Ini Kisah Bagaimana Aku 'Berteman' dengan Bahasa Indonesia

Rega Almuhtadda
Saya adalah mahasiswa jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara yang lulus SMA di Australia, Adelaide.
Konten dari Pengguna
17 Desember 2021 15:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rega Almuhtadda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar tulisan. (Sumber: https://pixabay.com/photos/writing-lead-set-letterpress-705667/)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar tulisan. (Sumber: https://pixabay.com/photos/writing-lead-set-letterpress-705667/)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Apakah kau bisa mengucapkan Sumpah Pemuda?,” celetuk Bu NikNik, dosen mata kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Multimedia Nusantara.
ADVERTISEMENT
Suara yang bergemuruh dan sensasi yang menggelitik perut sehingga menstimulasikan cairan makanan yang bercampur aduk untuk ingin kabur bebas dari mulut. Karena telah kian lamanya di Australia, kata ‘Sumpah Pemuda’ pun itu bagaikan alien di telinga. Akhirnya, bergegaslah otakku dalam mencari setidaknya remah-remah mutiara agar tidak terlihat primitif akan sejarah Indonesia. Detak hati setiap detiknya berdebar-debar. Bahkan, saat jari panjangku yang bergetar mengetik “sumpa-”, senyumku yang sebelumnya melebar dan mengekspos gigi gingsulku melalui layar Zoom pun akhirnya mengerucut seperti bentuk tanda titik.
Buku, bahasa, dan belajar itu bagaikan semacam eliksir yang merawat jiwa mudaku sejak Sekolah Dasar (SD). Alhasil, jika ada yang berani bertanya mengenai cinta sejatiku, mungkin kata ‘bahasa’ atau ‘membaca’ yang keluar dari rongga-rongga tenggorokanku.
ADVERTISEMENT
Sebagai murid di kelas English Literary Study pada 2019, kebiasaan menulis pun dengan kaidah bahasa Inggris yang bijak diasah agar tajam bagaikan pisau yang tumpul.
“Bahasa adalah senjata bagi siapa pun di dunia ini”, ujar Laura Kearsley, guru mata pelajaran bernama English Literary Study di Norwood Morialta Highschool, Adelaide.
Maka dari itu, ketika mendengar kata-kata yang kian persis diucapkan oleh bu NikNik, aku pun secara otomatis ditampar dengan angin nostalgia yang menusuk tulang.
“Ingat! Bagi seorang jurnalis, bahasa adalah sebuah senjata untuk mencerdaskan bangsa,” celetuknya bu NikNik saat semua mahasiswa sedang bertempur di medan perangnya Quizlet yang ia berikan.
Quizlet bu NikNik yang pertama memelekkan mataku bahwa kemahiran bahasa Indonesiaku itu kian marginal karena hanya berhasil mencapai skor tiga belas dari dua puluh lima pertanyaan. Rasa melankolis di hatiku yang telah tergores pun muncul. Tes-tes kecil ini diselenggarakan demi perolehan bintang-bintang yang kilau, licau, dan silau! Jika berhasil mengumpulkan dua puluh bintang pada akhir semester, hadiahnya adalah untuk tidak mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) dan mendapatkan nilai sempurna. Cita-cita ini tercetak dalam benak otakku sehingga menjadi inspirasi untuk belajar Bahasa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Quiz, tes, pertanyaan. Semua ini aku lahap habis-habisan hanya untuk mengais validitas dari bu NikNik melalui bintang-bintang. Bahkan, aku pun bersujud-sujud kepada ayahku untuk membeli kitab suci Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia atau PUEBI agar aku bisa mendapatkan imunitas untuk tidak ikut serta dalam UAS. Namun, tujuan untuk mendapatkan bintang itu bukan hanya demi kesuksesan akademik, melainkan juga demi pengasahan senjata seorang jurnalis muda: bahasa. Akhirnya, cahaya bintangku pun mulai bersinar dengan skor sepuluh sebelum Ujian Tengah Semester dimulai. Akhirnya, kegelisahan yang melekat pun hangus karena dibakar oleh cahayanya bintang-bintang bu NikNik. Akhirnya, aku pun merasa bahagia. Bahkan, katarsis!
Walaupun banyak kesuksesan emas yang tanganku berhasil genggam, adapun kegagalan yang tak akan pernah hilang dari benak pikiran. Tugas menulis yang pertama itu sangat esensial karena aku dapat menuangkan, memanifestasikan, dan membuktikan bahwa aku adalah mahasiswa yang andal kepada bu NikNik melalui karya jurnalistik yang kreatif ini. Sayangnya, kemampuan berbahasa Indonesia pada waktu itu masih belum cukup. Kata-kata yang tidak baku ditulis dalam esai pertama aku seperti “sekedar” dan “kosa kata” yang semestinya “sekadar” dan “kosakata” . Dengan demikian, Meskipun demikian, aku belajar untuk tidak menulis kata “sekadar” dalam hidup. Bahkan, di mata kuliah lainnya, kata ini telah dibakar hidup-hidup dalam otak sehingga hanya menjadi sekadar abu dan debu.
ADVERTISEMENT
Setelah Ujian Tengah Semester berakhir, aku dan teman-teman dekat diundang oleh bu Niknik untuk ikut acara Laboratorium Forensik Bahasa yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa. Mataku pun berlinang-linang ketika telingaku mendapatkan kabar ini. Acara ini diadakan di Hotel Teraskita yang terletak di Jakarta Barat selama empat hari dan tiga malam. Selain makanan enak dan gratis yang berlimpah di acara ini, ilmu mengenai kebahasaan seperti hoaks dan penafsiran kata-kata juga dituangkan oleh berbagai macam pakar.
Karena ditugaskan untuk menciptakan ulasan, kemahiran menulis aku pun juga diasah, Bahkan, tiap-tiap insan kreatif di acara ini dihadiahkan dengan amplop yang berisi Rp1.000.000,00. Karena kondisi pandemi yang isolatif, aku sebelum acara ini belum bertemu dengan teman-teman di kelas. Untungnya, karena acara ini, keeratan pertamanan pun semakin dekat sehingga terasa tercekik oleh pelukan kasih sayang dari mereka. Rintik hujan kegembiraan pun menetes sedikit dari sudut kornea mata kiriku.
ADVERTISEMENT
Tantangan terakhir dari bu NikNik adalah untuk mempublikasikan karya jurnalistik kita ke media nasional, tepatnya dalam kolom opini. Untuk opini, aku menulis sebuah karya yang bertajuk “Perempuan: Boneka atau Ratu?” agar perihal sensitif seperti ini tetap hidup dalam segenap masyarakat Indonesia. Dimoderasi oleh Detik, Republika, dan kumparan, karyaku selalu gagal untuk ditayangkan. Hatiku menggebu-gebu ketika melihat karya ini ditolak berulang-ulang sehingga aku pun yakin bahwa tulisanku itu jelek, meskipun diberikan maksimum dua bintang oleh bu NikNik. Alhasil, mentalku pun letih, lemah, dan lelah. Apa yang harus aku lakukan?
“Ya sudah, coba saja sekali lagi di kumparan,” pungkas Yvonne Callista, teman dekatku di kelas, dengan nada lantangnya.
Esok hari, tepatnya ketika matahari fajar terbit dengan warna jingga-jingga merah, sinarnya mencahayai dan menembus jendela kamar tidurku untuk membangunkan serta menggalakkan aku untuk mempublikasikan karya ini ke kumparan. Hanya dalam waktu dua jam, opiniku yang bertajuk “Perempuan: Boneka atau Ratu?” berhasil lewat kerasnya moderasi tim redaksi dari kumparan.
ADVERTISEMENT
Tubuhku secara otomatis lompat setinggi-tingginya Kanguru melompat. Bahkan, aku langsung mengirim pesan ke bu NikNik dalam sekejap mata karena ialah yang telah membuat Bahasa Indonesia mengalir dalam darah dan menempel dengan denyut nadi hatiku. Seperti kata-kata yang ditulis dengan tinta hitam dalam Sumpah Pemuda, bahasa Indonesia itu menyatukan. Bahasa Indonesia adalah simbolnya kehidupan: rumit dan menyenangkan.