Konten dari Pengguna

Membaca dan Menulis Puisi: Cara Saya Menemukan Diri di Tengah Kesibukan

Refinka Citra Melati
Mahasiswa semester 2 Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Pamulang, sekaligus pekerja penuh waktu. Tertarik pada media, strategi komunikasi, dan pengembangan keterampilan berbicara.
17 April 2025 9:37 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Refinka Citra Melati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: Pribadi (Momen saat saya membawakan puisi di acara kantor, mengajak semua orang untuk merenung dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik melalui kekuatan kata-kata)
zoom-in-whitePerbesar
sumber: Pribadi (Momen saat saya membawakan puisi di acara kantor, mengajak semua orang untuk merenung dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik melalui kekuatan kata-kata)
ADVERTISEMENT
Puisi, Ruang Bebas untuk Menjadi Diri Sendiri
Di dunia yang dipenuhi target, tenggat, dan tuntutan produktivitas, saya menemukan sebuah ruang kecil yang tidak terjamah oleh semua itu: puisi. Bagi saya, puisi adalah tempat perlindungan. Ia hadir bukan untuk memenuhi ekspektasi siapa pun, melainkan untuk mengizinkan diri saya berbicara dengan jujur, apa adanya. Membaca dan menulis puisi memberi saya ruang untuk bernapas di tengah ritme kehidupan yang terkadang terlalu cepat.
ADVERTISEMENT
Saya percaya, setiap manusia membawa sesuatu dalam dirinya yang butuh diungkapkan. Ada kegembiraan, ada luka, ada rasa syukur, dan ada ketakutan yang tidak selalu mudah diungkapkan dalam percakapan sehari-hari. Puisi, dengan caranya yang sederhana tapi dalam, menjadi bahasa kedua saya—bahasa yang bisa menjembatani antara apa yang saya rasakan dan apa yang bisa saya sampaikan kepada dunia.
Membacakan Puisi: Menghidupkan Kata, Menghubungkan Hati
Sumber: Pribadi (Saya membacakan puisi yang saya tulis sendiri dalam sebuah acara kantor, membawa seni ke ruang yang biasanya dipenuhi kesibukan dan formalitas, untuk menghubungkan kata-kata dengan hati para pendengarnya)
Saya sering kali membawa puisi yang saya tulis sendiri ke dalam ruang-ruang yang biasanya tidak diwarnai seni: ruang rapat, pertemuan kantor, atau acara internal kecil. Pada awalnya, ada keraguan. Saya takut dianggap aneh, terlalu sensitif, atau tidak profesional. Namun setiap kali saya membacakan bait demi bait, saya menyadari sesuatu: ada keheningan yang tercipta, bukan karena kebosanan, tetapi karena keterhubungan.
ADVERTISEMENT
Membacakan puisi bukan hanya soal mengucapkan kata-kata dengan lantang. Ini adalah tentang menghadirkan kejujuran ke tengah ruangan. Ini tentang mengundang orang lain untuk sejenak melepaskan topeng formalitas, dan bertemu sebagai manusia—bukan jabatan, bukan status, tapi hati ke hati. Setiap tepuk tangan kecil, setiap senyum pelan, atau bahkan tatapan kosong yang termenung, menunjukkan bahwa kata-kata yang lahir dari kejujuran memiliki kekuatan untuk menyentuh lebih dalam daripada kata-kata yang hanya lahir dari keharusan.
Setiap Orang Punya Cerita: Mengapa Kita Harus Berani Menulis
Sumber: Pribadi (Dalam momen ini, saya membacakan puisi yang lahir dari keberanian untuk menulis, berbicara, dan hadir sebagai diri sendiri.)
Sering kali, saya mendengar orang berkata, "Saya tidak pandai menulis." Padahal, tujuan dari menulis puisi bukan untuk menjadi penyair besar. Bukan pula untuk memenangkan penghargaan sastra. Menulis puisi adalah tentang keberanian untuk melihat ke dalam diri sendiri, mengakui apa yang kita temukan di sana, dan memberinya tempat untuk hadir.
ADVERTISEMENT
Saya ingin mengajak siapa pun yang membaca ini: beranilah menulis, beranilah berbicara lewat puisi. Tidak perlu mencari kata-kata rumit atau metafora megah. Terkadang, keindahan terbesar terletak pada kesederhanaan. Tulis tentang apa pun yang kamu rasakan: tentang hujan di pagi hari, tentang rindu yang datang tiba-tiba, tentang perjalanan pulang yang membuatmu merenung. Setiap cerita layak didengar, dan setiap perasaan layak untuk diberi ruang.
