Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Media Partner
Rumah Pangeran Mangku Adinegoro, Jejak Sejarah Kesultanan Bangkalan yang Terlupakan
21 Januari 2019 13:22 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:48 WIB

ADVERTISEMENT
Rumah kuno peninggalan Pangeran Mangku Adinegoro (Anak ke-33 Sultan Raden Abdul Kadirun).(Foto. Agus Hidayat)
ADVERTISEMENT
PortalMadura.Com, Bangkalan – Sejarah mencatat, di wilayah barat Pulau Madura pernah berdiri kerajaan yang dikenal dengan sebutan Kerajaan Madura Barat. Uniknya, lokasi kraton berada di lima tempat yang berbeda oleh karena ancaman atau serbuan Belanda. Masing-masing berlokasi di Arosbaya (Bangkalan), Madegan (Sampang), Tonjung (Bangkalan), Sembilangan (Bangkalan), serta Bangkalan (kota).
Selama berdiri, Kerajaan Madura Barat diperintah oleh 13 raja. Keraton Bangkalan (kota) menjadi lokasi terakhir Kerajaan Madura Barat. Masa kepemimpinan berlangsung pada pertengahan abad ke-17 hingga18. Sungguh disayangkan, bekas bangunan keraton yang menganut system pemerintahan berupa kesultanan ini nyaris tak tersisa.
Lokasi Keraton Kesultanan Bangkalan yang diyakini berada di sebelah timur masjid agung dan alun-alun kota kini menjadi markas Kodim 0829 Bangkalan. Sayangnya, tidak ada petunjuk sama sekali yang memperkuat lokasi keraton di markas kesatuan angkatan darat ini.
ADVERTISEMENT
Namun tak semua bangunan yang berhubungan dengan masa Kesultanan Bangkalan musnah. Ada saksi bisu yang masih bisa dilihat walau secara kasat mata bangunan tersebut kurang terawat. Sebuah rumah kuno di sebelah utara alun-alun kota menyimpan cerita masa lalu yang juga tak bisa dipisahkan dari sejarah Kesultanan Bangkalan.
Meski tergolong bukan bangunan utama seperti pada umumnya yang berada di dalam komplek keraton, namun rumah kuno ini turut memperkaya sejarah masa lalu Kesultanan Bangkalan. Dari rumah ini episode-episode sejarah Kesultanan Bangkalan bisa terkuak. Dari rumah ini pula garis keturunan Kesultanan Bangkalan yang hidup pada masa kini bisa terlacak.
Rumah yang beralamat di Jalan Jendral Ahmad Yani Gang II No. 51, Kelurahan Demangan, Bangkalan, Madura, ini awalnya dihuni oleh Pangeran Mangku Adinegoro. Sang Pangeran adalah anak ke-33 Sultan Raden Abdul Kadir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Abdul Kadirun, raja ke-11 Kerajaan Madura Barat dengan gelar Sultan Cakraadiningrat II. Total putra-putri Sultan Abdul Kadirun berjumlah 46, dari seorang permaisuri Raden Ayu Masturah serta tujuh selir.
ADVERTISEMENT
Beliau berkuasa selama 32 tahun (1815-1847). Salah satu kebijakan beliau yang bisa dirasakan masyarakat Bangkalan hingga kini adalah menjadikan masjid keraton (sekarang Masjid Agung Bangkalan) sebagai masjid jamik (umum). Awalnya hanya keluarga keraton yang boleh melaksanakan ibadah di masjid ini. Namun seiring keluarnya kebijakan, Sultan Abdul Kadirun memperbolehkan rakyat Bangkalan memasuki masjid untuk beribadah.
Kini rumah yang usianya diperkirakan 200 tahun dan masih berdiri kokoh tersebut dihuni oleh keluarga RA. Sukarni. Perempuan 65 tahun ini tercatat sebagai keturunan kelima Pangeran Mangku Adinegoro.
“Saya lahir dan besar disini. Di rumah ini pula saya merawat dan membesarkan delapan anak. Meski kondisi rumah kurang terawat, namun keaslian rumah ini masih terjaga,” kenang RA. Sukarni kepada PortalMadura.Com, Jumat (18/1/2019).
ADVERTISEMENT
Selain rumah induk yang tembok luarnya terlihat mulai mengelupas, ada dua bangunan lagi berupa musalla dan rumah kecil yang letaknya disebelah barat. Musalla telah mengalami renovasi hingga tak terlihat lagi bentuk aslinya. Sedang rumah kecil yang juga masih terjaga bentuk dan keasliannya kini dihuni oleh keluarga R. Agung Priyo Suhartono (30), salah satu anak RA. Sukarni.
Usia rumah kecil ini diyakini RA. Sukarni lebih tua dibanding rumah induk. “Disinilah sebenarnya Pangeran Mangku Adinegoro pertama kali tinggal sebelum pindah ke rumah yang lebih besar yang kemudian disebut rumah induk. Lambang cakra (lambang Kesultanan Bangkalan) yang berada di atas pintu masuk rumah kecil menjadi pertanda jika yang menempati rumah tersebut bukan orang biasa,” tuturnya.
