Konten dari Pengguna

Idul Fitri dengan semangat Vita Brevis

Widhyanto Muttaqien
Widhyanto Muttaqien adalah fasilitator nasional perencanaan pembangunan daerah dan perdesaan, bekerja di Kedai Sinau Jakarta, pengurus LHKP PP Muhammadiyah 2022-2027
3 April 2025 10:50 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Widhyanto Muttaqien tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Idul Fitri begitu bersemangat dirayakan di Indonesia, ada banyak tradisi yang yang mengikutinya. Seperti bermaaf-maafan dengan tetangga atau setelah shalat Ied. Ada juga tradisi mudik atau pulang kampung. Dalam merayakan Idul Fitri kita melihat fenomena pawai obor, pawai bedug, bahkan pesta petasan di berbagai daerah, yang masing-masing memiliki ceritanya sendiri. Sebagai ajang solidaritas sosial Idul Fitri diawali dengan menunaikan zakat fitrah, setiap orang muslim wajib menunaikan zakat fitrah 2.5 kg beras yang dia makan sehari-hari atau dengan kualitas yang lebih baik. Bayangkan, kita memberikan sesuatu apa yang kita makan sehari-hari atau yang lebih baik, jika ini dicontoh negara untuk membela dhuafa sungguh luar biasa, tentu tidak ada kategori per kapita belanja Rp. 20.000 tidak tergolong miskin (di bawah Rp 582.932 per kapita per bulan, baru disebut miskin).
ADVERTISEMENT
Untuk memudahkan tentu saja kita butuh standar kemiskinan, artinya sebuah negara butuh petunjuk siapa orang miskin yang mendapatkan bantuan sosial. Sayogyo pernah membuat batasan garis kemiskinan pada tahun 1977-1979 dengan ekuivalen beras per kapita. Di kota garis kemiskinan terdiri atas melarat (270 kg), miskin sekali (360 kg) dan miskin (480 kg). Sementara garis kemiskinan di desa mencakup melarat (180 kg), miskin sekali (240 kg) dan miskin (320 kg). Harga per kilogram beras saat itu sekitar Rp. 230-340/kg. Pada tahun 1977 inflasi Indonesia masih tinggi, infrastruktur dasar seperti pendidikan dan kesehatan belum merata. Sejak 1973 baru dibangun proyek SD Inpres dan Puskesmas mulai dibangun tahun 1969. Walau demikian ada kendala anggaran, perjalanan saya ke Kabupaten Mappi di awal 2025, layanan pendidikan sekolah dasar kurang optimal karena tidak ada guru tetap, begitupun layanan puskemas pembantu, tidak ada tenaga nakes yang menetap-kecuali sebulan sekali untuk pelayanan Posyandu. Di kabupaten Mappi masih banyak anak-anak korengan dan buduk. Hal yang saya alami pada tahun 1970 akhir, di daerah saya, Jatinegara – Jakarta Timur waktu itu baru dibangun WC Umum lewat program Muhammad Husni Thamrin atau MHT, selain sanitasi berupa WC Umum dan perbaikan saluran air, gang-gang sekitar kampung kota mulai diperkeras dengan semen. Penyakit anak-anak waktu itu adalah koreng, buduk, batuk-pilek yang tak kunjung sembuh, di akhir 1970-an got di depan rumah saya dijadikan septic tank oleh warga sekitar. Jika dilihat hanya dengan pangan beras, maka ukuran 1977-2024 tidak banyak berubah (dengan nilai tukar dollar USA). Perubahan kesejahteran terlihat dari pelayanan infastruktur dasar.
ADVERTISEMENT
Meskipun inflasi lebih tinggi pada tahun 1977, faktor-faktor seperti keterbatasan akses terhadap layanan dasar, kurangnya program sosial, dan peluang ekonomi yang lebih sedikit menunjukkan bahwa penduduk miskin kemungkinan menghadapi tantangan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan dengan tahun 2024. Saya teringat tulisan George Orwel: Bagaimana Si Miskin Mati, diceritakan waktu itu di Afrika saat perang dunia kedua, imperialis Inggris memperlakukan orang jajahan dengan buruk, dibiarkan mati karena tidak ada obat atau perawat yang memiliki semangat rasial. Tubuh si miskin langsung menjadi bahan percobaan untuk anak sekolah kedokteran. Pasien kencing, batuk, pusing dibiarkan saja. Tulisan ini menarik karena ada unsur penjajahan dan diskriminasi. Apa yang disebut inklusif berhubungan dengan dua unsur tersebut, sehingga inklusif berarti anti penjajahan, baik yang lembut seperti hegemoni ataupun dominasi secara terang-terangan. Solidaritas sosial dalam Idul Fitri tidak untuk menghilangkan kemiskinan, terlebih kemiskinan struktural yang diciptakan oleh negara.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan struktural dalam perspektif agraria kritis, seperti empat pertanyaan kunci dari Henry Bernstein: (1) Siapa memiliki apa? (2) Siapa melakukan apa? (3) Siapa yang mendapatkan Apa? dan (4) Apa yang mereka lakukan dengannya? Ditambah dengan pertanyaan kunci dari Ben White yaitu (5) Apa yang mereka lakukan satu sama lain? Solidaritas sosial menempati pertanyaan sosiologis dari White. Etika Islam memberikan konsep zakat dan sedekah. Sedangkan ekonomi syariah berurusan dengan bagaimana moda produksi bekerja, pertanyaan 2,3, dan 4. Pertanyaan nomor 1 dari Bernstein akan berbeda-beda penerapannya, sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Di kawasan Timur Indonesia kental dengan ‘kepemilikan bersama’. Marga-marga memiliki sumberdaya (lahan darat dan perairan) secara bersama. Bahkan pendatang yang menumpang pun dapat diijinkan (dipinjamkan) lahan asal digunakan secara produktif dan tidak boleh dipindah-tangankan (atau disewakan kembali kepada orang lain). Negara agraris seharusnya berpikir demikian sehingga ketimpangan kaya dan miskin tidak membesar, karena argumen negara menguasai lahan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat (semiotika waktu kalimat ini dibuat rakyat adalah rakyat kebanyakan – rakyat banyak, bukan golongan tertentu dalam masyarakat).