Menulis puisi mengajarkan kita untuk tidak mengabaikan emosi kita sendiri. Ia mengajarkan bahwa kita tidak harus selalu kuat, tidak harus selalu tahu jawabannya. Kadang, cukup dengan mengakui bahwa kita sedang merasa, kita sudah memberi penghormatan kepada diri sendiri.
Puisi dan Keberanian untuk Tampil Apa Adanya
Sumber: Pribadi (Membacakan puisi persembahan khusus dalam acara anniversary Direktur dan istri beliau, sebagai ungkapan rasa hormat, apresiasi, dan doa untuk perjalanan mereka bersama.)
Membaca puisi di depan orang lain adalah latihan keberanian yang unik. Kita berdiri di sana, membiarkan orang lain melihat sisi kita yang paling rentan. Tidak ada filter, tidak ada perlindungan. Hanya kata-kata dan diri kita yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Tentu ada rasa takut. Ada kekhawatiran akan dinilai. Tapi justru di situlah letak kekuatan puisi. Ia mengajarkan kita untuk nyaman dengan ketidaksempurnaan, untuk berani hadir sebagai diri sendiri. Kita tidak membaca untuk dinilai, kita membaca untuk berbagi. Dan dalam proses berbagi itu, kita menyadari bahwa semua manusia, di balik segala perbedaan, pada dasarnya mencari hal yang sama: koneksi.
Puisi mengajarkan saya bahwa ekspresi diri bukanlah kelemahan. Ia adalah kekuatan. Kekuatan untuk tetap menjadi manusia di dunia yang sering kali menuntut kita menjadi mesin.
Menemukan Keindahan dalam Hal-Hal Sederhana
Puisi melatih mata saya untuk melihat keindahan dalam hal-hal kecil yang sering terlewatkan. Tawa rekan kerja yang sederhana, langit senja yang memerah, percakapan ringan di sudut ruang makan kantor—semuanya bisa menjadi sumber inspirasi.
ADVERTISEMENT
Kehidupan modern sering membuat kita terburu-buru, melewati hari-hari tanpa benar-benar hadir. Menulis puisi mengingatkan saya untuk memperlambat langkah, untuk benar-benar merasakan. Dalam satu bait, kita bisa mengabadikan momen yang mungkin sepele di mata dunia, tapi bermakna dalam di hati kita.
Puisi mengajarkan bahwa hidup tidak harus spektakuler untuk bisa dirayakan. Ia cukup hadir. Dan kita cukup berani untuk merasakan kehadirannya.
Ekspresikan Diri karena Dunia Butuh Suaramu
Sumber: Pribadi (Suasana haru saat saya membawakan puisi khusus di acara anniversary Direktur dan istrinya. Momen ini menjadi lebih bermakna ketika puisi yang saya bacakan berhasil meninggalkan kesan mendalam bagi mereka)
Saya percaya, dunia ini tidak kekurangan suara. Tapi sering kali, dunia kekurangan suara-suara yang jujur. Suara yang berani berkata, "Ini aku, dengan segala kekurangan dan kelebihanku."
Mungkin tulisanmu tidak akan pernah dipublikasikan. Mungkin puisimu hanya akan dibaca oleh segelintir orang. Tapi itu tidak mengurangi nilainya. Karena setiap kali kamu menulis, setiap kali kamu membaca, kamu sedang memberi izin kepada orang lain untuk juga menjadi dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Puisi bukan hanya tentang kata-kata indah. Ia adalah tentang keberanian untuk hadir, untuk merasa, dan untuk membagikan bagian dari diri kita yang paling murni.
Menulis, Membaca, dan Terus Menyuarakan Diri
Hari ini, ketika saya kembali berdiri di hadapan orang lain untuk membaca puisi, saya tidak lagi membawa rasa takut sebesar dulu. Yang saya bawa adalah rasa syukur. Syukur karena saya masih diberi kesempatan untuk berbicara lewat kata-kata yang lahir dari hati.
Menulis dan membacakan puisi telah menjadi perjalanan penting dalam hidup saya. Ia membantu saya bertahan, tumbuh, dan mengenal diri sendiri dengan cara yang tidak bisa diajarkan oleh teori apa pun.
Dan saya berharap, siapa pun yang membaca ini, berani memulai perjalanan itu juga. Beranilah menulis. Beranilah membacakan puisimu. Karena dalam setiap kata yang lahir dari ketulusan, ada kekuatan untuk mengubah dunia—atau setidaknya, mengubah dunia kecil di dalam dirimu sendiri.
ADVERTISEMENT
Refinka Citra Melati, mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang.