Belajar untuk Tidak Memaklumi Kejahatan dari The Highwaymen

Rega Afri Setya
A Communication Science Graduate.
Konten dari Pengguna
24 April 2021 19:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rega Afri Setya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tokoh Maney Gault (Woody Harelson, kiri) dan Frank Hamer (Kevin Costner, kanan) dalam film The Highwaymen. (Foto: IMDb)
zoom-in-whitePerbesar
Tokoh Maney Gault (Woody Harelson, kiri) dan Frank Hamer (Kevin Costner, kanan) dalam film The Highwaymen. (Foto: IMDb)
ADVERTISEMENT
Ketika akhir 2019 film Joker rilis, sempat ada kekhawatiran dalam diri saya mengenai kontroversi yang bisa timbul setelahnya. Bagaimana tidak, film ini merepresentasikan sebuah kejahatan. Sebuah penggambaran akan lahirnya seorang penjahat dari kehidupan yang kelam. Melihat premis itu saja, saya cukup khawatir respons-respons negatif atau bahkan pencekalan pemutarannya akan mengancam film Joker di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di dunia barat, orang-orang rasanya sudah bisa memisahkan antara karya seni dan realita. Kehidupan bebas di sana memungkinkan segala bentuk karya seni bisa muncul dalam bentuk apa pun juga, termasuk film Joker yang seolah mengamini tindak kejahatan. Sementara di negeri ini, rasanya ide menerima film sebagai sebuah karya seni seutuhnya masih sulit diterima. Saya khawatir masyarakat kita tidak siap melihat film Joker secara objektif, menilainya dari segi kualitas film terlepas dari pesan-pesan gila dalam kemasan adegan sadis nan mencekam dalam filmnya.
Reaksi yang muncul setelah penayangannya agak di luar dugaan saya. Banyak penonton justru memaklumi bagaimana Arthur Fleck, nama asli Joker, telah melalui kehidupan yang pahit nan menyakitkan hingga akhirnya ia muncul sebagai penjahat. Arthur Fleck yang hidup di kota Gotham telah mengalami kenyataan pahit seperti pengucilan dan penghinaan dari masyarakat disertai beratnya hidup dalam kemiskinan. Lalu dari sini muncullah ide-ide liar di sosial media pada saat itu, bahwa sebenarnya “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Saya sendiri pada awalnya melihat ide tersebut ada benarnya.
Arthur Fleck/Joker yang diperankan Joaquin Phoenix. (Foto: IMDb)
Bisa dimengerti mengapa efek maklum itu bisa tumbuh di kalangan penonton film di Indonesia. Pembangunan konflik yang apik dan kuat disertai akting Joaquin Phoenix yang luar biasa sebagai Arthur Fleck membuat pesan-pesan kegelapan bisa tersampaikan dengan sempurna. Saya termasuk ke dalam jajaran orang yang memuja setinggi langit film Joker keluaran Warner Bros itu. Selain karena ide cerita yang unik, sisi alur, pembangunan cerita dan konflik, hingga pembangunan karakter dalam film sangat memberi emosi yang cukup mendalam kepada penontonnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai film di luar semesta film DC (DCEU), film ini menampilkan sisi lain seorang villain dari sudut pandang orang pertama. Di sinilah saya berpikir bahwa konsep film ini sangat berbeda dan unik. Jika biasanya film-film mengangkat tentang pahlawan seperti supehero yang melawan penjahat, maka kali ini logika itu di balik. Ya, meskipun tidak ada adegan Joker melawan si Batman, musuh bebuyutannya.
Saya cukup memahami bahwa menonton film Joker membutuhkan rasa bijak tingkat tinggi pula. Butuh pemahaman yang cukup bahwa film tersebut hanyalah sebuah karya seni dan oleh karenanya setiap jalan hidup Arthur si Joker ini bukan untuk dicontoh. Kejahatan yang lahir di film Joker itu bukan sesuatu untuk dimaklumi.
Ide ini muncul ketika saya selesai menonton The Highwaymen yang diangkat dari kisah nyata. Film ini rilis di tahun yang sama, meskipun saya sebenarnya baru menonton di tahun 2021. Film produksi Netflix ini mengisahkan bagaimana Frank Hamer (Kevin Costner) dan Maney Gault (Woody Harelson), dua polisi tua yang sebenarnya sudah pensiun, ditugaskan kembali sebagai polisi jalanan (The Highwaymen). Mereka diandalkan sebagai senjata rahasia untuk memburu pasangan penjahat populer di tahun 1930an saat itu, Bonnie dan Clyde.
