Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.7
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Efisiensi Melalui Virtual Office, Tetap Kena PPh Final atau Tidak?
24 Maret 2025 13:05 WIB
·
waktu baca 9 menitTulisan dari Arief Hidayat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Iklan Virtual Office dan beragam spanduk penawarannya sering kita temui di ibukota, tepatnya di lokasi strategis, . Fenomena ini semakin marak ketika pandemi melanda dunia, termasuk Indonesia yang terkena dampak Covid-19 dan memaksa pekerja yang selama ini di kantor untuk tetap berada di rumah. Maka muncullah konsep Work From Home atau WFH, bekerja dari rumah. Konsep ini masih sangat relevan hingga saat ini dengan digitalisasi yang berkembang pesat dan upaya perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya.
ADVERTISEMENT
Apa sebenarnya Virtual Office itu? Belum ada definisi tunggal dan baku mengenai istilah ini. Jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, virtual berarti maya. Maya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna hanya tampaknya ada, tetapi nyatanya tidak ada. Kata virtual juga erat dengan kata digital. Jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan virtual office ini dipicu dan kemudian dikembangkan karena lahirnya teknologi digital dan kemunculan internet. Selain itu juga ada dorongan untuk dapat berkantor tanpa perlu ke kantor atau memaksimalkan pemanfaatan ruang yang ada agar lebih efisien.
Maka, secara harfiah Virtual Office itu adalah kantor non fisik atau manajemen perkantoran yang dilakukan secara digital. Virtual Office sangatlah relevan dengan perkembangan yang ada dan kompatibel dengan konsep WFH. Teknologi sudah semakin canggih sehingga semua aktivitas pekerjaan kantor bisa dilakukan dimanapun menggunakan perangkat pintar. Di kota-kota besar, konsep WFH bisa menjadi solusi dalam efisiensi biaya operasional perusahaan dan karyawan. WFH juga membantu mengurangi kepadatan lalu lintas serta mengurangi polusi dari emisi karbon dari kendaraan.
ADVERTISEMENT
Penyediaan Virtual Office di Indonesia pada umumnya dilakukan oleh pemilik gedung perkantoran yang berada di zona perkantoran. Hal ini didasari oleh ketentuan perundang-undangan bahwa kegiatan usaha harus sesuai dengan pemanfaatan ruang (zona). Tidak semua lokasi dapat dijadikan alamat untuk kantor karena pemerintah telah mengatur zona-zona mana yang diperbolehkan untuk aktivitas perkantoran. Meskipun pada prakteknya, kegiatan perkantoran dengan konsep WFH tidak memandang zona dan batas wilayah. Kehadiran Virtual Office telah menjadi solusi bagi pengusaha di era digitalisasi ini.
Penyedia Virtual Office biasanya memberikan beberapa pilihan bagi penggunanya. Fasilitas utama yang diberikan adalah alamat surat-menyurat atau alamat kantor. Penyedia juga memberikan fasilitas ruangan fisik, baik untuk rapat atau keperluan kantor lain, termasuk fasilitas ruang kerja bersama (coworking space). Penyedia juga memberikan jasa perkantoran seperti surat-menyurat, surat elektronik, bahkan jasa legalitas dimulai dari pendirian perusahaan, perizinan, hukum dan perpajakan. Semua ini tergantung dari kebutuhan pengguna, apakah hanya menggunakan Virtual Office sebagai alamat tempat kedudukan usaha atau sekaligus memanfaatkan ruangan fisik, termasuk menggunakan jasa lain yang ditawarkan oleh penyedia.
ADVERTISEMENT
Aspek Perpajakan Penyediaan Virtual Office
Istilah Virtual Office tidak didefinisikan secara tegas dalam Undang-Undang, namun disebutkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Dalam beleid tersebut menyebutkan bahwa Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (coworking space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh pengelola Kantor Virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).