ADVERTISEMENT
Negara-negara di bekas kesultanan Islam di jazirah Timur Tengah, Turki, dan Afrika juga menerapkan hal sama. Negara membagi-bagikan lahan pertanian produktif untuk masyarakat agar bisa bertani. Jika tanah tersebut ditelantarkan maka akan diambil kembali oleh Negara. Ada konsep lain yaitu wakaf, dimana wakaf produktif menjadi berkelanjutan. Perguruan Tinggi Al Azhar misalnya, memiliki lahan wakaf yang luas dan dipinjamkan kepada petani untuk pengembangan ekonomi produktif. Tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat karena ‘bekerja’ dan menghasilkan sesuatu, baik jasa ataupun produk. Jika permintahan tersebut dzalim, maka model pola produksi seperti ini tidak dilakukan, yang dilakukan justru seperti dalam kisah bagaimana si miskin mati: rakyat dibiarkan bodoh dan penyakitan, dibiarkan tidak memiliki aset, bahkan aset mereka dirampas, seperti yang dilakukan selama ini, pemerintah NKRI harga mati memberikan asetnya kepada kelompok paling kaya di Indonesia, sehingga mereka yang tidak sampai 1 persen dari populasi bisa menguasai 50% kue ekonomi.
ADVERTISEMENT
Idul Fitri dalam kacamata Marshall Sahlins, (Culture in Practice), menekankan pentingnya memahami budaya sebagai sistem yang membentuk cara manusia berinteraksi dengan dunia (tubuh sosial). Praktik budaya tidak hanya mencerminkan kebutuhan material, tetapi juga simbolisme dan makna yang lebih dalam. Dalam konteks Idul Fitri, tradisi seperti mudik, berbagi zakat, dan saling bermaafan dapat dilihat sebagai cara masyarakat Indonesia membangun solidaritas sosial dan memperkuat identitas kolektif. Selain itu, konsumsi yang meningkat selama Lebaran, seperti membeli pakaian baru atau makanan khas, juga dapat dianalisis sebagai bagian dari dinamika ekonomi yang dipengaruhi oleh budaya. Kembali suci, memperbarui diri disimbolkan dengan pakaian baru. Clifford Geertz melihat fenomena mudik sebagai bagian dari sistem sosial yang menunjukkan pentingnya hubungan kekeluargaan dan hierarki dalam masyarakat Jawa (Clifford Geerzt lebih banyak mengamati masyarakat dan kebudayaan Jawa). Mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi juga ritual sosial untuk memperkuat koneksi antara individu dan asal-usulnya.
ADVERTISEMENT
Mudik juga bisa menjadi ajang pamer atas keberhasilan kaum ‘abangan’ yang bekerja di luar daerah asalnya, menunjukkan keberhasilan tersebut kepada kaum priyayi, mereka berhasil. Kaum priyayi perdesaan memanfaatkan momen Idul Fitri untuk mempererat hubungan patron-klien dalam sistem sosial Jawa, dimana para priyayi juga memiliki lahan yang luas (dalam Agama di Jawa). Setelah jaman berubah dengan adanya industri momen Idul Fitri digunakan untuk membagikan THR (Tunjangan Hari Raya) yang diberikan kepada pekerja yang mencerminkan bagaimana kapitalisme dan agama berinteraksi dalam praktik sosial. Di negara mayoritas non Islam pun dikenal gaji ke-13 menjelang Natal atau diberikan bonus natal, namun di mayoritas negara kapitalis (Amerika dan Eropa) aturan THR tidak dimasukkan ke dalam aturan ketenagakerjaan atau negara tidak mengaturnya.
