Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kesabaran Tidak Tipis, Meskipun Dikenal sebagai Guru Wanita yang Berkumis
30 November 2021 15:59 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Rega Almuhtadda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kesunyian menggema dalam kelasnya sang guru wanita yang berkumis di Norwood Morialta High School, Adelaide. Rintik hujan dari mata berlinangnya membanjiri kelas karena ia menerima hadiah ulang tahun dari murid terpintarnya pada 20 Maret 2019.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, sebuah cukuran kumis adalah barang yang ia dapat ketika bungkus kado polkadot yang berwarna ungu itu dirobek. Cukuran kumis yang tajam tersebut menyayat hatinya sebelum ujungnya yang karatan itu menyentuh kulit keriputnya dan memangkas kumisnya. Walaupun dikenal sebagai perempuan yang berkumis, kesabaran sang guru itu tidak tipis.
Rasa kepedihan inilah yang dirasakan Maria Jackowski setiap harinya di sekolah. Ia diludahi oleh para siswa karena memiliki kumis tebal yang berwarna abu-abu, meskipun jenis kelaminnya itu perempuan. Kumisnya si Maria yang kelabu juga mencerminkan atmosfer kelasnya yang selalu mendung.
Seluk-beluk ruang kelasnya pun diisi dengan suara geledek yang meledek. Dengan demikian, sang guru yang berkumis harus menggunakan rongga-rongga tenggorokannya yang sedang radang agar suara seraknya bukan hanya menjadi sekadar hiasan bagi siswa, melainkan suara petir yang dapat menggaet perhatian.
ADVERTISEMENT
“Padahal, karena saya sudah tua, sulit untuk berbicara dengan lantang,” ujar Maria.
Beliau menuangkan ilmu fisika dan matematikanya ke dalam otak para siswa di Norwood Morialta High School sejak 2001. Selain itu, Maria bukanlah hanya guru matematika, melainkan teman. Salah satu siswi pernah meneteskan air mata yang mengalir dari sudut kornea sampai ke dagunya yang lancip. Walaupun ini sebenarnya mengaburkan fokus para siswa dalam kelas, sang guru berkumis rela mendaki tangga sekolah untuk mendapatkan sekadar tisu sehingga ritme napasnya pun serupa dengan pompa ban yang cepat. Sayangnya, tisu tersebut yang sudah susah payah diambil oleh Maria justru hanya dijadikan hiasan.
Kendati sudah enam puluh lima tahun, stamina fisik yang Maria miliki sepertinya tak akan pernah pupus. Karena mengajar di dua gedung yang jaraknya sangat jauh bagaikan matahari fajar yang terbit di ujung Bumi, Maria Jackowski kerap sekali menyeret kakinya yang pincang ke sekolah setiap harinya. Bahkan, ia pun pernah jalan dari rumahnya ke sekolah hanya dengan kaki telanjangnya. Beratnya tas yang harus ia pikul dan hembusan angin kutub utara yang tak kenal belas kasih menikam tulang punggung Maria pada setiap langkah yang ia tempuh.
ADVERTISEMENT
Rumah Maria Jackowski di puncak gunung itu diselimuti dengan pohon-pohon besar yang menaungi lautan putih. Kebun tomat di belakang tempat kediamannya merupakan tempat meditasi yang sejuk, meskipun terkadang tercipta tanah becek yang lengket sehingga kakinya terkadang tenggelam seperti pikirannya yang menjelajahi setiap sudut dari panorama gunung.
Ketika bulan menyinari ranah pemukiman, suara jangkrik pun memekik untuk menemani beliau sepanjang malam sampai ia pergi ke pulau kapuk. Namun, ia juga merasa kapok karena kasur kapuk dari festival bulan lalu itu rapuh seperti letihnya tubuh sang guru berkumis.
Sayangnya, gajinya yang minim tidak mampu memfasilitasinya dengan tempat tidur, baik yang lembut bagaikan awan di langit maupun empuk bagaikan tenun di darat. Setidaknya, Maria masih cukup sehat untuk menikmati rasa gurih di ujung lidahnya dengan penghasilannya yang marginal.
ADVERTISEMENT
Pakaian yang ia pakai pun terasa kasar seperti keset di toilet, sedangkan anak-anaknya yang keset terlihat seperti anggota kerajaan yang penampilannya sangat silau. Akan tetapi, yang paling memilukan adalah saat anak favoritnya di kelas fisika pada 2017 menyebarluaskan fotonya yang telah dicoret dengan kata-kata yang mengiris hati seperti jelek, waria, dan monyet. Kata-kata lisan ini bukan hanya menusuk hati sang guru berkumis, melainkan membeleknya.
Meskipun demikian, Maria Jackowski tetap mengulurkan waktunya demi perkembangan keterampilan akademik para siswanya. Bahkan, sang guru berkumis itu rela untuk menelan ludahnya yang pahit agar muridnya dapat menjadi penerus bangsa yang berbudi pekerti luhur.
Raut wajahnya juga tampak semarak, meskipun maraknya kekejaman para insan muda terkadang mengaburkan antara rasa senang dan sedih seperti kabut putih di gunung yang mengaburkan semua pancaindra. Ketika ingin berdiri tegak, kaki cacatnya sang guru berkumis diselengkat dengan kata-kata keras. Namun, Maria tidak pernah enggan untuk mengajar siapa pun.
ADVERTISEMENT
“Hatiku lebih sakit jika siswaku gagal,” lontar Maria.
Ketika mengajar, ia dibanjiri dengan rasa euforia. Ketika mendonorkan darah ilmunya, denyut nadinya pun menjadi menggebu-gebu. Ketika menginjak lantai ruang kelas, Maria merasa muda dalam sekejap mata. Maria pun rela diinjak kaki pincangnya demi mendirikan segenap siswa agar menjadi kepribadian yang teguh dan kukuh.