Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pilkada, Kotak Kosong, dan Segudang Masalah
31 Agustus 2024 11:52 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Redi Liana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca riuh ramai dan segudang dinamika Pemilu serentak Februari 2024 yang lalu, selanjutnya masih di tahun yang sama, kita akan dihadapkan dengan keriuhan yang mungkin juga terjadi dalam tahapan Pilkada serentak November nanti. Sebagaimana tahapan jadwal yang telah diatur oleh KPU, mulai dari tanggal 27 sampai dengan 29 Agustus 2024 adalah tahapan pendaftaran calon kepala daerah, selanjutnya para kandidat yang mendaftar apabila memenuhi syarat akan ditetapkan sebagai calon resmi pada September mendatang.
ADVERTISEMENT
Pilkada selain sebagai prosedur legal untuk memilih pemimpin pemerintahan di daerah, proses Pilkada juga memiliki urgensi bagi masyarakat untuk menentukan sosok seperti apa yang dianggap kapabel dan layak untuk mengurus kebutuhan dan persoalan yang ada. Sehingga, kerap kali dalam momen Pilkada, para kandidat yang ada adalah sosok yang cukup dikenal di masyarakat, bahkan yang tidak dikenal sekalipun, berusaha keras untuk mengasosiasikan dirinya dengan latar belakang atau nilai di masyarakat, agar dianggap layak.
Sebagaimana rilis resmi KPU, pada Pilkada serentak 2024 November mendatang, pasangan calon yang ada di 48 wilayah berpotensi melawan kotak kosong. Walaupun, sebagaimana regulasi yang ada, apabila pada satu wilayah hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar sampai hari terakhir, maka akan dibuka kembali perpanjangan pendaftaran selama tiga hari. Akan tetapi, apabila sampai dengan masa perpanjangan selesai tetap hanya ada satu pasangan calon, maka akan ditetapkan dan melawan kotak kosong.
ADVERTISEMENT
Fenomena melawan kotak kosong ini dapat dilihat dari dua kutub konsekuensi, pertama apabila munculnya calon tunggal melalui proses kandidasi yang betul-betul melibatkan masyarakat, melalui konvensi yang panjang mulai dari bawah, maka calon tunggal adalah sepenuhnya sosok yang dikehendaki, sehingga tidak menjadi persoalan. Artinya, pasangan calon tunggal tersebut memang merupakan jawaban dari apa yang dibutuhkan oleh publik.
Kedua, proses kandidasi yang ada hanya dinilai dari survei dan kehendak partai politik semata. Sekalipun ada mekanisme calon independen, realitanya tidak menjamin prosesnya melibatkan masyarakat. Dengan proses kandidasi yang hanya didasari hasil survei dan kehendak partai politik semata, calon tunggal sangat dimungkinkan tidak sesuai dengan kehendak masyarakat bahkan mungkin sama sekali tidak dikenal masyarakat. Kemudian, dengan tidak ada calon lain yang bisa dipilih, maka otomatis masyarakat “terpaksa dan dipaksa” tanpa bisa melakukan apa pun untuk setuju dengan calon yang ada.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi yang kedua menjadi catatan buruk bagi keberlangsungan demokrasi kita, jika sampai dengan penetapan nanti tetap terdapat calon tunggal di 48 wilayah tersebut, maka angka ini semakin memotret bagaimana proses Pilkada selama ini benar-benar memaksa masyarakat untuk nurut tanpa terkecuali. Hal ini dikarenakan pada Pilkada 2020, ada sebanyak 25 wilayah yang terdapat calon tunggal dan melawan kotak kosong, artinya jumlah tersebut meningkat di Pilkada 2024 ini.
Padahal, pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 60, terbuka lebar bagi banyak partai politik untuk mengusung kandidat. Mengingat, threshold 20 persen kursi yang menjadi hambatan partai untuk mengusung, sudah dihapus, dan syarat pencalonan disetarakan dengan jumlah suara sah mulai dari 6,5 sampai dengan 10 persen berdasarkan jumlah total daftar pemilih tetap. Hal ini seharusnya menjadi kesempatan bagi partai politik untuk mengusung kader-kader terbaiknya yang tentu dikenal dan dianggap layak oleh publik, sekalipun kandidasinya belum melibatkan masyarakat, minimal masyarakat memiliki beberapa alternative sebagai pilihan. Tetapi faktanya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini apabila dikaitkan dengan mahalnya biaya politik dalam kontestasi Pilkada, sangat dimungkinkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, menyatakan butuh Rp10 miliar untuk ikut berkontestasi dalam Pilkada. Biaya setinggi ini, menjadi logis apabila diasumsikan sebagai penyebab rendahnya keikutsertaan para kandidat sehingga menyebabkan terjadinya calon tunggal.