ADVERTISEMENT
Keterlibatan Negara seperti disebutkan oleh Louis Althusser memperlihatkan negara dan institusi (termasuk perusahaan) menggunakan Ideological State Apparatus (ISA) untuk mempertahankan dominasi kelas. THR bisa dilihat sebagai bagian dari mekanisme ini, di mana negara dan perusahaan menciptakan ilusi kesejahteraan untuk mempertahankan stabilitas sistem kapitalis. Dengan adanya THR, pekerja tetap merasa “dihargai” meskipun dalam kesehariannya masih mengalami eksploitasi tenaga kerja. Maka, menjadi wajar ngamuknya sebagian Ojol ketika janji pemerintah dan swasta tidak sesuai harapan https://newsmaker.tribunnews.com/2025/03/26/driver-ojol-kecewa-dapat-thr-cuma-rp-50000-kaget-lemes-jumlahnya-jauh-dari-ekspektasi-saya. Alih-alih mendapatkan kesejahteraan dan pengakuan, pekerja malah semakin tidak puas. Padahal sejak dalam gagasannya THR bukan solusi atas masalah ekonomi pekerja, tetapi lebih sebagai strategi untuk menunda ketidakpuasan sosial.

Vita Brevis

ADVERTISEMENT
Ungkapan ini sering diartikan sebagai refleksi bahwa kehidupan manusia terbatas, sementara ilmu, kebijaksanaan, atau warisan yang ditinggalkan bisa bertahan lebih lama. Dunia itu fana, sehingga kita mesti mengarahkan hati kepada Allah dan melepaskan keterikatan pada hal-hal duniawi. Sementara zakat dalam Islam adalah kewajiban bagi Muslim untuk menyisihkan sebagian hartanya bagi mereka yang membutuhkan. Zakat mencerminkan tanggung jawab sosial dan kesadaran akan kefanaan dunia. Berbeda dengan kaum abangan dalam tipologi Geerztian, (seharusnya) kaum santri memandang dunia sebagai tempat ujian dimana manusia diuji dengan kenikmatan dan kesulitan. Sikap zuhud (tidak terikat pada dunia) adalah salah satu prinsip penting dalam cara tasawuf untuk menghadapi dunia fana. Kefanaan itulah Vita Brevis, yang kita wariskan nanti adalah amal shaleh, dalam ekonomi terdapat konsep wakaf, yang tidak boleh dijual, diambil Negara, ataupun diwariskan, wakaf adalah bagian dari aset umat/masyarakat (mungkin akan ada ekologi kritis dalam memandang wakaf hutan sebagai nilai utama menjaga lingkungan hidup).
Sakral dan Profan dalam perayaan Iedul Fitri
Kedua, Eliade juga membahas konsep “eternal return”, yaitu bagaimana ritual membawa manusia kembali ke kondisi awal, seperti mitos penciptaan dunia. Idul Fitri bisa dianggap sebagai “pembaharuan spiritual”, di mana manusia kembali suci seperti bayi baru lahir setelah sebulan berpuasa dan beribadah. Dalam beribadah selama Ramadhan kita juga mengenal dan mengejar lailatul qadr – malam seribu bulan, malam takdir – dimana ibadah kita dipandang Allah senilai ibadah 1.000 bulan. Malam ini dianggap lebih baik dari seribu bulan karena wahyu pertama Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad. Langit terbuka, malaikat turun, dan rahmat Tuhan melimpah → Ini adalah contoh “waktu sakral” di mana dimensi spiritual masuk ke dalam dunia manusia.
Malam Lailatul Qadr dalam pandangan Mircea Eliade
Dalam perjalanan menuju Allah, dunia dianggap sebagai tahap awal yang harus dilalui. Dengan melampaui dunia fana, seorang mencapai keadaan spiritual yang lebih tinggi, yaitu baqa (keabadian bersama Allah). Lailatul Qadr adalah ‘jembatan’ di dunia untuk lebih dekat dengan Sang Khalik, malam itu tidak ada batas antara mahluk dengan penciptanya, sehingga jika mendapatkannya tentu terjadi perubahan besar dalam diri seseorang, sebuah transformasi spiritual, kita akan memiliki kecerdasan kenabian.
Kecerdasan kenabian mengikuti tipologi Gardner
Selamat memahami sukses Ramadhan kali ini, sehingga kita memahami kafanaan kita dalam doa berikut: “Allôhumm lâ taj’alhu âkhirol ‘ahdi min shiyâminâ
ADVERTISEMENT
iyyâhu, fa’in ja’altahu faj’alnî marhûman, wa lâ taj’alnî mahrûman.”
Artinya: Ya Allah, janganlah Engkau jadikan bulan Ramadan ini Bulan Ramadan terakhir dalam hidupku.
“Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘ammin wa antum bi khair”
Artinya:
“Semoga Allah menerima (amal ibadah Ramadan) kami dan kamu. Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu senantiasa dalam kebaikan.”
Ucapan selamat dari penulis sebagai bagian fenomena era internet dalam bentuk e-card