Konten dari Pengguna

Membangun Rumah Di Sawah

widhyanto muttaqien
Widhyanto Muttaqien adalah fasilitator nasional perencanaan pembangunan daerah dan perdesaan, bekerja di Kedai Sinau Jakarta, pengurus LHKP PP Muhammadiyah Jakarta
20 Januari 2025 16:18 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari widhyanto muttaqien tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
oleh: Widhyanto Muttaqien
Krisis Pulau Jawa
Isu mengenai alih fungsi lahan pertanian mengemuka setelah Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan merancang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional 2025-2045 yang menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat merevisi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B). Isu ini sendiri berkembang ketika Kementrian Perumahan dan Permukiman Indonesia memrogram 3 juta unit rumah untuk mengisi kesenjangan kepemilikan rumah.
ADVERTISEMENT
Pulau Jawa sendiri kehilangan lahan sawah sekitar 100.000-150.000 per tahun, sementara kegiatan cetak sawah hanya berkisar 60.000 per tahun. Regulasi perlindungan lahan pangan pertanian berkelanjutan ada sejak lama dengan terbitnya UU No.41/2009. Undang-undang ini mengamanatkan penerbitan Perda RTRW dan Perda LP2B. Sedangkan aturan mengenai alih fungsi lahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Tata Kerja Tim Terpadu Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah Dan Tim Pelaksana Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah. Luas lahan baku sawah ketika Permenko 18/2020 dibuat diperkirakan 7,4 juta Ha (80% ada di P. Jawa) yang diproyeksikan cenderung berkurang sampai 5,4 juta Ha.
Sejak zaman Hindia Belanda Pulau Jawa memiliki keunggulan komparatif yang membuat Pulau ini dijadikan basis industri pertanian dan kehutanan. Raffles dalam History of Java menelusuri kronik Jawa yang dikenal berasala dari bahasa Sansekerta sebagai Yava (biji-bijian, jelai) Dwiv (pulau) atau Jawa Dwipa ‘pulau biji-bijian’ (jelai atau padi). Selain dikenal sebagai pulau subur Jawa dikenal sebagai sumber tenaga kerja oleh kolonialis Belanda, Jawa sejak dulu memiliki populasi penduduk yang padat dibandingkan pulau-pulau lain. Sejak lama karena keunggulan tanah dan sumber tenaga kerja Jawa menjadi pusat pengembangan. Dilanjutkan pada masa kemerdekaan, ketimpangan pembangunan menyebabkan adanya kecemburuan dari daerah lain, yang diperbaiki pasca reformasi 1998 dengan otonomi daerah.
ADVERTISEMENT
Pulau Jawa mengalami kelebihan penduduk, kota-kota besarnya mengalami fenomena megapolis. Krisis yang timbul di Pulau Jawa antara lain adalah krisis air. Menurut RPJPN 2025-2045 pulau Jawa akan mengalami krisis air. Akan terjadi defisit air, terutama di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Kelompok miskin akan semakin sulit mengakses air bersih, pemerataan penggunaan air bersih bagi masyarakat miskin masih belum adil. Dalam contoh kasus Rembang, Pati, Grobogan misalnya pembangunan industri justru mengancam ketersdiaan air.
Krisis kedua adalah krisis pangan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan untuk Tujuan 2 Tanpa Kelaparan masih stagnan (SDG’s Report, 2023). Prevalensi kekurangan gizi meningkat, akses terhadap pangan stagnan – artinya masih banyak orang miskin dan rentan tidak berubah kondisinya dalam mengakses pangan. Krisis pangan semakin parah jika lahan pangan subur di Pulau Jawa dikonversi menjadi perumahan. Secara lokal kasus perampasan lahan seperti di Pati, Trenggalek, Banyuwangi mengancam hak pangan warga.
ADVERTISEMENT
Krisis ketiga, krisis lingkungan. Kasus terkini terkait perumahan elite PIK 2 juga menggunakan kawasan hutan pantai, mangrove di pesisir Utara. Kawasan hutan ini, jika beralih fungsi menjadi tambak dapat dikenalkan dengan silvofisheries (gabungan antara perikanan budidaya dengan hutan mangrove) bukan dialihkan kepada pengembang perumahan mewah.