ADVERTISEMENT
Sedikit tentang Bonnie dan Clyde, mereka adalah sepasang penjahat yang terkenal di Texas, Amerika Serikat pada masa itu. Ketenaran ini sampai-sampai membuat mereka memiliki penggemar yang sangat banyak. Bahkan kematian mereka saja diiringi kerumunan penggemar ketika Bonnie dan Clyde berhasil ditembak mati dan jenazahnya dibawa di dalam sebuah mobil melewati kota.
Terkenalnya Bonnie dan Clyde saat itu cukup beralasan. Aksi mereka merampok bank-bank di Amerika seolah mewakili dendam rakyat kecil yang kerap ditindas oleh pihak bank. Itu menjadi alasan mengapa banyak masyarakat kelas bawah di pedesaan mengidolakan kedua pasangan ini. Namun, hati mereka cukup kejam dengan tidak ragu menghabisi polisi-polisi tidak bersalah di jalanan. Para polisi yang sedang bertugas ini akan mereka bunuh jika bertemu di tengah perjalanan mereka, untuk menghindari tertangkap dan dijebloskan ke penjara.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ada dua adegan yang membuat saya memetik sebuah pelajaran berharga. Pertama, ketika Frank Hamer membentak dan memberi pelajaran kepada seorang warga penjaga tempat pengisian bahan bakar. Frank tidak terima mendengar ucapan warga tersebut yang memuja Bonnie dan Clyde bagai seorang pahlawan yang mewakili rakyat kecil. Frank dengan amarahnya berkata bahwa apakah dia dan para penggemar lainnya tidak memikirkan bagaimana nasib para polisi yang dibunuh. Para polisi itu mati meninggalkan keluarganya dan anak istrinya akan jatuh miskin, sebab mereka sebenarnya juga orang biasa sama seperti si penjaga pom pengisian itu.
Kedua, ketika Frank menemui ayah salah satu penjahat, Clyde Barrow. Awalnya sang ayah, Henry Barrow (William Sadler), berusaha memberi gambaran bahwa sejatinya Clyde tidak dilahirkan sebagai seorang dengan jiwa yang jahat. One turn on the trail, demikian si ayah menjelaskan Clyde dengan suatu idiom yang berarti suatu belokan di jalan hidup. Berawal dari Clyde kecil yang dihakimi karena “hanya” mencuri seekor ayam, ia berubah menjadi penjahat sepanjang hidupnya.
ADVERTISEMENT
Jawaban Frank kemudian menjadi pesan kunci dari pelajaran yang saya petik ini. Menghadapi Henry yang emosional, dengan tenang Frank berkata bahwa ia mungkin tidak dilahirkan dengan jiwa yang jahat, tapi sekarang ia adalah orang yang jahat. Bagaimanapun juga, apa yang dilakukan Clyde bersama Bonnie tidak bisa dimaklumi, apalagi dibenarkan. Adegan kedua inilah yang kemudian memberi suatu pesan tersirat kepada saya.
Clyde yang mencuri seekor ayam boleh saja punya alasan yang sebenarnya bisa dikasihani. Dikisahkan bahwa Clyde mencuri seekor ayam karena dia dan keluarganya kelaparan. Lalu, muncul sebuah pesan di benak saya berdasarkan perkataan Frank tadi. Jika orang jahat adalah orang yang sebenarnya baik, maka sedetik pun ia tidak akan pernah berpikir untuk melakukan kejahatan. Clyde mungkin saja mencuri seekor ayam karena kebutuhan yang mendesak, tapi apa yang ia lakukan setelahnya tetaplah kejahatan yang sangat keji.
ADVERTISEMENT
Well, sama seperti Joker, The Highwaymen adalah sebuah karya seni juga. Bagi saya, pelajaran itu bisa saya petik juga berkat pembangunan konflik dan alur yang rapi. Ditambah lagi akting Kevin Costner si pemeran Frank Hamer yang berhasil membawakan emosi kegusaran seorang polisi terhadap pasangan buronan yang sangat kejam. Film ini sukses memberikan counter value terhadap pesan-pesan dari film Joker, yang mana kejahatan itu bukanlah hal yang patut untuk dimaklumi.