Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Cerita Dosen Jebolan Kemendikbud Hadapi Stereotip Dosen Perguruan Tinggi NU
15 Maret 2022 14:16 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Redhitya Wempi Ansori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang dosen di universitas yang berafiliasi dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, cukup punya tantangan tersendiri untuk saya pribadi. Tantangan yang kadang buat saya menghela napas dalam-dalam atau membuat saya tertawa geli.
ADVERTISEMENT
Bagi saya yang agak nir-akhlak ini menjadi dosen di universitas yang kental dengan tradisi agama butuh adaptasi-adaptasi tertentu. Hal tersebut bukan karena saya non-Nahdliyin, bukan juga keluarga saya tidak mendidik agama dengan baik. Lha wong keluarga saya itu NU kultural sejak dalam kandungan kok! Ngaji di keluarga saya itu wajib, kalau ndak ngaji sapu bisa mendarat dengan kencang di paha.
Persoalannya adalah, saya ini jebolan Kemendikbud murni, kalau nomenklatur sekarang Kemendikbudristek. Artinya, saya dari SD sampai perguruan tinggi sekolahnya umum, ndak ada yang nyerempet-nyerempet agama. Walaupun, pelajaran agama ya tetap ada di kurikulumnya, tapi ya ndak seintens orang-orang yang jebolan dari rahim Kemenag dong.
Ditambah lagi, setelah lulus kuliah saya bekerja di lingkungan yang lagi-lagi tidak ada nyerempet-nyerempet agamanya.
ADVERTISEMENT
Lulus kuliah saya mengajar mahasiswa asing bahasa Indonesia di salah satu PTN di Malang. Setelah itu, lanjut menjadi pengajar di salah satu sekolah tinggi di Malang. Mengajarnya juga mengajar orang asing tentang bahasa Indonesia dan mengajar mahasiswa Indonesia yang mayoritas orang China Malang.
Setelah bergelut bertahun-tahun dengan lingkungan umum yang ndak ada afiliasinya dengan keagamaan. Akhirnya, tiba suatu momen, kampung halaman memanggil untuk kembali. Dengan sigap tanpa tedeng aling-aling, saya menerima panggilan itu. Saya mengabdi di situ dan kemudian diangkat menjadi dosen tetap di Universitas yang berafiliasi Nahdlatul Ulama tersebut.
Ketika menjadi dosen di universitas tersebut, efek samping mulai bermunculan. Efek samping tersebut membentuk suatu pola stereotip yang acap kali membuat saya geleng-geleng kepala sambil menelan ludah. Stereotip itu memunculkan banyak hal yang tak terduga, sehingga pada poin ini saya ingin menjabarkan secara terperinci stereotip yang saya terima ketika menjadi dosen di universitas yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama tersebut.
ADVERTISEMENT
Perlu digarisbawahi, stereotip di sini bukan dalam rangka menegatifkan lho ya, stereotip yang saya terima ini murni sudut pandang pribadi yang sebenarnya dari pengalaman akibat ketidakmampuan saya terhadap sesuatu yang dipicu oleh persepsi masyarakat tentang dosen yang bekerja di universitas dengan sematan agama di namanya.
Seperti, "Pasti dosen tersebut kemampuan agamanya bagus!"
Awam dapat dipastikan tidak peduli latar belakang pendidikan si dosen dan dosen tersebut mengampu mata kuliah apa di sana. Dalam benak masyarakat, dosen itu pasti tahu agama dengan bagus karena bekerja di universitas dengan sematan organisasi Islam terbesar.
Oleh karena itu, saya ingin menasyrihkan empat stereotip yang acap kali saya terima ketika jadi dosen di Universitas yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Stereotip 1: Dianggap bisa mimpin doa
Saya sering terjebak dalam persoalan ini, beberapa kali saya diundang ke sekolah untuk mengantar mahasiswa magang ketika doa saya yang diminta untuk memimpin. Momen-momen seperti itu yang selalu bikin saya deg-degan setengah mati.