Krisis keempat, ancaman bencana. Pulau Jawa memiliki indeks kerentanan bencana tinggi. Sebanyak 80% kabupaten/kota mempunyai risiko banjir yang tinggi; 93% mempunyai risiko kekeringan yang juga tinggi.
Krisis kelima adalah krisis agraria, laporan terakhir KPA (2024) menyebutkan selama tahun 2023 konflik agraria mengalami kenaikan 12 % dibanding tahun 2022 yang berjumlah 212. Laporan Tanahkita.id menyebutkan 81 konflik agraria terjadi di Pulau Jawa sampai Agustus 2024 dengan luas lahan konflik mencapai 600.442 Ha. Dari semua konflik hanya 10 kasus yang dianggap selesai dengan luas lahan 84.447 Ha.
ADVERTISEMENT
Pertanian Berkelanjutan
Isu pertanian berkelanjutan beroperasi dalam tiga kondisi negara—satu berbasis pertanian, satu transformasi, satu terurbanisasi. Dalam kurun waktu 2006-2019 Pravitasari et.al,. (2024) melihat peningkatan luas areal terbangun dan penurunan luas areal persawahan. Lahan persawahan lebih rentan dikonversi menjadi areal terbangun karena lahan tersebut sering kali berada di wilayah yang sangat diminati untuk pembangunan perkotaan atau proyek infrastruktur. Pada sisi lain penurunan ini diimbangi dengan ekspansi pertanian lahan kering yang umumnya memiliki kemampuan lahan lebih rendah.
Di Indonesia petani kecil menghasilkan sebagian besar makanan. Dengan kurang dari 2 Ha, dan bahwa porsi yang sedikit ini pun menyusut dengan cepat, jika dilihat dari data di atas, dengan proyeksi kehilangan 5.4 juta Ha (80% di Jawa). Jika petani kecil terus kehilangan dasar tanah, maka krisis pangan terjadi. Dan sebagian besar masyarakat akan kehilangan kapasitasnya untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam laporan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif disebutkan ada sekitar 6.000 desa dengan 13.000 KK yang hidupnya tergantung pada pertanian di Jawa. Namun lahan yang mereka miliki rata-rata hanya 0,7 hektar, yang membuat mereka tergolong sebagai masyarakat miskin.
Tabel 1. Distribusi Tanah Pertanian Indonesia dan Asia Pacific
Sumber: GRAIN | Hungry for land: small farmers feed the world with less than a quarter of all farmland
Arah pertanian lestari mensyaratkan akuntabilitas dan partisipasi – baik di tingkat global, nasional atau lokal. Ini menjadi relevan ketika institusi global dan pemerintah berusaha untuk memperluas jangkauan mereka dalam upaya untuk menciptakan – atau sekadar kedok membangun – pertanian berkelanjutan, dimana intervensi selalu dilakukan eksklusif dengan pendekatan atas bawah, seperti dalam kasus food estate lewat skema PSN yang melanggar azas penyelenggaraan tata ruang dan otonomi daerah. Dengan PSN semua aturan dapat dilanggar, dan ini adalah kesalahan terbesar dalam penyelenggaraan bernegara. Semua program food estate gagal, hal ini disebabkan oleh pola pikir menyerahkan masalah pertanian kepada korporasi besar (Rancangan Umum Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani).
ADVERTISEMENT
Jargon korporasi petani dalam (Sheperd dan Mittal, 2010) menyebabkan petani India, Indonesia, dan negara-negara Afrika kehilangan lahan. Korporasi pertanian menjadi bagian dari program pengentasan kemiskinan, lewat kerjasama perjanjian perdagangan internasional pertanian skala luas ditanam untuk tanaman ekspor, sehingga produksi pangan untuk kebutuhan lokal lebih sedikit. Selain itu model ini juga sering mengakibatkan tersingkirnya petani dari kepemilikan tanah kecil mereka oleh kepentingan agribisnis besar, sebagian besar areal tanah diolah untuk tanaman ekspor.
Backlog perumahan
Menurut data Kemen PUPR tahun 2022 jumlah backlog kepemilikan perumahan di Indonesia mencapai 10.5 juta. Mayoritas rumah tangga yang memiliki rumah sendiri sebanyak 83,99 persen, dengan proporsi 91,76 persen di daerah perdesaan dan 78,31 persen di daerah perkotaan (BPS, 2022a). Kepemilikan rumah tersebut mayoritas membangun sendiri (82,68 persen), sebanyak 8,53 persen didapat dari warisan, sisanya dari pengembang (BPS, 2022).