Biaya politik yang tinggi, apabila ditinjau dari studinya Burhanudin Muhtadi disebabkan oleh apa yang disebut dengan klientelisme relasional dan elektoral, dua jenis klientelisme ini pada ujungnya bermuara pada praktik transaksional jual beli suara. Perbedaannya, untuk klientelisme relasional hubungannya lebih berkelanjutan tidak hanya memberikan sesuatu saat kampanye. Sedangkan klientelisme elektoral, pemberian imbalan atau apa pun secara eksklusif dilakukan hanya pada saat kampanye.
Dalam tradisi negara demokrasi yang lebih maju dan mapan, kecenderungan orang mendukung pilihannya didasari karena sikap partisan yang mendorong dirinya memilih karena kedekatan ideologi dan visi, sehingga biaya politik dapat ditekan bahkan kandidat mendapat sumbangan biaya politik dari para pendukungnya. Hal tersebut yang tidak terjadi dalam konteks politik di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bahkan, masih menurut Burhanudin Muhtadi, dalam kasus politik di Indonesia, semakin seseorang menjadi partisan maka harus semakin dirawat dengan memberikan imbalan sebagai “bayaran” atas dukungannya agar tidak bergeser untuk mendukung pihak yang lain. Hal ini menyebabkan, selain harus merawat apa yang disebut dengan basis, biaya politik juga diperlukan untuk memastikan swing voters juga turut mendukung dan memilihnya mengingat apabila hanya mengandalkan suara basis, jumlahnya secara total hanya 15 persen dari total pemilih, sehingga jelas akan menambah biaya.
Merujuk pada studi tersebut, tentu mekanisme demokrasi kita sedang tidak baik-baik saja. Meningkatnya calon tunggal di beberapa wilayah tidak bisa dianggap sebagai fenomena politik biasa apalagi jika hal itu betul disebabkan karena biaya politik yang mahal dan fantastis. Mengingat, perjalanan kita sebagai sebuah bangsa masih sangat panjang, apabila hal-hal demikian masih dibiarkan terjadi, tidak mungkin akan terjadi regenerasi kepemimpinan yang selaras dengan kehendak zaman.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, sesegera mungkin sistem politik Pilkada kita harus berbenah terutama dalam proses kandidasi secara berjenjang. Masyarakat sebagai pemilih harus terlibat dengan diberikan ruang menguji secara langsung para kandidat dari awal, tidak hanya dijadikan sebagai responden survei atau diklaim sebagai basis pendukung untuk diatasnamakan menjadi aspirasi publik. Dengan keterlibatan masyarakat pula demokrasi kita akan on the track dan berdampak, karena para kandidat yang terpilih merupakan kehendak dan jawaban dari keinginan masyarakat.
Selain itu, praktik politik klientelistik yang menjadi hantu juga bisa digeser menjadi politik programatik, karena dengan kandidasi yang dilakukan secara berjenjang, aspirasi publik benar-benar tersampaikan pada saluran yang tepat, dan para kandidat yang kemudian terpilih tidak hanya bertanggung jawab pada partai politik pengusungnya, tetapi juga pada publik yang secara langsung menitipkan aspirasinya. Hal itu juga akan berpengaruh terhadap kaderisasi di dalam partai politik, singkatnya, kader-kader partai politik kemudian lahir dari proses yang meritokrasi.
ADVERTISEMENT
Yang paling mengkhawatirkan adalah, ketika munculnya banyak calon tunggal melawan kotak kosong diberbagai tempat, disebabkan karena kekhawatiran mendapat perlakuan sebagaimana saat Pemilu. Para pihak yang berseberangan dengan kekuasaan, ditekan menggunakan banyak hal, sehingga dalam Pilkada memilih mengamankan diri dan bergabung dengan koalisi yang paling aman. Semoga saja kekhawatiran tersebut tidak benar, karena jika benar akan semakin membawa demokrasi kita ke dasar jurang.