki Demung Plakaran meliputi Bangkalan dan Sampang. Sedang di Pamekasan dan Sumenep juga telah berdiri kerajaan. Jadilah Madura terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu Bang Wetan (Sumenep), Bang Tengah (Pamekasan) dan Bang Kulon (Bangkalan dan Sampang)," terang RP. Hamid.
Kesultanan Bangkalan menjadi episode terakhir era Kerajaan Madura Barat. Lokasi keraton atau pusat pemerintahan Kerajaan Madura Barat berada di lima tempat yang berbeda oleh karena ancaman dari kerajaan lain, termasuk pula Belanda.
Di awali dari Keraton Arosbaya, kemudian Keraton Madegan (Sampang), Keraton Tonjung, Keraton Sembilangan, dan Keraton Bangkalan (Kesultanan Bangkalan).
Sejarah mencatat, seperti yang tertuang dalam buku :Sedjarah - Madhura": Sedjarah Tjaranya Pemerintahan Daerah-Daerah Di Kepulauan Madhura Dengan Hubungannya (1954, hal 111-116) karangan R. Zainal Fattah (R. Tumenggung Ario Noto Adikusumo), disebutkan bahwa Ki Demung Plakaran adalah putra dari pasangan Aryo Pojok dan Nyi Ageng Budo.
Jika ditarik silsilah keatas, Ki Demung Plakaran termasuk garis keturunan dari raja Majapahit Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi, yang berkuasa selama 10 tahun (1468–1478).
Uraian singkatnya, Bhre Kertabhumi mempunyai dua anak dari dua istri selir. Dari selir Endang Sasmito Wati melahirkan Ario Damar, sedang dari selir Ratu Dworo Wati yang juga dikenal dengan sebutan Putri Cempa lahirlah Ario Lembu Peteng.
Ario Pojok adalah salah satu yang dilahirkan dari generasi keempat setelah Ario Damar. Sedangkan Nyi Ageng Budo adalah salah satu yang dilahirkan dari generasi ketiga setelah Ario Lembu Peteng.
Putra dari Ratu Dworo Wati ini kemudian hijrah ke Demongan (Sampang), dan menjadi orang yang berpengaruh.
Pernikahan Aryo Pojok dengan Nyi Ageng Budo dikaruniahi dua anak. Anak pertama seorang putri tidak diketahui namanya, yang kemudian dipersunting oleh Pangeran Jamburingin (penguasa wilayah Parupuh, Pamekasan). Sedang anak kedua seorang putra bernama Ki Demung.
"Ki Demung Plakaran dilahirkan di Demongan. Nama asli atau nama lahir beliau belum juga diketahui hingga kini. Pendalaman sejarah terus dilakukan, termasuk perihal sebutan Demung. Jika mengacu pada jenjang kepangkatan pada sistem kerajaan masa itu, Demung atau Demang adalah jabatan tertinggi ketiga setelah Raja dan Patih," papar RP. Hamid pada PortalMadura.Com beberapa waktu lalu.
Apakah sebutan Demung didapat dari daerah asal (Demongan), ataukah setelah menetap di Plakaran? RP. Hamid tak berani memastikan.
"Yang pasti sebutan itu menunjukkan jenjang kepangkatan. Itu artinya Ki Demung Plakaran adalah salah satu orang penting di kerajaan. Namun hingga kini belum ada bukti kongkrit yang bisa dijadikan pembenaran perihal sebutan serta di kerajaan tempat beliau mengabdi," ujar kakek dari sembilan cucu ini.
Pada masa itu, di wilayah Madura, tepatnya Sumenep, telah berdiri kerajaan sejak abad ke-12 dengan Arya Wiraraja sebagai raja pertama yang diangkat tahun 1269. Sedang di Jawa Timur, kebesaran Kerajaan Majapahit masih terdengar seantero Nusantara.
Memimpin Kerajaan Plakaran
Ki Demung Plakaran adalah sosok yang gemar berkelana dan bertapa, dengan maksud lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Setelah memantapkan hati ingin berkelana, beliau meminta restu dari kedua orang tuanya. Rute perjalanan spiritual beliau menuju ke arah barat. Berawal dari Demongan, dan berakhir di Plakaran.
"Sejarah tutur mengatakan kalau Ki Demung Plakaran telah memeluk agama Islam. Beliau bahkan turun langsung menyebarkan Islam dari rumah ke rumah. Namun ada pula yang meragukan keislaman beliau. Oleh karena pada abad ke-14 keyakinan yang dipeluk masyarakat Madura Barat adalah Hindu-Budha," cetus RP. Hamid.
Setelah menetap di Plakaran, Ki Demung kemudian mempersunting kembang desa bernama Nyai Sumekar. Dari pernikahan tersebut dikaruniai lima anak yang kesemuanya laki-laki. Mereka adalah Ki Adipati Pramono, Ki Adipati Pratolo, Ki Adipati Pratali, Ki Adipati Panangkan, dan Ki Adipati Pragalbo.
"Dikatakan pula dalam sejarah tutur jika keturunan (anak) Ki Demung Plakaran berjumlah 38 putra-putri. Namun yang tercatat secara resmi dalam sejarah hanya lima, yang tak lain kelima putra dari pernikahannya dengan Nyi Sumekar," ungkap pria 72 tahun yang sejak tahun 2017 menjabat ketua Yayasan Kesultanan Bangkalan.
