Pemberhentian (Sementara) Ahok

Refly Harun
Praktisi, pengamat, dan pengajar Hukum Tata Negara dan Pemilu. Mengajar di Program Pasca Sarjana UGM.
Konten dari Pengguna
11 Februari 2017 21:04 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Refly Harun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ahok dalam sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara. (Foto: Antara)
“Dulu anda lantang menyuarakan moralitas!! Kmn suara anda?? Kmn moral seorang pejabat klo sudah jadi terdakwa ga mau mundur?? Emang kasus Ahok tidak memecah belah bangsa?? Punya ilmu dipakai cuma untuk uang dan kekuasaan di dunia yg tdk ABADI.. PAYAH Refly.”
ADVERTISEMENT
— Cadaspangeran, menanggapi berita detik dot com (11/02/2011) berjudul “Refly Harun: Tak Ada Alasan untuk Menonaktifkan Ahok”.
Dua hari belakangan ini, saya ‘disibukkan’ dengan pertanyaan-pertanyaan wartawan mengenai pemberhentian (sementara) Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena menyandang status terdakwa. Pro dan kontra sangat tajam. Yang menginginkan Ahok dinonaktifkan sama besarnya dengan yang menginginkan ia berkerja di Balai Kota lagi.
Pendapat saya mengenai hal ini sudah muncul di berbagai media. Seperti biasa, memancing polemik. Bukan karena Refly Harun-nya, tetapi karena Ahok-nya.
Ya, apa pun pendapat kita tentang Ahok pasti memancing bergumpal makian seperti ‘makian’ pada pembuka tulisan ini, tetapi juga tidak sedikit yang memberikan pujian. Sering kita kehilangan kejernihan karena soal Ahok ini. Sering pula kehilangan keberanian untuk berpendapat. Melalui tulisan ini, izinkanlah saya berijtihad pendapat.
ADVERTISEMENT
Lima Tahun
Dasar hukum yang dipakai untuk memberhentikan (sementara) kepala daerah/wakil kepala daerah dalam status terdakwa adalah Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal itu berbunyi:
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dari ketentuan Pasal 83 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa ada enam jenis kejahatan atau perbuatan yang dapat membuat terdakwa kepala daerah/wakil kepala daerah diberhentikan sementara (nonaktif):
ADVERTISEMENT
(1) tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,
(2) tindak pidana korupsi,
(3) tindak pidana terorisme,
(4) makar,
(5) tindak pidana terhadap keamanan negara, dan
(6) perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.
Saat ini Ahok didakwa dengan Pasal 156 KUHP (dengan ancaman hukuman paling lama empat tahun) dan Pasal 156 a KUHP (dengan ancaman hukuman paling lama 5 lima tahun).
Pasal 156 KUHP berbunyi:
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”
ADVERTISEMENT
Adapun Pasal 156a KUHP berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dikaitkan dengan eksistensi Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, setidaknya dua frasa yang potensial digunakan untuk memberhentikan sementara Ahok, yaitu (1) “tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun” dan (6) “perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI.”
Pertanyaannya, apakah sama antara tindak pidana yang ancamannya paling lama 5 (lima) tahun (Pasal 156a KUHP) dan tindak pidana yang ancaman hukumannya paling singkat 5 (lima) tahun (Pasal 183 ayat [1] UU 23/2014)?
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, apakah ketentuan Pasal 83 ayat (1) mencakup pula tindak pidana yang disebut dalam Pasal 156a KUHP?
Pada titik ini, saya berbeda pendapat dengan beberapa ahli hukum, termasuk Prof. Mahfud MD dan Prof. Denny Indrayana. Sebelumnya saya pun termasuk yang mengatakan Ahok harus dinonaktifkan setelah selesai cuti kampanye, tetapi setelah membaca kembali Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 berkali-kali, pendapat saya berubah.
Saya berpendapat kejahatan yang disinggung pada Pasal 83 ayat (1) tersebut adalah jenis kejahatannya. Itulah sebabnya ada korupsi, terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara. Semuanya itu adalah jenis atau macam-macam kejahatan.
Jadi jenis kejahatan apakah yang diatur dalam frasa “…tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun”?
ADVERTISEMENT
Kalau ancamannya paling singkat lima tahun sudah pasti itu adalah jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari lima tahun.
Kenapa harus tindak pidana berat? Agar kepala daerah tidak begitu mudah diberhentikan sementara dengan cara menjadikannya tersangka.
Rekan saya Zainal Arifin Mochtar menyatakan hanya genosida yang diancam dengan pidana paling singkat lima tahun (saya menerima pendapat Zainal apa adanya, tanpa mengecek aturan perundang-undangan yang ada). Kalau memang demikian, pasal tersebut harus diartikan sebagai genosida.
Soalnya, kenapa tidak disebut saja “genosida”?
Kalau spesifik genosida, akan menghalangi kejahatan-kejahatan lain yang mungkin ada di aturan lain atau yang muncul kemudian seiring dengan kecenderungan perumusan pasal-pasal pidana kekinian yang mulai menyebutkan ancaman hukuman minimum.
ADVERTISEMENT
Lebih Limitatif
Dibandingkan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, aturan sebelumnya malah lebih jelas dan tidak multitafsir, yaitu Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2004. Pasal itu secara limitatif menyebutkan empat jenis kejahatan saja yang bisa diberhentikan sementara dalam status terdakwa, yaitu:
(1) korupsi,
(2) terorisme,
(3) makar, dan
(4) tindak pidana terhadap keamanan negara.
Selama ini, hampir tidak ada masalah karena mayoritas kepala daerah diberhentikan sementara dalam status terdakwa karena korupsi. Untuk korupsi sudah dinyatakan secara jelas, tegas, terang benderang, tidak ada keraguan lagi. Seperti halnya tindak pidana terorisme, makar, dan kejahatan terhadap keamanan negara.
Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 menambahi frasa “melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun” dan “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” yang justru membuatnya jadi multitafsir.
ADVERTISEMENT
Ada yang bertanya, bagaimana kalau kepala daerah terlibat pembunuhan berencana yang ancaman hukumannya cuma disebut maksimum, tidak minimum? Apakah tidak bisa diberhentikan sementara ketika dalam status terdakwa?
KUHP memang menganut hukuman maksimum, tidak menyebut minimum. Hal inilah yang justru dikritik karena membuat vonis bisa terjun bebas. Rumusan pasal-pasal pidana terkini sudah menyebut ancaman minimum atau paling singkat.
Norma suatu aturan itu sering tidak sempurna, banyak lubang-lubang (loop holes). Itulah sebabnya ada aturan mengenai diskresi terhadap sesuatu yang memang tidak diatur, tidak lengkap aturannya, atau tidak jelas (lihat UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).
Mereka yang didakwa dengan pembunuhan berencana sudah pasti akan ditahan. “Ditahan” adalah salah satu alasan selama ini yang dipakai untuk memberhentikan sementara. Tidak ada aturannya, tetapi berdasasarkan prinsip diskresi dan logika bisa diterima kalau dinonaktifkan karena memang secara faktual berhalangan.
ADVERTISEMENT
Dalam praktik di Kementerian Dalam Negeri, yang kena operasi tangkap tangan (OTT) juga langsung diberhentikan sementara. Demikian pula yang terjerat narkoba setelah Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakannya positif.
Semua itu tidak diatur dalam peraturan tertulis, tetapi Presiden atau Menteri Dalam Negeri dapat menggunakan diskresinya. Namun, diskresi tersebut menurut UU Nomor 30 Tahun 2014 tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Singkatnya, kalau peraturannya sudah jelas, tidak boleh menggunakan diskresi. Dalam perspektif saya, yang sudah jelas itu termasuk ketentuan jenis kejahatan dengan ancaman “paling singkat lima tahun” yang artinya kejahatan berat.
Seandainya ada perubahan undang-undang, dan kita ingin memasukkan ketentuan asal masuk zona lima tahun dinonaktifkan, maka rumusan pasalnya tidak perlu menggunakan kata “paling singkat”, yang akan menunjuk pada tindak pidana berat saja.
ADVERTISEMENT
Rumusan yang bisa diusulkan:
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau kejahatan lain yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Kalau mau narkoba disebut secara jelas boleh juga. Frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” sebaiknya dihilangkan karena tidak terukur dan multitafsir.
Memecah Belah
Norma lain yang bisa dipakai untuk memberhentikan sementara Ahok adalah frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah NKRI”. Saya berharap undang-undang memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan “perbuatan yang memecah belah” tersebut.
Sayang penjelasan pasal itu menyatakan “cukup jelas”. Padahal, pasal ini jelas tidak jelas, tidak ada ukuran, dan multitafsir.
ADVERTISEMENT
Tentu pertanyaan yang muncul kemudian, apakah tindakan Ahok memecah belah NKRI? Yang pro dan kontra akan sama banyaknya. Yang jelas, saat ini belum ada institusi yang bisa mengatakan hal tersebut.
Kalau Presiden Jokowi ingin menonaktifkan Ahok, ketentuan ini bisa digunakan, tetapi memang akhirnya sangat subjektif.
Saya paham, Presiden Jokowi akan berada dalam dilema yang luar biasa. Yang paling populer bagi Jokowi adalah menonaktifkan Ahok karena akan dianggap netral. Tetapi bila tidak menonaktifkan akan dianggap berpihak.
Apa-apa yang menyangkut Ahok ini memang sering membuat kita kehilangan kejernihan, logika, dan bisa jadi keberanian berpendapat…
Kebenaran hanya milik Allah SWT. Saya hanya berijtihad pendapat, tapi tetap dengan moralitas, Pak Cadaspangeran. Sejak awal saya melihat kasus Ahok ini sarat dengan dimensi politik dan tidak jauh-jauh dari persaingan politik saja. Salam semuanya.
ADVERTISEMENT
Jakarta, 11 Februari 2017
Refly Harun
Praktisi dan Akademisi Hukum Tatanegara; Mengajar di Program Pascasasrjana Fakultas Hukum UGM