Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Slogan "Save Europe" dan Gerakan Nasionalisme di Eropa
6 Januari 2025 12:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Refa Defanda Witanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa tahun terakhir, slogan "Save Europe" semakin sering muncul di berbagai platform media sosial. Slogan ini tidak hanya sekadar kalimat, tetapi mencerminkan kekhawatiran sebagian masyarakat Eropa terhadap perubahan sosial dan demografis yang dianggap mengancam identitas budaya mereka. Konten-konten yang menggunakan slogan ini sering kali memuat narasi nasionalis dan anti-imigran, berfokus pada isu-isu seperti peningkatan jumlah imigran dari Timur Tengah dan Afrika, hingga serangan teroris yang melanda Benua Biru ini.
ADVERTISEMENT
Apa Itu "Save Europe"?
"Save Europe" merupakan slogan yang digunakan oleh kelompok-kelompok nasionalis yang merasa bahwa identitas murni Eropa berada dalam bahaya atau mulai tersingkirkan oleh para imigran dan masyarakat yang beragama Muslim. Mereka melihat Eropa yang semakin multikultural ini sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional yang telah lama dijaga selama ribuan tahun. Sehingga, imigrasi massal yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika, serta isu-isu keamanan, seperti terorisme, selalu dijadikan sebagai konten oleh mereka yang mendukung gerakan ini.
Slogan ini tidak hanya terbatas pada satu negara, tetapi menyebar luas di berbagai belahan Eropa, seperti Inggris, Jerman, Prancis, hingga negara-negara Nordik. Media sosial menjadi wadah utama penyebaran slogan ini, dengan berbagai konten rasisme yang mempromosikan pesan-pesan nasionalisme dan kekhawatiran terhadap imigrasi.
ADVERTISEMENT
Krisis Migrasi Eropa 2015
Gerakan "Save Europe" ini tidak lahir dari ruang kosong, tetapi merupakan reaksi dari masyarakat Eropa terhadap perubahan sosial dan politik di Eropa yang semakin menjadi multikultural. Migrasi Massal dari Timur Tengah dan Afrika Konflik di Timur Tengah, seperti perang di Suriah, dan krisis ekonomi di beberapa negara Afrika, telah menyebabkan gelombang besar migrasi ke Eropa. Inggris, Jerman, dan Prancis menjadi negara tujuan utama para pengungsi dan imigran, yang kemudian memicu kekhawatiran di kalangan sebagian masyarakat lokal.
Hal ini kemudian dikenal sebagai Migration Crisis pada tahun 2015 berdasarkan tabel di atas, di mana lebih dari 1 juta pengungsi dari Timur Tengah, yang mayoritas berasal dari Suriah, mengungsi karena adanya konflik dan kegagalan ekonomi di negara-negara asal, sehingga mereka mencoba untuk mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa (ICMPD, 2015) . Faktor ini yang pada awalnya menyebabkan rakyat Eropa merasa identitas nasional dan budaya Eropa sedang terancam oleh masuknya imigran dengan latar belakang budaya dan agama yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Misalnya di Jerman, dengan populasi imigran terbesar di Eropa, telah menjadi pusat perdebatan terkait kebijakan imigrasi. Kebijakan terkenal "Wir schaffen das" yang dicanangkan oleh Kanselir Angela Merkel pada puncak krisis pengungsi tahun 2015 mendorong masuknya lebih dari satu juta pengungsi, terutama dari Timur Tengah, terutama setelah terjadinya Perang Suriah.
Namun, kebijakan ini kemudian terbukti sebagai "pedang bermata dua". Di satu sisi, kebijakan tersebut menunjukkan komitmen Jerman terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas. Di sisi lain, masuknya pengungsi dalam jumlah besar memicu banyak yang khawatir bahwa jumlah imigran yang terus bertambah akan mengubah komposisi demografis negara ini secara signifikan, sehingga menyebabkan pergeseran budaya, serta menambah beban ekonomi dan sistem kesejahteraan sosial.
Seiring berjalannya waktu, kebijakan ini memunculkan protes dari kalangan yang merasa bahwa negara tidak mampu mengelola dampak imigrasi secara memadai. Munculnya partai-partai politik populis seperti AfD (Alternative für Deutschland) yang menentang kebijakan ini adalah salah satu indikator dari reaksi balik yang dihasilkan oleh kebijakan "Wir schaffen das". Gerakan "Save Europe" di Jerman pada akhirnya menggunakan narasi ini, di mana mereka merasa bahwa Eropa, khususnya Jerman, perlu 'diselamatkan' dari ancaman imigrasi massal dan perubahan budaya yang menyertainya.
ADVERTISEMENT
Peningkatan Agama Islam di Eropa
Seiring dengan arus besar imigran dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Suriah, Irak, dan Afghanistan, populasi Muslim di Eropa, termasuk di Jerman, terus mengalami pertumbuhan yang signifikan.
