Konten dari Pengguna

Gulung Tikarnya Kampus Swasta

Redhitya Wempi Ansori
(Pengajar yang suka belajar dan mengajar) (Suka Filsafat, Linguistik, sastra, Budaya, dan politik) (Ayah dan Suami yang Baik)( Pencari uang yang ulung dan gigih) (Cinta Allah dan Rosulnya) (Blitar, Nglegok Jawa Timur Indonesia raya)
18 Maret 2022 19:20 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Redhitya Wempi Ansori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber foto pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber foto pribadi
ADVERTISEMENT
Saya tercengang ketika Profesor Clayton Christensen dari Harvard Business School pada tahun 2014 memprediksi 10-15 tahun ke depan 50 persen Kampus di Amerika Serikat akan Gulung tikar. Bayangkan, 50 persen, setengah dari jumlah kampus di negara adidaya sekelas Amerika akan tutup operasionalnya.
ADVERTISEMENT
Walaupun itu prediksi, hipotesis yang digunakan Profesor Clayton menggunakan indikator yang terukur. Prof Clayton menjadikan disrupsi sebagai basis hipotesis yang menguatkan argumen prediksinya. Pada akhir Maret 2020, hipotesis Profesor Clayton terafirmasi melalui artikel yang dirilis oleh USA Today bahwa seharusnya kampus-kampus di Amerika Serikat ramai pendaftaran. Slot-slot kuota untuk berbagai jurusan semestinya sudah terisi dan pagu penerimaan mahasiswa terpenuhi hingga harus menolak mahasiswa. Akan tetapi, yang terjadi tidak demikian.
Beberapa kampus di Amerika tidak bisa memikat calon mahasiswa yang notabene lulusan SMA karena tidak memberikan inovasi dalam pola pembelajarannya. Pendeknya, kampus-kampus tersebut masih terperangkap dalam pola klasik dalam pengelolaan kampus. Pengelolaannya masih menggunakan pola Business as Usual yang kecenderungannya usang dan melapuk. Lalu, bagaimana dengan nasib kampus di Indonesia? terutama nasib kampus swasta?
ADVERTISEMENT
Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa kita runut benang merahnya. Persoalan fundamental yang dihadapi kampus di Indonesia terutama kampus swasta, saya kerucutkan menjadi tiga faktor, yaitu SDM (Sumber Daya Manusia), SD (Sumber Dana), dan SP (Sistem Pengelolaan). Tiga faktor ini menjadi aspek kunci lembaga pendidikan tinggi swasta tersebut dapat lolos atau tidak dari perangkap pengelolaan kampus dengan pola obselet dan kuno.
Melalui tiga faktor tersebut respons terhadap perkembangan dan mampu lolos dari terjangan gelombang tuntutan zaman yang makin masif dapat diakomodasi. Apalagi, di kala gencarnya badai pandemi covid-19 yang menyerang secara global. Termasuk Indonesia terkena efeknya. Implikasi praktisnya, kampus-kampus yang masih mengandalkan cara klasikal dengan pertemuan tatap muka dalam belajar-mengajarnya harus bersiap dengan konsekuensi logis terpinggirkan dan terkucilkan di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kampus swasta di Indonesia bak cendawan di musim hujan. Latahnya, yayasan-yayasan untuk mendirikan kampus swasta menambah padat merayapnya jumlah kampus. Sayangnya, sumbangsih kampus-kampus swasta di Indonesia hanya pada aspek kuantitas, sedangkan aspek kualitas cenderung belum tersentuh sempurna. Alih-alih ingin memberikan akses pendidikan hingga perguruan tinggi untuk masyarakat, malah menjadi bumerang yang bisa menyerang balik. Hal itu karena kampus swasta hanya menerima mahasiswa, tetapi tidak punya legalitas untuk meluluskan karena terganjal akreditasi.
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Dok. Freepik
Masalah SDM Kampus Swasta
Sumber Daya Manusia merupakan faktor esensial majunya sebuah institusi pendidikan. Citra Perguruan Tinggi itu bisa dilihat dari SDM berkualitas yang dimiliki. Oleh karena itu, daya dukung SDM yang mumpuni mulai dari tenaga pendidik hingga tenaga kependidikan harus dimasukkan ke dalam rencana strategis pengembangannya. Bahkan, SDM ini menjadi syarat perlu untuk kampus-kampus bisa terakreditasi.
ADVERTISEMENT
Instrumen Akreditasi Program Studi 4.0 begitu detail dan terperinci dalam menggali informasi terkait SDM. Ihwal yang paling disorot terkait dengan SDM adalah kualifikasi akademik dosen. Program Studi yang memiliki SDM Doktor dengan kualifikasi pendidikan linier dengan mata kuliah yang diampu dalam program studi tersebut dapat menunjang poin lebih. Apalagi, dosen yang dimiliki program studi itu berjabatan fungsional lektor kepala, syukur-syukur guru besar. Tiket masuk untuk terakreditasi unggul sudah dikantongi, tinggal akumulasi saja dari poin-poin yang lain.
