Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada dan Korupsi Infrastruktur
5 September 2024 8:18 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Redi Liana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hiruk pikuk Pilkada serentak 2024 hari ke hari dalam beberapa pekan terakhir menjadi hidangan yang tersuguhkan di ruang publik. Perdebatan muncul di banyak platform. Dari mulai isu skenario kotak kosong, pecah kongsi koalisi gemuk, sampai berita terkait keretakan hubungan presiden terpilih Prabowo Subianto dengan presiden eksisting Joko Widodo yang mengubah peta konstelasi politik nasional dan Pilkada.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi demokrasi, pergunjingan mengenai konstelasi politik dengan seluruh dinamikanya, baik pro maupun kontra adalah hal yang wajar. Akan tetapi, demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai suatu sarana untuk berdebat siapa yang paling pantas dipilih. Demokrasi juga menghendaki munculnya perdebatan bagaimana yang akan dipilih menghadirkan solusi terhadap persoalan.
Sebagaimana yang dirumuskan oleh Keynes, bahwa dalam mewujudkan kesejahteraan, prinsip pertama adalah adanya demokrasi itu sendiri. Artinya, pembahasan yang muncul dalam kontestasi Pilkada, seharusnya juga sampai pada konsepsi ide dan gagasan untuk menyuguhkan berbagai alternative jawaban terhadap problem masyarakat. Mengingat, sejak Indonesia merdeka, kita telah sepakat bahwa demokrasi adalah satu sistem yang akan kita gunakan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Menghadapi transisi kepemimpinan yang terjadi, seharusnya dijadikan sebagai penanda bahwa Indonesia ke depan akan 10 langkah lebih maju dari sebelumnya. Terutama dalam pemberantasan korupsi. Mengingat, lima tahun ke belakang utamanya, menjadi satu periodesasi pemerintahan yang sepertinya tidak serius dalam memberantas korupsi.
ADVERTISEMENT
Mulai dari “pelemahan” KPK, penggunaan kasus korupsi sebagai alat lobi kepentingan, penindakan kasus korupsi yang seakan tebang pilih, dan lain sebagainya adalah potret bahwa memang agenda pemberantasan korupsi hanya sebagai pernak-pernik semata. Padahal, korupsi sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.
Oleh karenanya, dengan terpilihnya presiden dan wakil presiden yang baru, serta terbentuknya kepala daerah yang baru maupun incumbent melalui tahapan Pilkada nanti, menjadi sebuah tantangan bagaimana periodesasi pemerintahan nasional yang baru nanti, mampu atau tidak membangun sinergi untuk secara serius memberantas korupsi.
Pilkada dan Korupsi Infrastruktur
Ada hal menarik untuk kita catat sebagai janji Prabowo Subianto selaku presiden terpilih dalam sambutannya pada penutupan Rapimnas partai Gerindra 31 Agustus kemarin. Dikatakan bahwa dirinya akan mengecek ulang anggaran untuk disisihkan khusus pemberantasan korupsi dan pengejaran koruptor.
ADVERTISEMENT
Dengan lantang beliau mengatakan “kalaupun koruptor lari ke Antartika, aku kirim pasukan khusus untuk nyari mereka di Antartika”, ucapan ini paling minimal harus kita bold, sebagai pengingat untuk kita tagih kemudian pada saat dirinya sudah dilantik. Hal ini menjadi sangat mendesak, karena persoalan korupsi sudah mendarah daging, termasuk juga di daerah.
Tentu tidak bermaksud menjadikan persoalan korupsi di pemerintahan pusat dianggap sebagai hal yang tidak penting. Hanya saja, dengan berlangsungnya Pilkada, jika dikaitkan dengan data KPK sejak tahun 2004 sampai 2022, sebanyak 537 kasus korupsi ada di daerah. Artinya, dengan tingginya kasus tersebut, calon yang terpilih dalam Pilkada ini bukan tidak mungkin menambah rentetan kasus. Mengingat, sepanjang tahun 2022 saja, catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) sebanyak 18 kepala daerah ditangkap karena terlibat rasuah.
