Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mengungsikan Martabat di Suriah, Mendagangkan Martabak di Indonesia (Feature)
6 Juni 2022 20:30 WIB
Tulisan dari Rega Almuhtadda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wooosh!!
Angin kencang yang dingin menusuk tulang Muhammad Fauzi, lelaki berusia 30 tahun, saat ia dan warga lainnya sedang mengevakuasi perahu-perahu yang diancam nyawanya oleh badai besar pada 25 November 2019 malam di pesisir pantai Jableh, Suriah.
ADVERTISEMENT
Jegeeeeer!!
Bulan sabit mengintip di balik awan kelabu kental. Rintik air mata dan hujan yang deras pun bercampur aduk sehingga lengketnya pasir melahap kaki-kaki telanjang para warga pada setiap langkahnya. Kemudian, suara petir yang menggemuruh seolah-olah menyuruh Fauzi untuk meninggalkan negara tercintanya pada malam yang gelap gulita itu.
Allahu Akbar, Allahu Akbar
Namun, ketika melodi azan subuh yang lantang nan lembut berkumandang, kedua telapak tangan Fauzi yang penuh goresan itu dibuka perlahan-lahan untuk berdoa. Ia pun menengadah kepalanya ke kedipan bintang-bintang bergemerlapan, mengejapkan matanya, dan mendengar kemerduan dari bisik-bisik orang berdoa. Kendati gelombang laut masih murka, jiwa Fauzi kunjung tenang laksana telaga. Menyelamatkan martabatnya dari kekerasan, tak diduga olehnya bahwa berjualan martabak di Indonesia akan menjadi kehidupannya sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Perahu, Pesawat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Selain sinar bulan, cahaya api yang redup dari ujung batang rokok seorang nelayan berjenggot yang tampak nelangsa di samping Fauzi menyinari perahu kayu yang sedang digendong ke dalam gudang. Buku-buku jari yang lecet, lutut yang lebam, dan kaki yang lemah adalah simbol dari kerja keras mereka demi kebebasan, keadilan, dan ketentraman.
Adapun perahu-perahu karet murahan seperti balon dari abang-abang yang tentunya takmungkin mampu menampung lebih dari setidaknya 6.8 juta pengungsi selama berbulan-bulan di atas laut yang berang. Bagi kita, perahu murahan itu hanya terpakai saat berwisata bersama keluarga di waterpark atau arung jeram selama berjam-jam. Akan tetapi, bagi rakyat di Timur Tengah, perahu murahan itu bagaikan darah, denyut nadi, dan detak jantung.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari situs Refugees Council of Australia, sebagian besar pengungsi menggunakan perahu kecil ketimbang pesawat besar sebagai cara untuk seeking asylum karena keterbatasan visa yang valid. Kerap sekali, orang-orang dari tiap-tiap negara dengan jumlah pengungsi yang tinggi dikecualikan aksesibilitasnya melalui kontrol perbatasan yang ketat untuk memasuki negara lain.
Berdasarkan UU Internasional, segenap pengungsi yang ditemukan di zona perairan itu wajib dibawa ke darat. Spesifiknya, Pasal 33 berbunyi “Tidak ada Negara Pihak yang akan mengusir atau mengembalikan ("refouler") pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah-wilayah di mana hidup atau kebebasannya akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya”.
“Saya dengar dari sepupu kalau lewat laut, lebih banyak probability untuk bertemu dengan kapal besar atau angkut yang nantinya akan membantu kita,” ujar Muhammad Fauzi.
ADVERTISEMENT
Yang perlu digarisbawahi adalah bisnis gelap yang terselubung di balik pengorganisasian perahu-perahu, baik yang kecil maupun besar, bagi segenap pengungsi. Pebisnis ilegal ini mengeksploitasi uang pengungsi sehingga banyak yang harus memulai hidupnya kembali dari nol ketika pindah ke negara lain. Bahkan, tiket pesawat yang berkedok “liburan” pun akan disaring melalui sekarung pertanyaan oleh pihak keamanan di bandara.
“Sahabat saya udah pernah coba keluar dari Suriah lewat pesawat. Namun, karena dokumentasinya kurang lengkap dan alasan mereka pergi itu dibilang suspicious, jadinya tidak diizinkan,” imbuh Muhammad Fauzi.
