Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Generasi Muda Nasibmu Pilu
11 September 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Redi Liana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik membagi ke dalam 6 kategori kelompok generasi di Indonesia, mulai dari Post Gen Z yaitu generasi yang lahir tahun 2013 dan seterusnya, kemudian Gen Z yakni generasi yang lahir 1997-2012, Gen Millenial yakni generasi yang lahir pada 1981-1996, selanjutnya Gen X yaitu angkatan 1965-1980, dua generasi terakhir adalah kelahiran 1945-1964 atau disebut Baby Boomer dan kelahiran sebelum 1945 atau disebut sebagai Pre-Boomer.
ADVERTISEMENT
Generasi X sampai dengan Pre-Boomer kira-kira saat ini usianya adalah 40 tahun sampai dengan 75 tahun ke atas. Tentu, generasi ini merupakan angkatan yang selanjutnya akan digantikan oleh generasi yang lebih muda yaitu Gen Millenial sampai dengan Post Gen Z. Mulai dari sektor publik sampai dengan sektor privat tentulah keberlangsungannya ada di tangan generasi post gen z sampai gen millenial atau dapat disebut sebagai “generasi muda”.
Keterlibatan generasi muda dalam menentukan masa depan sebuah negara memang tidak hanya sebatas teori atau jargon-jargon yang sering digaungkan oleh khalayak semata. Tetapi sudah banyak bukti, bahwa generasi muda memang memiliki pengaruh dan dampak yang sangat besar terhadap proses sejarah. Berbagai macam momentum bahkan tragedi sejarah Indonesia, di dalamnya selalu ada peran dan pengaruh generasi muda.
ADVERTISEMENT
Generasi muda telah menjadi fakta sejarah sebagai satu angkatan yang mampu memberikan sumbangsih positif terhadap perubahan, terhadap capaian-capaian yang diraih Indonesia dari dulu hingga kini. Bahkan, kalimat heroik yang diucapkan Bung Karno yakni “Berikan Aku sepuluh pemuda, maka akan Aku guncang dunia” sampai detik ini selalu digaungkan seolah menjadi penanda dahsyatnya peran generasi muda itu.
Lebih dari pada itu, jauh sebelum Soekarno mengatakan kalimat heroik tersebut, para pemuda di tahun-tahun 1926-1928 sibuk mengkonsolidasi diri, membangun konsensus untuk mewujudkan sebuah mimpi tentang ke-Indonesia-an dalam sebuah peristiwa yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Dalam peristiwa itu, setidaknya terdapat sebuah makna bahwa di dalam tatanan Indonesia yang merdeka haruslah tercipta kehidupan yang lebih baik dan sudah tentu layak.
Akan tetapi, ironi kemudian apabila kita bandingkan peran generasi muda dari waktu ke waktu dengan apa yang “kita” -- pemuda peroleh sebagai warga negara. Begitu serius ancaman nyata yang siap memangsa generasi penerus ini di kemudian hari bahkan mungkin esok hari. Dalam kondisi Indonesia yang sudah 79 tahun merdeka, setiap waktu generasi muda hanya sibuk “mencatat” daftar masalahnya.
ADVERTISEMENT
Mulai dari persoalan stunting yang tak kunjung selesai yang nyata mengancam generasi Post Gen Z. Bahkan mungkin sebagian Gen Z dan Millenial sudah telanjur lahir dan tumbuh dengan kondisi stunting. Hal itu tergambar dari keluhan Menteri Kesehatan yang menyebut bahwa sampai 2023 saja angka stunting masih sebesar 21,5 persen, bahkan Ia mengatakan lambat karena hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya. Lantas, apa yang dapat dilakukan generasi muda sebetulnya, ketika yang diberi kuasa saja justru mengeluh.
Ancaman bagi kehidupan generasi muda tak berhenti di situ, problem kesehatan mental juga nampaknya sangat akrab sebagai sebuah masalah generasi muda. Di tengah hidup yang penuh dengan tekanan sosial, kesulitan mencari cara dan menemukan solusi bertahan hidup, dan segudang tekanan lainnya, “wajar” apabila generasi muda kerap mengalami gangguan kesehatan mental atau yang oleh WHO disebut sebagai mental emotional disorder.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, menurut BKKBN angka mental disorder dari tahun ke tahun terus naik. Pada 2021, sebanyak 6,1 persen generasi muda mengalami mental disorder, dan tahun 2022 jumlahnya naik drastis menjadi 9,8 persen.