ADVERTISEMENT
Tabel 2. Jumlah dan Persentase Backlog Kepemilikan Rumah di Indonesia (2018-2023)
Sumber: Data Backlog Kepemilikan Rumah di Indonesia sejak 2018
Sebanyak 20 persen penduduk dengan pengeluaran terendah digolongkan menjadi kuintil pertama, dengan pendapatan 522.942 rupiah. Sesangkan kunitil terakhir 3.390.657 rupiah. Angsuran KPR memiliki rata-rata jangka waktu KPR sekitar 13 tahun, dengan besaran angsuran rata-rata sebesar RP1.624.921,81 setiap bulan (BPS, 2023). Akses terhadap KPR biasanya terbatas untuk rumah tangga dengan penghasilan tetap. Untuk bisa mendapatkan KPR, salah satu syarat yang harus dilampirkan adalah keterangan penghasilan atau slip gaji atau berupa laporan keuangan bagi wirausahawan. Persentase tertinggi rumah tangga yang menempati rumah dengan status kepemilikan milik sendiri dan memperoleh rumah dengan membeli dari pengembang atau bukan pengembang dengan cara membeli melalui angsuran KPR terdapat pada rumah tangga dengan status ekonomi tertinggi (kuintil 5).
ADVERTISEMENT
Provinsi terbesar dalam hal backlog kepemilikan rumah adalah Jawa Barat, 2.816.407 unit, DK Jakarta 1.498.949 unit, Jawa Timur 1.267.183, dan Sumatera Utara 1.025.079. Sebaran lain mulai dari puluh ribuan sampai ratus ribuan tersebar di seluruh Provinsi di Indonesia seperti Papua Barat 125.064 unit, Kaltim 265.932 unit, Sulteng 100.633 unit, NTT 135.217 dan seterusnya (Gaffar, 2024 Webinar Property Outlook 2024)
Dari seluruh rumah tangga di Indonesia, sebanyak 7,82 persen rumah tangga memiliki rumah lain selain yang ditempati saat ini. Penggunaan rumah lain dengan persentase tertinggi adalah untuk dihuni oleh keluarga/famili lain tanpa membayar (40,96 persen). Selanjutnya, 20,33 persen rumah tangga di Indonesia berencana untuk membeli atau membangun rumah/bangunan tempat sendiri lagi (BPS, 2023).
ADVERTISEMENT
Tabel 3. Persentase Rumah Tangga yang Menempati Rumah/Bangunan Tempat Tinggal Milik Sendiri yang Dibeli dari Pengembang atau Bukan Pengembang Menurut Karakteristik dan Cara Membeli, 2022
Sumber: BPS, 2023
Laporan SDG 2023 menyebutkan terjadinya peningkatan daerah kumuh (slum area). Menyangkut Tujuan 11 Kota dan Permukiman yang berkelanjutan, masih terdapat stagnasi dalam ketimpangan akses terhadap infrastruktur dan layanan dasar di perkotaan, pengelolaan limbah dan polusi, serta kesenjangan dalam pembangunan antara kota dan pedesaan. Sebesar 84% backlog perumahan didominasi oleh masyarakat berpenghasilan rendah.
Kebijakan strategis pembangunan kota/kabupaten harus mencakup pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu ketahanan pangan dan perumahan. Pembangunan kota/daerah juga mesti memerhatikan skala pembangunan, yaitu daya dukung dan daya tampung, serta distribusi pembangunan. Permasalahan terbesar di Indonesia adalah kebijakan pembangunan perumahan diserahkan ke pasar, dimana hal ini tidak sesuai dengan kondisi eksisting. Sedangkan komodifikasi tanah (terutama di daerah perkotaan megapolis) terus menerus berlangsung yang menyebabkan pemerintah daerah kehilangan aset tanah mereka karena dimiliki oleh sektor swasta, jaminan dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak bisa diberikan pemerintah Pusat dan Daerah.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya Kota-kota Indonesia: Vol III, Marco Kusumawijaya (2023) dalam Bab Rumah Kampung Kota melukiskan betapa sulitnya mendapatkan rumah di Jakarta, kepemilikan rumah di DKI Jakarta menurun dari 51,09% di tahun 2015 turun menjadi 45,04%. Rumah yang terjangkau oleh kaum miskin yang bekerja di pusat kota berlokasi makin jauh dari tempat bekerja. Rencana pengembangan apartemen di atas pasar milik PT Pasar Jaya tentu sebuah terobosan bisnis yang bagus jika hal tersebut dimaksudkan untuk masyarakat yang berada di kuintil 1 sampai 3.