Padahal, probabilitas untuk keluar dari Suriah dengan selamat melalui perahu itu kian marginal. Berdasarkan Infomigrants, ada sekitar 380 ribu pengungsi tenggelam sejak 2015. Melalui video yang terunggah di kanal YouTube pada 2015, Professor Hans Rolling menjelaskan bahwa banyak sekali pengungsi tenggelam di laut Mediterranean karena arusnya yang deras. Kendati risiko kematiannya tinggi, banyak pengungsi rela untuk membayarnya demi kebebasan. Freedom of Information Data and Home Office melaporkan bahwa 91% orang hanya berasal dari sepuluh negara yang pelanggaran akan hak asasi manusia dan penganiayaan biasa terjadi. Ini termasuk Afghanistan, Iran, Suriah, Irak, Sudan, Eritrea, dan Yaman.
ADVERTISEMENT
Ditilik dari sejarahnya, perang saudara di Suriah mulai pada 15 Maret 2011 karena adanya konflik antara pro-Assad dan anti-Assad, yaitu presiden Suriah pada masa itu. Assad bersumpah untuk menghancurkan apa yang disebutnya "foreign terrorism", sedangkan sejumlah kelompok percaya bahwa katalis akan kesenjangan, baik ekonomi maupun sosial, itu dari dia. Kasus kekerasan dalam negara mengklimaks jadi perang saudara. Genangan darah, serpihan semen, dan aroma hangus menginfeksi udara.
“Rumah dan bahkan my sekolah saat SD sudah enggak ada lagi karena perang,” tutur Muhammad Fauzi.
Pengungsi di Indonesia
Saat kaki Fauzi menginjak tanah air subur Indonesia, awan-awan berwarna permen kapas menyapanya dengan hangat. Silauan matahari senja mengecup wajahnya. Semilir angin membelai insan-insan duniawi dengan lembut, sedangkan rongga-rongga tenggorokan Fauzi kering bagaikan aspal yang kakinya saat itu menginjak masuk bis biru besar. Mungkin Transjakarta, tetapi ia tak ingat.
ADVERTISEMENT
Tin Tin Tin!
Irama klakson, bahasa alien, dan tangisan bayi menyumbat telinganya sehingga sulit baginya untuk berlayar ke pulau kapuk. Rasa kliyengan mulai berdansa di kepala. Astaghfirullah, subhanallah. Kedua ucapan itu ia bisik ke dalam hatinya secara berulang-ulang seperti mantra yang langsung membiusnya tidur.
Usai melakukan perjalanan jauh dari bis, Muhammad Fauzi dan pengungsi lainnya dibawa ke tenda warna biru pekat di halaman gedung bekas Markas Kodim di kawasan Kalideres, Jakarta Barat. Walaupun sudah kabur dari rumah mereka yang sudah kembali bersatu dengan Bumi, raut wajah para pencari suaka tak menunjukkan senyuman.
Dengan berat hati, ia juga meninggalkan ayah dan ibunya yang sudah sepuh dalam penjagaan dua saudara perempuannya. Harapannya, ia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara penerima. Harapannya, pemuda itu berniat memboyong seluruh keluarganya ke Indonesia. Harapannya, Muhammad Fauzi bisa diperlakukan sebagai manusia.
ADVERTISEMENT
Namun, sebuah berita duka menghancurkan hatinya. Ibu yang berusia 66 tahun telah berpulang. Fauzi mendengar kabar lelayu itu dari keluarga yang meneleponnya pada 2019 lalu. Innalillahi wa innalilahi rajiuun. Kala itu ia berada di tendanya di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres.
“Saya tidak menangis saat ditelponkan kabar itu, just later when I was going to sleep,” ungkap Muhammad Fauzi.
Bantal keras Muhammad Fauzi becek akan tetesan air melankolis. Saat salah satu kawan pengungsi tiba untuk memberi beberapa potongan martabak telur, ia pun tak segan untuk menunjukkan rasa kesedihannya. Sambil mengunyah martabak dengan gigi kuningnya, ia justru bertanya kepada diri sendiri,
“Kenapa saya? Bukan orang lain, apakah saya salah? I thought I’ve committed an unbearable sin. Apakah saya kurang salat, selawat, dan sujud kepada Tuhan? My mind was really fragile pas tahun itu. Saya pun mulai salat tahajud agar kemudahan diberikan kepada saya. Hanya ketenangan yang saya inginkan. Oh iya, saya tuh takut juga sama nasib adik-adik saya Fatima dan Aisha, siapa yang akan mengurus mereka tanpa mama,” cerita Muhammad Fauzi.
ADVERTISEMENT
Perihnya hidup tak berhenti dari situ. Fasilitas yang dulunya gratis seperti toilet pun harus bayar sebanyak Rp5.000. Harga ini terlalu mahal untuk kantongnya yang nyaris kering kerontang.
“Maksimum hanya boleh dua kali ke toilet dalam sehari,” imbuh Muhammad Fauzi.