Masalahnya, saya setiap kali selesai salat, doa saya dalam bahasa Indonesia. Sementara, standar doa di setiap kegiatan resmi itu berbahasa Arab. Saya yang tempaan dan didikan Kemendikbud pun langsung culture shock dong.
Stereotip 2: Bertitle Ustaz
Ini yang membuat saya canggung setengah mati. Ketika saya, berkunjung di rumah tetangga pada saat lebaran, saya dipanggil Ustaz, karena beliau tahu saya menjadi dosen di universitas yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Ketika panggilan itu keluar dari mulut si ibu, sontak keringat saya mengucur deras. Seumur-umur saya baru kali ini ada yang memanggil Ustaz.
ADVERTISEMENT
Stereotip 3: Dianggap bisa menjadi Imam Tahlil
Astaga, ini yang membuat saya keringat dingin.
Pernah kejadian, saya diundang di acara 1000 harian. Ya acaranya tahlil gitu, saya tidak punya perasaan apa-apa ketika mau berangkat menghadiri undangan itu. Wong saya sebagai tamu undangan biasa.
Eh ternyata, ada kejadian yang membuat darah saya seketika berhenti dan saya langsung ngeblank. Dengan dadakan saya diminta mimpin tahlil di acara tersebut. Mending, kalau mintanya di balik layar, berbicara intern antarpembawa acara tahlil dan saya, koordinasi tipis-tipislah.
Lha ini tanpa koordinasi langsung ditunjuk di depan para hadirin. Untung, saya terlatih berkelit sejak dulu. Jurus seribu satu untuk berkelit saya gunakan dalam meng-handle situasi genting macam itu.
ADVERTISEMENT
Stereotip 4: Dianggap bisa baca Arab gundul
Ini sih yang paling fantastis.
Ketika saya menjadi Dosen Pendamping Lapangan mahasiswa yang KKN di salah satu desa, saya bertemu dengan Kepala Desa dan Perangkat Desanya. Kebetulan, kepala desanya ini jebolan Pondok Pesantren Salaf di Jawa Timur. Beliau menunjukkan kepada saya beberapa kitab kuning yang menjadi koleksinya. Saya kaget dong, maksudnya apa.
Ternyata, Beliau usul salah satu program KKN adalah pemberdayaan pembacaan kitab kuning di Madrasah Diniyah di Desa tersebut. Usut punya usut, ternyata satu-satunya guru ngaji yang biasa mengajar kitab kuning di Madrasah Diniyah tersebut pindah ke kota lain karena bekerja. Beliau langsung meminta, untuk memasukkan program insidental tersebut ke dalam proker tambahan.
ADVERTISEMENT
Saya bilang kepada beliau, saya sampaikan ke mahasiswa yang melaksanakan program-program ini, semoga di antara mereka ada yang bisa kitab kuning. Setelah saya bilang itu, tanggapan beliau yang bikin saya agak mengernyitkan dahi.
Dengan nada yang polos beliau menyampaikan
“Sampean pasti bercanda, mereka mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama, pasti mereka ahli baca-baca arab gundul seperti ini, atau nanti gini kalau mahasiswa ndak bisa sampean saja yang mengajar. Pasti kitab-kitab seperti ini bacaan sampean sehari-hari.”
Dari respons Pak Lurah tersebut saya langsung keringat dingin, bibir pecah-pecah, dan panas dalam. Wong baca tulisan Arab yang gondrong saja tertatih-tatih, lha ini yang gundul.
Akhirnya, dari kejadian-kejadian monumental tersebut membuat saya harus belajar tentang beberapa hal yang distreotipkan oleh masyarakat terkait dosen yang mengajar di universitas yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, kalau ada ihwal insidental, seperti diminta memipin doa, saya tidak banyak mengeluarkan jurus berkelit lagi.