Fenomena tersebut tidak bisa dianggap sebagai satu fenomena biasa yang hanya dicatat sebagai laporan statistik. Mengingat, selalu saja digaungkan bahwa di tahun 2045, Indonesia akan menjadi emas. Bagaimana mungkin menjadi emas, ketika para penerusnya saja seakan “dibiarkan” menghadapi masalah yang ada.
Sepertinya, perak dan perunggu saja sulit diwujudkan apabila dari tahun ke tahun generasi muda Indonesia yang terkena mental disorder terus meningkat. Bahkan WHO menyebut, sampai tahun 2019 satu dari delapan orang terkena masalah mental, atau sebanyak 970 juta orang di dunia mengalami mental disorder. Padahal, generasi emas adalah suatu generasi yang memiliki kualitas unggul.
Tak berhenti disitu, perubahan iklim yang terjadi akibat aktivitas ekonomi ekstraktif juga menambah daftar ancaman terhadap keberlangsungan hidup generasi muda. Dampak yang terjadi akibat perubahan iklim sangat bisa dirasakan, seperti kekeringan dan banjir yang menyebabkan merosotnya hasil panen global. Bank Dunia menyebutkan bahwa perubahan iklim yang terjadi akan menurunkan hasil panen global sebesar 20 persen pada 2050.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia sendiri, dampak dari kekeringan akibat perubahan iklim yang terjadi sangat besar terhadap komoditas pertanian. Pada tahun 2022, sektor pertanian didera kerugian sebesar Rp10 triliun akibat hal itu. Di sisi lain pada tahun yang sama, harga pangan dunia melonjak naik 14,2 persen tertinggi sejak tahun 2011. Situasi demikian tentu semakin menambah kompleksitas masalah, dengan kata lain, generasi muda terancam menghadapi krisis atau kekurangan pangan di masa yang akan datang.
Perubahan iklim sebagai akibat logis dari aktivitas ekonomi ekstraktif juga mengancam kelestarian hidup generasi muda. Alih fungsi lahan, penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan, dan lain sebagainya, dalam waktu tertentu akan merusak ekosistem yang dimungkinkan dapat menciptakan bencana, baik sosial maupun alam. Alhasil, mana mungkin generasi muda Indonesia dapat menjadi manusia unggul, sedangkan hidupnya saja terancam punah. Bisa-bisa, generasi muda yang digadang-gadang sebagai generasi emas ini malahan menjadi generasi hopeless.
ADVERTISEMENT
Maka pada titik ini, ada satu kalimat yang relevan dikutip dalam film berjudul The Day After Tomorrow sebagai pengingat akan bahayanya perubahan iklim akibat aktivitas ekonomi yang arogan, kalimat yang dimaksud kira-kira seperti ini; “Selama bertahun-tahun, kita mengira bahwa kita bisa terus mengonsumsi sumber alam planet kita tanpa konsekuensi. Kita keliru, saya keliru”. Kalimat reflektif yang sangat tepat dimaknai sebagai alarm tanda bahaya, di mana film tersebut mengisahkan dampak perubahan iklim menyebabkan sebagian bumi kembali ke zaman batu akibat kutub es yang meleleh. Cerita film tersebut, bukan tidak mungkin suatu hari menjadi true story.
Daftar ancaman yang diuraikan dari A sampai C mungkin sampai Z ini hanyalah sebagian saja, masih banyak ancaman-ancaman lain yang apabila dituangkan semua, khawatirnya pemerintah sebagai pihak yang diberi mandat terjerumus dalam pesimisme.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, di tengah “keabaian dan kealpaan” para pihak yang diberi mandat untuk mengurus nasib warga negara, nampaknya pemuda harus tetap tabah menghadapi dan menentukan nasibnya sendirian, sekeras dan sepilu apa pun kondisinya. Walhasil, sebagai penutup kita semua berdoa “Semoga pemuda Indonesia tetap bisa mengguncang dunia."