Efek gentrifikasi yang selama ini dikhawatirkan bisa diantispasi dengan rencana pengembangan perumahan di atas Pasar Jaya tersebut, selain mendekatkan kelompok miskin dengan lokasi pekerjaan mereka, juga sebagai bagian dari program restorasi kota. Restorasi kawasan Kota Tua, renovasi dan pemanfaatan eks gedung Pos dan Peruri sebagai ruang kreatif adalah contoh antispasi gentrifikasi. Gedung dan rumah rumah dipugar, dapat dialihfungsikan dengan kedai kopi yang unik bermunculan. Trotoar dan ruang terbuka hijau secara bersamaan diperluas, dan keamanan dan kenyamanan publik akan membaik.
ADVERTISEMENT
Keadilan Ruang
Pikkety (2014, 2015) melihat ketidaksetaraan muncul ketika kekayaaan berkembang lebih cepat daripada pendapatan nasional, dalam kasus Indonesia di tahun 2016 Credit Suisse mengeluarkan data bahwa sekitar 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Sementara itu, 10% orang terkaya di Indonesia memiliki 74,8% kekayaan nasional. Ketimpangan ekonomi tersebut artinya membentuk kapitalisme dimana terdapat kelompok masyarakat mendapatkan kekayaan berlimpah tanpa harus berkontribusi banyak bagi ekonomi itu sendiri.
Tahun 2018 Indonesia di urutan ke-79 dalam pendapatan pendapatan per kapita walaupun peringkat ke-14 dalam kepemilikan sumberdaya alam. Indonesia berada di peringkat teratas penghasil kayu, ikan, batu bara, gas alam, minyak, nikel, emas, timah, dan tembaga. Jika dibandingkan Brazil maka negara tersebut di tahun yang sama pendapatan per kapitanya dua kali lipat, Indonesia gagal dalam proses pengelolaan kekayaannya. Dalam laporannya Walhi (2022) menyebutkan alokasi sumber daya alam oleh pemerintah lebih banyak kepada korporasi, itu pun terpusat pada sekelompok kecil. Pengalokasian yang bersifat struktural, baik melalui pengaturan regulasi, penentuan kebijakan, hingga pemberian izin dan atau alokasi lahan berujung pada 95% penguasaan oleh korporasi. Laporan Allianz Research (2024), Indonesia dimasukkan sebagai shrinking middle class (kelas menengah yang menyusut). Laporan ini juga menyebutkan bahwa 75.5% pendapatan seluruh populasi dikuasai oleh individu berpenghasilan tinggi.
ADVERTISEMENT
Sumber: Muttaqien (2025)
Ketimpangan di atas oleh Soja (2010) dianggap sebagai ketidakadilan spasial, dimana konsep keadilan spasial memandang bahwa keadilan, demokrasi, dan kewarganegaraan diartikan sebagai hak berpartisipasi dalam politik warga negara dalam keragaman ekonomi, sosial, dan budaya. Keadilan spasial juga memperhatikan alokasi dan distribusi secara berkeadilan dalam distribusi sumberdaya suatu wilayah. Dalam pengertian ini proyek PSN dalam jargon swasembada pangan bukanlah wujud dari pemerataan pola keruangan investasi publik privat. Malah semakin meminggirkan masyarakat tempatan seperti dalam kasus PSN Food Estate di Provinsi Papua Selatan atau investasi energi baru terbarukan di Pulau Rempang, yang meminggirkan masyarakat. Dalam kasus pertanian lestari versus perumahan yang layak huni dan sesuai dengan kebudayaan setempat, dua kasus ini sudah memberikan contoh peminggiran atau ketidakadilan ruang, dengan menggusur tempat tinggal dan ruang hidup masyarakat. Bahkan akan menggusur sawah produktif yang memiliki investasi tinggi sejak Revolusi Hijau dicanangkan tahun 1970-an.
