Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Feodalisme dalam Pesantren: Kewenangan Sentral dan Sistem Patron-Klien
23 Februari 2025 10:32 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Refa Defanda Witanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pesantren memiliki posisi unik sebagai tempat pendidikan agama Islam di Indonesia. Pesantren berfungsi sebagai pusat pembelajaran agama dan pusat budaya penting yang memengaruhi kehidupan jutaan orang. Secara historis, pesantren telah berperan dalam melestarikan tradisi Islam, membina pemimpin masa depan, dan menumbuhkan rasa kebersamaan yang kuat (Ainul et al., 2022). Di tengah warisan yang kaya, pesantren juga memiliki identitas budaya yang khas yang dicirikan oleh hierarki sosial yang terdefinisi dengan baik. Struktur hierarki ini merupakan bagian integral dari kerangka operasional pesantren (Arfah & Wantini, 2023). Struktur ini mencerminkan nilai-nilai tradisional seperti kepatuhan dan disiplin, yang dianggap penting untuk pembentukan karakter. Namun, hierarki tersebut juga mencerminkan pola feodal, di mana sistem patriarki dan hubungan patron-klien antara kiai dan santri mewujudkan budaya kepatuhan mutlak terhadap otoritas.
ADVERTISEMENT
Peran Kiai sebagai Otoritas Sentral: Kekuasaan dan Potensi Penyalahgunaan
Kiai adalah figur sentral dalam pesantren, yang berperan sebagai guru agama sekaligus pemimpin spiritual. Dengan jumlah santri yang hampir mencapai 5 juta jiwa di seluruh Indonesia, peran kiai juga menjadi semakin besar dalam mengelola komunitas yang luas ini (Maarif, 2024). Besarnya jumlah santri juga memperkuat otoritas kiai sebagai tokoh sentral yang bertanggung jawab untuk membimbing dan menjaga stabilitas pesantren. Posisi ini kemudian menjadikan kiai sebagai sumber otoritas tertinggi, hampir tidak dapat dicela. Sehingga, santri diharapkan untuk mematuhi semua keputusan dan nasihat kiai, seringkali tanpa mempertanyakan relevansinya (Pebriansyah dkk., 2022). Namun, pemusatan kekuasaan di tangan kiai juga membuka pintu bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan, seperti kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Gambar 1. Laporan Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan
Data dari gambar di atas menunjukkan bahwa pesantren melaporkan 16 kasus kekerasan seksual, menempatkannya sebagai yang tertinggi kedua di antara lembaga pendidikan, tepat di bawah universitas, yang memiliki 35 kasus (Ahdiat, 2023). Banyak kasus yang melibatkan kiai sebagai pelaku, seperti di Ogan Ilir, di mana 26 siswa mengalami pelecehan, dan di Mojokerto, di mana pengasuh pesantren menyerang empat siswa. Contoh lain di Pinrang, seorang pemimpin pesantren dituduh melakukan pelanggaran seksual yang melibatkan kontak fisik yang tidak pantas (Alfredo et al., 2022). Hal ini sangat ironis mengingat pesantren dianggap sebagai tempat perlindungan bagi perkembangan moral dan spiritual. Mereka diharapkan untuk menyediakan lingkungan yang aman bagi siswa muda untuk tumbuh di bawah bimbingan para pemimpin agama.
ADVERTISEMENT
Hubungan Patron-Klien di Pesantren
Hubungan patron-klien adalah suatu sistem di mana seorang patron menyediakan sumber daya atau perlindungan kepada klien sebagai imbalan atas kesetiaan atau bentuk dukungan lainnya (Siswanto & Yulita, 2019). Sistem ini khususnya menonjol dalam tradisi pesantren Indonesia, di mana kiai bertindak sebagai patron, dan para santri berperan sebagai klien.
Di pesantren, kiai memegang posisi yang berwibawa. Mereka memberikan pendidikan agama dan bahkan kebutuhan sehari-hari kepada para santri. Sebagai balasannya, para santri menunjukkan kesetiaan dan rasa hormat yang kuat, mematuhi nilai-nilai dan ajaran yang diberikan oleh kiai (Ma'arif, 2010). Hubungan tersebut melampaui ranah pendidikan, membentuk kehidupan sosial dan spiritual para santri, dan sering kali memengaruhi masyarakat sekitar juga.
ADVERTISEMENT
Misalnya, peran kiai sebagai patron dilegitimasi melalui pengetahuan agama dan otoritas spiritual mereka, yang sering dianggap sebagai pewaris ajaran Nabi, atau ulama warasatul anbiya dalam bahasa Arab (Ma'arif, 2010). Para santri, pada gilirannya, membalas budi dengan membantu memelihara pesantren dan menyebarkan ajaran kiai. Ketergantungan timbal balik ini menjamin kelangsungan sistem pesantren (Setiawan, 2012). Hubungan ini menggambarkan karakteristik dinamika patron-klien, termasuk subordinasi dan ketergantungan, yang merupakan bagian integral untuk memelihara pengaruh pesantren.
Bisakah Budaya Feodalisme di Pesantren Beradaptasi dengan Nilai-Nilai Modern?
Budaya feodal pesantren yang berakar pada hierarki yang kaku menimbulkan kekhawatiran tentang keselarasannya dengan nilai-nilai modern seperti kesetaraan, inklusivitas, dan akuntabilitas. Nilai-nilai modern mengutamakan penegakan hak-hak individu, memastikan transparansi, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan sambil menjaga peran pesantren dalam memelihara perkembangan moral dan spiritual. Sistem patron-klien melanggengkan budaya di mana otoritas sering tidak dipertanyakan ditambah dengan nilai-nilai patriarki, menciptakan lingkungan di mana kekuasaan terpusat di tangan segelintir orang, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk transparansi atau akuntabilitas. Menyeimbangkan tradisi-tradisi ini dengan tuntutan kesetaraan dan perlindungan hak-hak masih menjadi tantangan yang signifikan.
ADVERTISEMENT