Di Jerman, misalnya, kebijakan imigrasi yang terbuka pada tahun-tahun puncak krisis pengungsi menyebabkan lonjakan jumlah penduduk Muslim. Perubahan ini memicu keresahan di kalangan sebagian masyarakat bahwa Eropa sedang mengalami proses "Islamisasi", sebuah istilah yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok nasionalis dan pendukung gerakan "Save Europe". Kekhawatiran tersebut bukan hanya terkait dengan perubahan demografi, tetapi juga dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai budaya dan sosial Eropa yang dianggap sekuler dan berbasis pada prinsip-prinsip kekristenan.
Gambar di atas menunjukkan proyeksi persentase populasi Muslim di berbagai negara Eropa. Di Jerman sendiri, khususnya bagian Jerman Barat, yang diperkirakan akan memiliki 24% populasi Muslim dari total jumlah penduduknya. Angka ini merupakan salah satu yang tertinggi di Eropa Barat, di mana rata-rata populasi Muslim di beberapa negara Eropa lainnya, seperti Inggris (17.2%), Prancis (18%), dan Belgia (18.2%), juga menunjukkan peningkatan yang signifikan.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan arus besar imigran dari negara-negara mayoritas Muslim selama krisis migrasi tahun 2015, populasi Muslim di Jerman terus tumbuh pesat. Faktor ini telah memicu kekhawatiran di kalangan sebagian masyarakat Jerman tentang perubahan demografi yang cepat, dengan populasi Muslim yang diproyeksikan akan terus meningkat dalam beberapa dekade mendatang. Di kalangan nasionalis dan pendukung gerakan "Save Europe," peningkatan populasi Muslim ini sering kali dilihat sebagai ancaman terhadap identitas budaya Jerman dan Eropa yang secara tradisional berakar pada nilai-nilai Kristen dan sekuler.
Sebagian besar narasi "Save Europe" menyoroti pertumbuhan Islam sebagai faktor yang dianggap mengancam nilai-nilai tradisional Eropa. Misalnya, ada kekhawatiran bahwa peningkatan jumlah Muslim dapat memengaruhi kebijakan publik, dari hak-hak perempuan hingga pendidikan, bahkan sistem hukum yang berlandaskan Syari'at.
ADVERTISEMENT
Di beberapa negara, retorika seperti ini juga diperkuat dengan adanya insiden kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstremis, yang meskipun merupakan minoritas, digunakan sebagai bukti oleh kelompok nasionalis untuk mendiskreditkan seluruh komunitas Muslim.
Di Jerman dan negara-negara lain di Eropa, kekhawatiran ini sering dimanfaatkan oleh partai-partai populis dan sayap kanan yang menjadikan "pertahanan" nilai-nilai Eropa dari ancaman eksternal sebagai agenda politik utama mereka.
Gerakan seperti "Save Europe" berusaha menonjolkan narasi ini di berbagai media sosial, di mana mereka menyebarkan konten yang memperingatkan tentang Islamisasi dan mempromosikan kebijakan-kebijakan yang membatasi masuknya imigran Muslim.sial dan Politik dari Gerakan "Save Europe".
Berdasarkan gambar di atas, penyebaran slogan "Save Europe" tidak hanya berhenti pada tingkat wacana, tetapi sudah berdampak signifikan pada dinamika sosial dan politik di Eropa. Salah satu dampak paling nyata adalah meningkatnya sentimen anti-imigran dan rasisme. Di beberapa negara, partai-partai politik yang mengusung agenda nasionalis dan populis semakin mendapatkan dukungan, dengan janji untuk mengendalikan imigrasi dan melindungi identitas nasional dengan kebijakan-kebijakan anti-imigran mereka.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Gerakan "Save Europe" merupakan refleksi dari keresahan sebagian masyarakat Eropa terhadap perubahan yang semakin cepat terjadi di benua tersebut, baik dari segi demografi, agama, maupun budaya. Meningkatnya jumlah imigran, populasi Muslim, dan serangan terorisme adalah beberapa faktor yang memicu ketakutan akan hilangnya identitas nasional dan nilai-nilai tradisional Eropa. Slogan "Save Europe" mencerminkan kekhawatiran bahwa perubahan ini dapat mengancam masa depan benua biru dan membuat Eropa kehilangan ciri khas budaya yang telah dibangun selama ribuan tahun.
Namun, penting untuk diingat bahwa multikulturalisme dan keberagaman bukanlah ancaman, melainkan bagian dari realitas global yang tak terhindarkan. Tantangan utama bagi Eropa adalah menemukan keseimbangan antara menjaga nilai-nilai tradisionalnya dengan merangkul perubahan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kemanusiaan, inklusi, dan solidaritas. Solusi yang dibutuhkan bukanlah retorika eksklusif dan intoleran, tetapi pendekatan yang menciptakan harmoni antara komunitas-komunitas yang berbeda serta mendorong dialog dan integrasi yang sehat.
ADVERTISEMENT