Hari demi hari, marginalnya fasilitas menodai bajunya yang kusam penuh keringat. Bahkan, celana hitam yang ia pakai sudah robek-robek. Aurat dengkulnya terekspos oleh sengatan tawon dan korengan yang melepuh di kaki kiri melumpuhkan kecepatannya saat beraktivitas.
Di sana, hidup para pengungsi juga bergantung pada uluran tangan warga yang memberikan uang, minuman, pakaian pantas pakai, atau nasi bungkus. Biasanya, dompet Fauzi itu hanya dihuni oleh lembaran uang Rp20.000.00 dan beberapa Rp2.000.00 per harinya. Meskipun melarat, kehidupannya di Indonesia lebih baik daripada di kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
Setidaknya, di sini, ia masih bisa menyantap renyahnya kerupuk udang, aroma jahe, dan pedasnya cabe rawit yang menggelitik ujung lidah. Sementara di Suriah, ia tak tahu apakah besok nyawanya masih menyatu dengan raga. Ia tak tahu apakah besok cipratan darah akan melumuri baju putihnya. Ia tak tahu apakah kebahagiaan itu ada.
Berdasarkan faktanya, Indonesia belum meratifikasi (state party) 1951 Convention Relating to the Status of Refugees berikut Protokol 1967-nya. Bahkan, di Asia Tenggara, baru Cambodia, Philippines dan Timor Leste yang sudah meratifikasi konvensi tersebut beserta protokolnya. Sampai saat ini, instrumen hukum yang tersedia dan mengatur secara terbatas tentang pengungsi/pencari suaka adalah Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri dan beberapa peraturan penunjang yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Keimigrasian. Dengan demikian, hidup para pengungsi dilontarkan seumpama boneka tanpa nyawa.
ADVERTISEMENT
“Banyak yang melihat saya hanya sebagai pengungsi. Padahal, saya juga orang seperti mereka,” ucap Muhammad Fauzi.
Pendirian Usaha Mikro Kecil Menengah
Karena status kewarganegaraan yang limbung, sulit sekali untuk pengungsi seperti Fauzi mencari nafkah demi bertahan hidup. Dengan bantuan donasi, Muhammad Fauzi akhirnya pindah ke wilayah Tangerang pada 2020.
Rumah susun yang dekat dari Politeknik Universitas Multimedia Nusantara sekarang telah menjadi tempat ia bersemayam. Terbentang sekitar kurang dari 40 meter, ia harus mendaki dua puluh tangga untuk mencapai puncaknya. Terdapat banyak jendela yang gelasnya sudah lepas dari kerangkanya. Cat yang dahulunya putih sudah ternodai oleh cipratan minyak goreng dan bercak-bercak tangan anak serta coretan krayon warna-warni.
Komunitas yang tidak terlalu megah dan besar, tetapi ikatan keluarganya sangat kuat. Ketika satu sedang tenggelam dalam pilunya rasa kelaparan, yang lain bukan hanya menggunakan ujung lidah mereka untuk menyajikan kata-kata manis dan semangat, melainkan memberi uluran tangan dan isi dompet secukupnya. Padahal, penyumbang-penyumbang tidak lebih kaya raya banding yang lain di komunitas.
ADVERTISEMENT
“Waktu itu kita pernah saling menyumbang uang pas awal 2020 untuk salah satu anak yang demam parah,” cerita Fauzi.
Bahkan, ide untuk menghidupkan dagangan UMKM itu sebenarnya dari pengungsi lainnya yang sedang berdagang. Kemudian, sebelum ia mempunyai dagangan sendiri pun, Fauzi sudah mulai mencicipi rasanya untuk menjadi pedagang setiap harinya. Sengatnya matahari terik pun di dinding kulit kerap sekali dirasakan oleh Fauzi tiap harinya.
Modal bagi Muhammad Fauzi itu adalah manifestasi dari kesabaran dan kerajinannya untuk menabung uang yang diberikan, baik dari keluarga jauhnya yang di Suriah maupun warga lokal, meskipun ia juga mendapatkan sedikit bantuan dari pengungsi lainnya. Muhammad Fauzi memilih untuk membangun dagangan martabak karena itulah yang paling mudah untuk dibikin dan bahannya itu tidak terlalu mahal.
ADVERTISEMENT
“Sekitar hanya Rp300,000,00 yang saya gunakan untuk modal awal,” imbuh Muhammad Fauzi tentang jumlah modal.
Bahkan, gerobak dagangan itu dirangkit oleh beberapa pengungsi lainnya yang mengoleksi luka-luka goresan di tangannya. Poster makanan berwarna kuning pun turut ia buat dengan bantuan temannya, Muhammad Wahid.
Fauzi mulai berdagang pada 2021 lalu saat kasus Covid-19 menurun. Sebelum matahari terbit, tangannya sudah bergelayut dengan bahan-bahan makanan. Jarinya pun sekali pernah tertusuk oleh pisau tajam dan keringatnya menetes ke lantai dengan sangat deras. Persiapan martabak itu susah sekaligus gampang. Adonannya harus disiapkan dan diaduk sekuat tenaga agar teksturnya tebal serta bumbu-bumbunya itu melekat.
Selain nafkah, Muhammad Fauzi juga mendapatkan berkah dari berkomunikasi dengan warga lokal sehingga keterampilan bahasa Indonesianya menjadi terasah. Karena datang ke Indonesia dengan alasan yang hampir sama, keakraban condong lebih mudah untuk digapai.
ADVERTISEMENT
Melalui mata rakyat jelata, hubungan pengungsi antara satu dan lain itu akan akur atau tidak itu Meskipun demikian, tidak semua warga lokal ataupun pengungsi di situ itu memperlakukan Fauzi dengan baik.
“Memang sulit untuk bisa berbaur, Indonesia culture is different to Suriah,” ucapnya.
Selain beradaptasi, penghasilan dagangan itu juga lumayan inkonsisten. Pengungsi dilarang untuk jualan di luar zona mereka sehingga bergantung pada warga yang kebetulan lewat jalan situ. Bahkan, berdasarkan observasi, sebagian besar pembeli itu adalah pengungsinya sendiri sehingga bisa dinilai bahwa ekonomi di komunitas tersebut hanya berputar di situ-situ saja.
Terkadang, hanya angin yang datang untuk mencium pipi Fauzi, sedangkan bahan-bahan makanannya seperti potongan daging, sayuran, dan lalapan menjadi kesepian seperti Fauzi sendiri. Terkadang, ia hanya jongkok di pinggir jalan sambil minum secangkir kopi Kapal Api panas dan menunggu suara hangat pelanggan yang menyapanya. Saat Fauzi bangun dari lamunannya, terkadang ada sejumlah pengungsi yang ingin mencicipi martabak khas ala Afghanistan.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya, uang bukan masalah, tetapi saya memang agak kesepian saat berdagang,” papar Muhammad Fauzi.
Tuhan Yang Maha Esa, Maha Di Mana Saja
Teman ngobrol Muhammad Fauzi saat sedang dagang adalah Muhammad Wahid, yaitu pengungsi dari Afghanistan yang sudah tinggal di Tangerang selama enam tahun. Ini tentunya melebihi waktu Fauzi di sini. Biasanya, Namun, dari segi pertemanan, ia belum bertemu dengan orang yang tepat untuk dipanggil sahabat.
“Sahabat saya itu Allah selama tiga tahun ini,” ucap Muhammad Fauzi ketika ditanyakan tentang sosok sahabatnya di Indonesia.
Namun, Muhammad Fauzi mengungkapkan bahwa beliau tidak selalu dekat dengan Tuhan. Justru, ia pernah membenci Tuhan.
“Saya sempat menjadi ateis untuk beberapa bulan. Saya tidak salat, saya tidak berdoa, saya tidak ke Masjid, saya lupakan agama saya,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun, demam panas pernah membakar tubuh Fauzi setahun yang lalu. Tak punya duit untuk berobat ke rumah sakit, ia akhirnya mengambil alat zikirnya agar ia lekas sembuh. Tuhan memang tak bisa turun langsung kepada hambanya secara langsung. Tuhan membantunya dengan cara lain. Yang Fauzi tak duga adalah serombongan pengungsi lainnya datang untuk menjenguknya. Temannya Wahid memberinya makanan dan uang tanpa permintaan. Secangkir teh hangat manis diramu oleh istrinya Wahid, sedangkan ibu-ibu yang lain bantu membereskan kamarnya.
“Di Suria, the vibe was also like this, dulu terkadang saya lupa bahwa bukan saya doang yang mengalaminya. Jujur, di mana saya berada, mau dulu di Suriah atau di Jakarta atau sekarang di Tangerang dan mungkin nanti di Australia, Tuhan se
ADVERTISEMENT
lalu bersama saya karena Tuhan Maha Esa itu di mana saja,” tutur Muhammad Fauzi dengan matanya yang berlinang air mata.
Walaupun hanya sekadar pedagang martabak, martabatnya Muhammad Fauzi itu bukan hanya jauh lebih mahal, melainkan satu banding seribu. Persis dengan martabak yang dijual, martabat itu bukan hanya dari diri internal saja, melainkan manifestasi dari kekeluargaan, komunitas, dan kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Martabak bisa dibeli dengan uang kertas lecek, martabat itu tidak. Martabat itu tidak bisa jual.