ADVERTISEMENT
Definisi di atas hanya memberikan penjelasan terbatas pada ketentuan teknis yang berkaitan dengan administrasi NPWP dan/atau PKP, sehingga belum cukup kuat jika dijadikan dasar hukum pengenaan pajaknya. Sampai saat ini belum ada aturan yang lebih spesifik mengatur pengenaan PPh dan PPN atas Virtual Office.
Mari kita tinjau lebih lanjut pengenaan pajak terkait Virtual Office ini dari sisi penyedia dan sisi pengguna sesuai ketentuan perpajakan yang ada.
PPh Pasal 4 ayat 2
Pasal 4 ayat (2) huruf d UU PPh mengatur jelas bahwa penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dikenai pajak bersifat final.
Kemudian ketentuan ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan. Dalam pasal 2 ayat (1) PP ini menyebutkan bahwa atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau Bangunan baik sebagian maupun seluruh Bangunan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. Kemudian dalam pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau Bangunan merupakan semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh Penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan/atau Bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya layanan, dan biaya fasilitas lainnya, baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan.
ADVERTISEMENT
Maka kantor yang berupa bangunan atau ruangan, termasuk objek PPh Pasal 4 ayat (2). Kemudian, dasar pengenaanya adalah nilai bruto yang dibayarkan termasuk biaya yang berkaitan dengan bangunan atau ruangan tersebut. Sepanjang penyedia Virtual Office memberikan fasilitas tambahan yang berkaitan dengan bangunan/ruangan kantor, maka atas biayanya juga dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2). Sedangkan jasa lain yang ditawarkan, jika tidak berkaitan dengan bangunan/ruangan yang disewa, bukan objek PPh Pasal 4 ayat (2) meskipun dijadikan satu kesatuan dari penawaran/perjanjian/kontrak.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Virtual Office yang meliputi persewaan ruangan secara fisik termasuk biaya yang berkaitan dengan ruangan, dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final dengan tarif 10% dari nilai bruto yang dibayarkan.
ADVERTISEMENT
Kewajiban pemotongan dan penyetoran muncul apabila pengguna merupakan pemotong yaitu badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan. Kemudian pemotong melaporkan pemotongan PPh atas persewaan tanah dan/atau bangunan dalam SPT Masa PPh 4 ayat (2) dan memberikan bukti potong ke penyedia Virtual Office. Jika bukan pemotong, maka penyedia Virtual Office yang menyetorkan sendiri dan melaporkan SPT Masa Unifikasi.
Jadi, kuncinya pada ada atau tidaknya penyewaan ruangan secara fisik. Jika iya, tentu pengenaan PPh Final menjadi lebih efisien bagi penyedia Virtual Office karena tidak perlu menghitung kembali PPh terutangnya di SPT Tahunan, cukup dilaporkan saja sebagai objek PPh Final.
ADVERTISEMENT
PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 25/29
Penyediaan Virtual Office berupa sewa alamat sebagai tempat kedudukan usaha saja atau karena alasan legalitas usaha tanpa menggunakan ruangan fisik, tidak memenuhi ketentuan persewaan tanah dan/atau bangunan yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) melainkan objek PPh Pasal 4 ayat (1) huruf i yaitu sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Karena alamat Virtual Office yang melekat pada tanah dan/atau bangunan bisa dikategorikan sebagai harta.
Beberapa penyedia Virtual Office juga banyak menawarkan jasa seperti pendirian usaha, perizinan, hukum, dan perpajakan. Atas jasa-jasa ini juga termasuk penghasilan yang termasuk objek PPh Pasal 4 ayat (1) huruf a, yaitu penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
ADVERTISEMENT
Bagi penyedia Virtual Office, atas penghasilan yang diterima dari penyewaan alamat Virtual Office dan/atau jasa-jasa yang disebutkan tadi, merupakan objek PPh yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan dengan menghitung kembali PPh yang seharusnya terutang. Dalam hal ini, penyedia dapat membebankan biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penyediaan jasa tersebut secara fiskal. Apabila perhitungan dalam SPT menjadi Kurang Bayar, maka penyedia Virtual Office wajib menyetorkan PPh Pasal 25/29 terutang.