ADVERTISEMENT
Pembangunan nasional dan daerah yang tidak memerhatikan keadilan atas tanah, menyebabkan proletarisasi dan polarisasi kelas. Polarisisasi kelas merupakan hal akrab di Indonesia, yaitu ketika perampasan tanah secara besar-besaran oleh pihak luar, sehingga menimbulkan disposesi atas tanah di perdesaan, kaum tani skala kecil tidak hidup dari kepemilikannya, namun dari upah tenaga kerja. Bahkan dalam sisi upah sevcara ekonomi tidak layak, karena dikerjaakn secara bersama-sama, ini dapat dilihat dari fenomena pertanian subsisten dan kernet/tenaga kerja tidak dibayar (unpaid labor) di perkebunan besar dan sawah-sawah yang dikerjakan oleh keluarga.
Pembangunan perumahan bukan hanya permasalahan Pulau Jawa dan tidak bisa dipusatkan di Pulau Jawa jika tidak ingin terjadi urbanisasi di wilayah megapolitan. Backlog perumahan tersebar di setiap provinsi di Indonesia dengan angka puluh ribuan sampai ratusan ribu unit. Eko Budihardjo (1984) menyebutkan bahwa rusun banyak yang salah sasaran, tahun 1982 keadaan rusun sewa di Kebon Kacang - ditempati hanya oleh 22% penghuni lama, sisanya tidak betah karena sempit. Penelitian setelahnya Kasimin (1997) menunjukkan bahwa hanya sekitar 25% pembangunan perumahan di Jabodetabek ditujukan bagi kelas menengah-ke bawah, hampir semua pengembang besar yang menguasai lahan di Jakarta membangun untuk menengah atas dan kalangan super kaya.
ADVERTISEMENT
Pemerintah wajib mereformasi kebijakan perumahan, pemerintah perlu menentukan keluarga mana yang berhak untuk hidup tempat tertentu dan mendapatkan rumah layak huni, pemilihan pengembang untuk penyediaan rumah, program bank tanah di Jakarta untuk penyediaan rumah, pengawasan distribusi rumah subsidi, membangun berbagai tipe rumah vertikal dengan kebutuhan kamar sesuai dengan jumlah anggota keluarga agar menghindari kekumuhan adalah bagian terpenting dari sistem pembangunan perumahan yang terjangkau.
Memperbaiki backlog perumahan tidak bisa dilakukan dengan menumbuhkan rumah di sawah produktif, namun mengatur pengauasaan lahan di seputar metropolitian, membuat penataan ruang yang terbuka, akuntabel, dan partisipatif sehingga masyarakat mengetahui arah kebijakan wilayahnya. Sedangkan aturan lahan pertanian berkelanjutan bukanlah sesuatu hal yang bertentangan dengan pembangunan perumahan, luas sawah mesti dipertahankan, bukan dengan cara melakukan deforestasi di tempat lain seperti Papua dan Kalimantan untuk menggantikan sawah (food estate) yang dalam kurun waktu 2011-2024 terbukti gagal.
ADVERTISEMENT
Ketahanan pangan sendiri mestilah memerhatikan keragaman makanan, peta ketahanan dan kerentanan pangan misalnya memasukkan provinsi kaya sumberdaya alam seperti Maluku, Maluku Utara, dan hampir seluruh Papua sebagai rentan dan sangat rentan. Selain masalah perampasan lahan (land grab) dan perampasan hijau (green grab) lahan pangan untuk tujuan lain oleh korporasi semisal energi terbarukan seperti yang terjadi di Kep. Aru, Pulau Buru, Flores, dan Papua Selatan. Masalah keragaman pangan lokal yang kemudian menjadi gerakan locavore sebagai respons terhadap dampak sistem pangan global dan terpusat. Locavore adalah individu yang berfokus pada konsumsi makanan yang diproduksi di komunitas lokal mereka, seringkali dalam jarak tertentu dari rumah mereka. Dengan merangkul gaya hidup Locavore, individu menikmati makanan yang lebih segar dan lebih bergizi langsung dari pertanian ke meja makan, mempromosikan ekonomi lokal dan mendukung pertanian berkelanjutan dan regeneratif.
ADVERTISEMENT
Pustaka
https://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/13923#:~:text=Rancangan%20ini%20berisi%20arahan%20sekaligus%20acuan%20bagi%20pihak,dapat%20berjalan%20sinergis%2C%20koordinatif%2C%20saling%20melengkapi%2C%20dan%20berkelanjutan.