ADVERTISEMENT
Dari rentetan kasus tersebut, ICW juga mencatat bahwa korupsi infrastruktur adalah kasus yang paling banyak terjadi. Sepanjang tahun 2020-2021 saja misalnya, KPK menangani 36 kasus terkait korupsi infrastruktur di daerah. Artinya, pengadaan barang dan jasa kontruksi/infrastruktur adalah yang paling rawan dikorupsi. Sehingga, perlu mendapat pengawasan yang lebih ketat tanpa menghilangkan sektor lainnya.
Urgensi pengawasan pengadaan barang dan jasa infrastuktur tersebut pun menjadi semakin penting, mengingat ada satu produk undang-undang yakni Undang-undang Nomor 1 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, di mana ada klausul minimal 40 persen APBD harus dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.
Artinya, kepala daerah terpilih dalam proses Pilkada nanti, selanjutnya harus menjalankan amanat undang-undang tersebut. Padahal sebagaimana data yang ada, infrastruktur merupakan proses pengadaan barang dan jasa yang paling rawan dan rentan dikorupsi. Apalagi, korupsi selalu berangkat dari aksioma keterlibatan beragam aktor dan jaringan, artinya tidak hanya dilakukan oleh satu aktor semata.
ADVERTISEMENT
Urgensi Transparansi
Merujuk aksioma di atas, sebaik dan sebenar apa pun kepala daerah, bukan tidak mungkin terjerat korupsi terutama korupsi infrastruktur. Apabila melihat hasil penelitian yang dilakukan oleh Sylvia Tidey di Kota Kupang pada 2012, menunjukkan bagaimana panitia tender bekerja sama dengan kontraktor guna merancang tender agar nampak sesuai aturan. Sehingga bukan tidak mungkin, pada ujungnya kepala daerah juga akan terseret.
Apa yang ditemukan dalam penelitian tersebut, tentu tidak dimaknai semata-mata bahwa kepala daerah tidak mungkin menjadi aktor kunci. Mengutip J. Danang Widoyoko misalnya, para politisi, alih-alih melakukan perubahan, mereka justru memodifikasi strategi mendistribusikan sumber daya agar terlihat seperti aturan tender terbaru. Hal ini bisa dilihat dari apa yang dilakukan oleh Wali Kota Bandung Yana Mulyana, di mana dirinya menjadi aktor kunci dalam mendesain korupsi pada proyek pengadaan CCTV untuk program Bandung Smart City.
ADVERTISEMENT
Tentu masih banyak kasus korupsi lainnya yang melibatkan para pejabat di daerah. Kasus-kasus yang diuraikan di atas hanyalah contoh bagaimana korupsi masih menjadi momok luar biasa untuk Indonesia. Dari sekian banyak penjelasan, maka ada beberapa pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan oleh presiden terpilih dalam memberantas korupsi selain mengejar koruptor ke Antartika.
Problem korupsi yang masih terjadi ini, erat kaitannya dengan manajemen tata kelola yang belum optimal. Maka dari itu, presiden terpilih setidaknya harus memulai kerja pemberantasan korupsi melalui optimalisasi Lembaga Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) dan KPK. Tidak hanya berhenti pada e-katalog di LKPP atau OTT di KPK semata. Tapi bagaimana proses perencanaan anggaran sampai serah terima dan pembayaran itu termonitor oleh lembaga tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, penting kiranya pemerintah mendorong KPK untuk terus mengelaborasi Monitoring Control for Prevention (MCP) yang selama ini sudah dilakukan KPK dalam pencegahan korupsi di daerah. Kenapa penting untuk terus dielaborasi, karena pemberantasan korupsi utamanya soal pencegahan, perlu keterlibatan peran dari lembaga lain.
Terakhir, untuk menunjukkan keseriusan pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi, maka penting kiranya untuk menjunjung tinggi transparansi. Tidak hanya sebatas mempublikasikan agenda rutin institusi atau pejabat yang sama sekali tidak memiliki substansi. Transparansi harus diwujudkan paling tidak dengan membuka ruang seluas mungkin akses dan keterlibatan masyarakat terhadap informasi pembangunan.
Dengan demikian, masyarakat dapat langsung melihat bagaimana suatu perencanaan disusun, bagaimana suatu pembangunan dilaksanakan. Sehingga, hal-hal yang berpotensi menyimpang dari aturan, kemudian upaya praktik-praktik lancung yang berpotensi merugikan masyarakat dan negara, dapat diawasi secara langsung. Dari situlah harapan cita-cita kemerdekaan terwujud bisa dimulai.
ADVERTISEMENT