Kemudian, bagi pengguna Virtual Office yang merupakan badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, maka pengguna merupakan pemotong PPh Pasal 23. Atas sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib dilakukan pemotongan. Maka pengguna yang merupakan pemotong wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23, menerbitkan bukti potong dan melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi.
ADVERTISEMENT
Termasuk pula untuk jasa-jasa yang tadi disebutkan, jika ditinjau maka termasuk jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 dan yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2. Bisa saja penyedia Virtual Office memberikan jasa yang merupakan jasa pengurusan dokumen, jasa konsultan, dan/atau jasa hukum yang termasuk jenis jasa yang dipotong PPh Pasal 23. Maka pengguna yang merupakan pemotong juga wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23, menerbitkan bukti potong dan melaporkan SPT Masa PPh Unifikasi.
Selanjutnya, penyedia Virtual Office berhak atas bukti potong PPh Pasal 23 dari pemotong untuk dikreditkan dengan pajak yang terutang dalam SPT Tahunan. Apabila PPh yang dipotong lebih besar daripada PPh yang terutang, maka SPT Tahunan akan berstatus Lebih Bayar. Selain itu, jika biaya pada tahun tersebut ternyata lebih besar dan menyebabkan rugi, penyedia Virtual Office bisa mengkompensasikan kerugian tersebut ke tahun pajak berikutnya.
ADVERTISEMENT
Pajak Pertambahan Nilai
Pada dasarnya seluruh barang dan jasa merupakan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai, selain yang dikecualikan dalam Pasal 4A UU PPN. Maka penyediaan Virtual Office, baik sebatas sewa alamat maupun sewa ruangan fisik serta jasa pengurusan dokumen, jasa konsultan, dan/atau jasa hukum, termasuk Jasa Kena Pajak.
Bagi penyedia Virtual Office yang berstatus Pengusaha Kena Pajak, maka wajib melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN. Penyedia wajib menerbitkan Faktur Pajak pada saat terutangnya yaitu saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pada saat pembayaran apabila diterima pembayaran sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak. Kemudian, menyetorkan PPN terutang dan melaporkan SPT Masa PPN paling lambat akhir bulan berikutnya.
ADVERTISEMENT
Bagi pengguna Virtual Office yang juga berstatus Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penyedia dapat dijadikan Faktur Pajak Masukan untuk dikreditkan dengan Faktur Pajak Keluaran karena berhubungan langsung dengan kegiatan usaha. Sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 9 UU PPN, pengguna boleh mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Jasa Kena Pajak Virtual Office.
Kesimpulan
Dari tinjauan mengenai aspek pengenaan pajak Virtual Office diatas, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam UU Perpajakan yang ada sesungguhnya telah mengakomodir perlakuan perpajakan Virtual Office. Namun dalam prakteknya masih terdapat perbedaan penerapan yang dilakukan oleh pelaku bisnis ini, ada yang menganggap bahwa semua bentuk Virtual Office dikenakan PPh Pasal 4 ayat (2) dan ada yang mengharapkan terbitnya aturan khusus yang mengatur mengenai kewajiban perpajakan Virtual Office.
ADVERTISEMENT
Virtual Office tentu saja menjadi lebih efisien bagi sebagian banyak pelaku usaha, namun kewajiban perpajakannya tetap perlu diperhatikan lebih lanjut. Mau dikenakan PPh Final atau tidak, pada dasarnya pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan secara self-assessment yang kemudian dapat diuji kebenarannnya oleh otoritas pajak melalui aktivitas pengawasan dan/atau pemeriksaan.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak, bisa saja memberikan penegasan apabila Wajib Pajak mengajukan permintaan penegasan mengenai pengenaan pajak Virtual Office. Bahkan, itu bisa menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menimbang kembali apakah perlu menerbitkan aturan khusus terkait pengenaan pajak Virtual Office ini. Pada akhirnya, pajak yang dibayarkan oleh Wajib Pajak harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.