Di wilayah yang kini bernama Desa Plakaran, Ki Demung sangatlah dihormati. Perilaku sopan terhadap sesama yang ditunjukkan serta tutur bahasa santun yang terucap membuatnya jadi panutan. Pola pemikiran yang beliau terapkan kemudian melahirkan sistem atau aturan berkehidupan dan bermasyarakat di wilayah Plakaran. Beliau pun didaulat menjadi pemimpin Plakaran. Wilayah tersebut kemudian bernama Kerajaan Plakaran.
Pangeran Islam Ongghu'
Setelah Ki Demung wafat, pimpinan Kerajaan Plakaran beralih ke tangan Ki Adipati Pragalbo atau Pangeran Pragalbo. Putra bungsu Ki Demung Plakaran ini mempunyai tiga istri. Dari ketiganya lahir lima anak yang kesemuanya berjenis kelamin laki-laki.
Dari istri pertama, Nyi Angsuko, dikaruniai seorang putra bernama Pangeran Maloyo (Ki Pradono). Dari istri kedua, Nyi Padopo, lahir Pangeran Tanjung Waringin (Ki Pradoto).
Sedang dari istri ketiga, Nyi Ageng Mamah, lahir tiga putra yang masing-masing diberinama Ki Pratanu (Panembahan Lemah Duwur), Ki Prakoso (Pangeran Welaran), serta Ki Pranoto (Pangeran Tanjung Pura).
Masa kepemimpinan Pangeran Pragalbo juga tidak tercatat secara tertulis dalam sejarah. Namun diperkirakan pada awal abad ke-15. Perluasan wilayah kekuasaan dibarengi penambahan perangkat atau orang-orang yang menduduki jabatan tertentu dalam sistem pemerintahan. Termasuk juga dibentuk pasukan jika sewaktu-waktu datang ancaman.
Islam telah menyebar ke tanah Jawa dan Madura saat Pangeran Pragalbo berkuasa. Namun beliau teguh pada keyakinannya sebagai pemeluk Budha. Hingga suatu hari sang putra, Ki Pratanu, bermimpi didatangi seseorang yang menganjurkannya untuk masuk Islam.
Mimpi itu diceritakan pada sang ayah. Pangeran Pragalbo kemudian memerintahkan Patih Empu Bageno datang ke Sunan Kudus dengan maksud mempelajari Islam.
Kepulangan Patih Empu Bageno disertai beralihnya keyakinan sebagai pemeluk Islam. Ki Pratanu sempat marah tatkala mendengar Patih Empu Bageno lebih dulu memeluk Islam. Namun setelah dijelaskan jika Sunan Kudus yang menjadikannya muallaf sebelum mempelari Islam, Ki Pratanu akhirnya bisa menerima dan menganut Islam. Tahun 1528 Ki Pratanu dinobatkan sebagai Pangeran Adipati (putra mahkota).
Jelang meninggal dunia, Pangeran Pragalbo akhirnya memeluk Islam. Dua kalimat syahadat yang dibacakan Ki Pratanu sebagai bacaan penuntun sebelum menghembuskan nafas terakhir dijawab Pangeran Pragalbo dengan anggukan kepala. Bahasa tubuh ini sebagai tanda Pangeran Pragalbo setuju menganut Islam. Seketika itu pula kedua matanya tertutup, tubuhnya terbujur kaku.
Peristiwa inilah yang menjadikan Pangeran Pragalbo mendapat sebutan Pangeran Islam Ongghu'. Artinya, Pangeran yang memeluk Islam dengan cara menganggukkan kepala saat dibacakan dua kalimat syahadat. Bacaan tersebut sekaligus penuntun jelang beliau wafat.
Raja Islam Pertama di Madura
Tiga tahun setelah menyandang status putra mahkota, Ki Pratanu akhirnya naik tahta menggantikan sang ayah. Penobatan dilakukan pada 24 Oktober 1531, dengan gelar Panembahan Lemah Duwur. Di era Ki Pratanu inilah sebutan Kerajaan Madura Barat bermula.
Penobatan tersebut sekaligus mencatatkan Ki Pratanu sebagai raja pertama Kerajaan Madura Barat. Beliau memerintah dari tahun 1531 hingga 1592. Ki Pratanu kemudian membangun keraton baru. Lokasinya diperkirakan berada di sekitar komplek Makam Agung, yang kemudian dinamakan Keraton Arosbaya.
Selama 61 tahun memimpin, Ki Pratanu dikenal memiliki pemikiran luas untuk membawa rakyatnya menuju kemajuan dan kemakmuran. Beliau juga tiada henti menyebarkan agama Islam ke seluruh rakyat Kerajaan Madura Barat. Bukti kongkritnya, beliau yang pertama kali membangun masjid di Arosbaya. Ki Pratanu kemudian disebut sebagai raja Islam pertama di Madura.
"Garis keturunan Ki Demung Plakaran selanjutnya (setelah Ki Pratanu), yang meneruskan kebesaran Kerajaan Madura Barat di empat lokasi keraton yang berbeda. Hingga akhirnya dibubarkan oleh Belanda pada 22 Agustus 1885 saat lokasi keraton berada di Bangkalan, atau disebut juga Kesultanan Bangkalan," pungkas RP. Hamid.
Bersambung Ki Demung Plakaran, Sosok Dibalik Berdirinya Kerajaan Madura Barat (Part-2)
ADVERTISEMENT