ADVERTISEMENT
Namun tak ada keterangan pasti dari RA Sukarni, termasuk para leluhur yang pernah menempati kedua rumah tersebut, berapa lama Pangeran Mangku Adinegoro awalnya menempati rumah kecil.
“Di belakang rumah induk terdapat bangunan pendukung yang dulunya tempat tinggal para abdi dalem. Bangunan yang menyatu dengan rumah induk ini tak lagi berfungsi dan dibiarkan terbengkalai. Meski kayu jati sebagai penopang terlihat masih kuat, namun di beberapa bagian rumah pendukung telah rusak dimakan usia, juga terlihat kotor,” ujar RA. Sukarni.
Keaslian rumah kuno peninggalan Pangeran Mangku Adinegoro memang tak dibarengi dengan perawatan. Menurut R. Agung, awalnya terdapat lima pintu masuk, namun kini hanya empat pintu. Ruang memanjang dibalik pintu masuk yang dulunya adalah ruang untuk musyawarah atau menerima tamu penting. Namun kini telah disekat dan beralih fungsi menjadi tiga kamar tidur.
ADVERTISEMENT
Lebih kedalam lagi terdapat dua kamar yang saling berhadapan. Kondisi kamar sebelah timur (kanan) masih terjaga. Tembok kamar dilapisi wallpaper. Kusen pintu yang terbuat dari kayu jati masih terlihat kokoh dan terjaga keasliannya. Sebaliknya, kondisi kamar sebelah barat (kiri) dibiarkan kosong, tertutup, dan kotor. Kedua kamar tersebut tersambung oleh musalla yang posisinya menghadap kepintu masuk.
Baik RA. Sukarni maupun R. Agung menyimpan rasa keprihatinan mendalam, karena untuk merenovasi rumah kuno peninggalan Sang Pangeran butuh biaya yang tidak sedikit. Memprihatinkan memang. Secara usia, rumah peninggalan Pangeran Mangku Adinegoro dapat digolongkan sebagai benda cagar budaya.
“Keluarga kami tidak punya cukup biaya jika harus merenovasi total. Kalaupun harus direnovasi tergantung prioritas. Oleh karena rumah ini bernilai sejarah yang awalnya dihuni salah satu anak Sultan Abdul Kadirun, kami harus mempertahankan bentuk aslinya. Termasuk pula menjaga barang peninggalan yang masih ada,” ungkap R. Agung.
ADVERTISEMENT
Keluarga besar RA. Sukarni memang tak berharap pada campur tangan orang lain untuk menjaga dan merawat rumah bersejarah ini. Termasuk pada pemerintah daerah (Pemda) setempat. Namun selayaknya Pemda setempat tak boleh menutup mata bahwa masih ada bukti sejarah yang melatar belakangi terbentuknya pemerintahan yang terus berjalan hingga kini.
Sejarah tak boleh hilang dari ingatan. Sejarah harus terpatri kuat dihati dan kepala setiap masyarakat Bangkalan. Utamanya mereka yang menjalankan roda pemerintahan guna membawa Bangkalan pada kehidupan yang berkeadilan dan berkemakmuran. Mengabaikan bukti sejarah jelas mengindikasikan kalau pemerintah daerah kurang atau tidak menaruh kepedulian pada riwayat daerahnya.
“Sepengetahuan saya belum ada pejabat dari dinas terkait yang datang untuk melihat rumah ini. Minimal menginventarisir bahwa ada rumah kuno peninggalan masa Kesultanan Bangkalan yang semestinya bisa dijadikan destinasi wisata sejarah. Kami sekeluarga sangat mendukung jika hal itu dilakukan, meski nantinya tampilan dan kondisi rumah masih terlihat apa adanya,” harap R. Agung yang berprofesi sebagai security.
ADVERTISEMENT
Sejumlah barang peninggalan di rumah tersebut (berupa arca, patung, tombak, keris, dan sebagainya) banyak yang telah berpindah tangan. Diceritakan R. Agung, pernah ada pihak swasta datang untuk meminjam 12 tombak dengan maksud sebagai pelengkap isi Museum Cakraningrat yang saat itu berada di Pasarean Aer Mata.
Namun saat lokasi museum berpindah ke Kantor Pendopo Bupati, dan kini di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bangkalan, Agung mendapati wujud ke-12 tombak tersebut bukan aslinya, melainkan hanya replika. Ia pun hinggak ini tak tau dimana keberadaan yang asli.
“Keluarga besar kami tak akan menjual rumah bersejarah tersebut kepada siapapun, walau dengan harga tawar setinggi berapapun. Alasannya, hal itu telah menjadi amanat para leluhur kami. Sebenarnya masih ada dua rumah kuno lagi yang menyimpan cerita tak jauh beda dengan rumah Pangeran Mangku Adinegoro. Harapan saya, semoga pemerintah daerah lebih menaruh perhatian serta menghargai sejarah,” pungkas R. Agung. (Agus Hidayat/Putri)
ADVERTISEMENT