Begitu pun dengan tenaga kependidikan, perguruan tinggi yang memiliki tenaga kependidikan dengan kualifikasi linier dengan bidang kerjanya menjadi faktor kunci keunggulan kampus. Hal tersebut dapat ditilik melalui tupoksi dari masing-masing divisi kerja dipegang oleh orang yang kompeten, seperti laboran, pustakawan, tenaga administrasi, dan teknisi baiknya memiliki kualifikasi pendidikan yang linier dan bersertifikasi. Implikasi praktisnya, pelayanan kampus menjadi lebih profesional dan terarah.
ADVERTISEMENT
Poin-poin di atas menjadi problem yang dihadapi kampus-kampus swasta di Indonesia. Termasuk kampus-kampus swasta yang baru berdiri. Saya dapat memastikan, untuk mencari SDM dengan kualifiasi di atas untuk kampus baru akan sangat sulit. Kampus-kampus tersebut akan kepayahan memenuhi tuntutan tercapainya indikator terkait SDM untuk bisa terakreditasi. Dampaknya, kalau tuntutan akreditasi tidak dapat dipenuhi, tinggal tunggu gulung tikarnya saja.
Suasana di kampus Universitas Howard, salah satu dari enam perguruan tinggi dan universitas kulit hitam (HBCU) yang bersejarah di seluruh Amerika Serikat. Foto: SARAH SILBIGER/Reuters
Masalah Sumber Dana
Kegiatan perguruan tinggi dapat berjalan baik dan lancar karena ditunjang dana operasional yang cukup. Dana yang cukup berbanding lurus dengan pengelolaan dana yang sehat di suatu perguruan tinggi. Hal tersebut adalah faktor fundamental yang berimplikasi terhadap kecukupan dan aksesibilitas bidang tridharma perguruan tinggi. Berdasarkan instrumen akreditasi, kriteria dana operasional yang ideal itu dihitung per mahasiswa. Per mahasiswa itu sekitar 15 juta sampai 17 juta untuk bisa memenuhi kriteria ideal.
ADVERTISEMENT
Kampus swasta yang baru tentunya akan tersengal-sengal dan kembang-kempis napasnya mengikuti kriteria dana ideal tersebut. Apalagi, kampus-kampus yang masih terakreditasi C. Kampus dengan akreditasi minim tidak mungkin mematok uang semester tinggi karena dapat dipastikan tidak akan ada mahasiswa yang mendaftar. Oleh sebab itu, kampus-kampus swasta baru perlu punya strategi jitu terkait dengan sumber dana. Yayasan perlu menggelontorkan uang lebih untuk bisa menunjang dana operasional kampus. Selain itu, kampus perlu mengembangkan sumber dana lain, seperti membangun pusat-pusat bisnis untuk menambah pemasukan kampus. Kalau kampus swasta baru hanya mengandalkan uang spp mahasiswa, tinggal tunggu bangkrutnya.
Masalah Sistem Pengelolaan Kampus
Sistem Pengelolaan ini berkorelasi dengan Sumber Daya Manusia yang mengisi tampuk pimpinan Suatu Universitas, mulai dari Yayasan hingga rektorat beserta jajarannya. Pimpinan universitas merupakan ujung tombak yang harus memiliki visi dan misi yang jelas, serta terukur dengan didukung realisasi program berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Pengelolaan kampus membutuhkan sosok pemimpin yang punya kualitas leadership yang andal. Oleh sebab itu, untuk menjadi rektor di suatu perguruan tinggi memiliki kriteria umum dan kriteria khusus yang harus dipenuhi. Kriteria umum yang dipersyaratkan adalah bertakwa kepada Tuhan, punya intregitas pribadi dan kemampuan akademik mumpuni, serta mempunyai jejaring yang luas, baik nasional dan internasional.
Sedangkan untuk kriteria khusus, kualifikasi pendidikan doktor dengan jabatan fungsional minimal lektor dan tidak sedang memiliki jabatan struktural di lembaga lain adalah syarat fundamentalnya. Lebih-lebih di depan namanya bertengger title Profesor. Tentu saja hal tersebut berimplikasi praktis terhadap daya pikat dan kepercayaan masyarakat. Pendidikan tinggi yang dipimpin oleh seorang guru besar memiliki muruah yang dapat mengangkat harkat dan martabat perguruan tinggi tersebut.
ADVERTISEMENT
Kampus-kampus swasta baru sudah barang tentu punya keterbatasan untuk kriteria pimpinan yang dipersyaratkan di atas. Biasanya untuk memenuhi persyaratan, yayasan akan mencari pimpinan dari kampus lain yang memenuhi kriteria. Setelah memperkerjakan rektor dari eksternal, biasanya permasalahan muncul. Tidak akurnya kebijakan rektorat dengan yang dikehendaki yayasan memicu konflik.
Akhirnya, terjadi dualisme kepemimpinan yang mengakibatkan sirkulasi pengelolaan kampus terganggu. Mahasiswa yang menjadi korban dari permasalahan ini. Lambat laun, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kampus mulai menurun. Implikasi praktisnya, mahasiswa semakin sedikit berkorelasi dengan keterbatasan operasional. Akhirnya, gulung tikarlah kampus tersebut.