Konten dari Pengguna

Mindfulness di Tengah Hiruk Pikuk Hustle Culture

Regina Firdausa Bahri
Mahasiswa S1 Psikologi Universitas Brawijaya
9 Desember 2024 10:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regina Firdausa Bahri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.pexels.com/photo/woman-sitting-in-front-of-macbook-313690/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.pexels.com/photo/woman-sitting-in-front-of-macbook-313690/
ADVERTISEMENT
Seberapa banyak dari kita yang terus menerus bekerja hanya agar terlihat produktif? atau mengikuti semua kegiatan kampus agar tidak dianggap sebagai mahasiswa kupu-kupu? Sebenarnya seberapa banyak dari kita yang melakukan banyak kegiatan hanya untuk terlihat kompetitif tanpa paham apa yang kita kerjakan?
ADVERTISEMENT
Pemikiran-pemikiran yang mendefinisikan sukses berdasarkan seberapa banyaknya kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan ini lah yang akhirnya membuat kita terjebak dalam hustle culture. Lalu, apa itu hustle culture? Hustle culture awalnya berangkat dari budaya kerja yang berpandangan bahwa kesuksesan dalam karier bergantung pada ketekunan dan kerja keras yang tak kenal lelah (Ramadhanti et al., 2022). Meskipun awalnya berangkat dari budaya pekerja di industri, hustle culture ini akhirnya merambat pada kehidupan sehari-hari. Hustle culture ini lalu dapat didefinisikan secara umum sebagai kecenderungan seseorang untuk mendorong dirinya melewati batas kemampuannya dalam mencapai tujuan atau kesuksesan. Tidak hanya pada konteks pekerja saja, hustle culture ini juga dapat terjadi pada mahasiswa. Pada mahasiswa, hustle culture banyak dipengaruhi oleh kemajuan zaman yang memungkinkan orang untuk membagikan prestasi dan pencapaiannya lewat sosmed. Hal ini akhirnya menciptakan kompetisi yang ketat di antara mahasiswa. Kompetisi ini juga didukung dengan program seperti “Merdeka Belajar” yang memberikan dorongan bagi mahasiswa untuk hustling.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini menjadi masalah jika hanya menargetkan kuantitas pekerjaan atau kesuksesan sebagai hasil akhir tanpa memperhatikan proses, akibatnya banyak orang yang tidak sadar atau paham apa yang mereka kerjakan. Lebih jauh, hustle culture berbahaya pada kesehatan fisik dan mental seseorang. Budaya untuk terus menerus bekerja keras ini menimbulkan fight or flight response (Kumar, 2022). Keadaan tersebut memicu stres yang secara berkelanjutan dapat memicu pelepasan kortisol yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat memengaruhi berbagai aspek kesehatan seperti menyebabkan kecemasan, depresi, masalah pencernaan, sakit kepala, dan ketegangan otot. Selain itu, ada peningkatan kerentanan terhadap masalah kardiovaskular seperti penyakit jantung, darah tinggi, dan stroke. Lalu, bagaimana agar kita tidak terjebak dalam hustle culture? Mindfulness dapat menjadi jawabannya!
ADVERTISEMENT
Sebelum itu, mari kita cari tahu tentang konsep mindfulness terlebih dahulu
Mindfulness
Proses memfokuskan perhatian pada sesuatu yang terjadi saat ini, baik dari stimulus internal (pemikiran dan sensasi tubuh) maupun eksternal (fisik dan lingkungan sekitar), dan mengamatinya tanpa dihakimi, dievaluasi, maupun diberikan makna. Lebih jauh, dalam mempraktikkan mindfulness agar tidak terseret pada hustle culture dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:
Awareness
Dalam awareness terdapat 3 komponen yaitu stopping, observing, dan returning. Stopping di sini berarti menghentikan perilaku yang berasal dari dorongan pemikiran impulsif. Hustle culture banyak didorong oleh pemikiran yang mengharuskan terus berkegiatan agar terlihat produktif atau agar tidak dihantui perasaan bersalah karena tidak bisa melakukan aktivitas sebanyak mungkin. Dengan mindfulness, pemikiran-pemikiran tersebut diberikan jeda dan ditimbang agar tidak semuanya diwujudkan dalam bentuk perilaku. Kita bisa menimbang konsekuensi dari setiap kegiatan yang kita lakukan sehingga tidak mudah terhanyut dengan pemikiran impulsif tanpa tahu esensi dan konsekuensinya. Selanjutnya, dalam observing kita akan mengamati setiap perasaan, sensasi, pemikiran tanpa berusaha memaknainya. Orang-orang yang terjebak dalam hustle culture biasanya memiliki pemikiran-pemikiran seperti “kalau aku ga bekerja keras terus menerus aku akan gagal di masa depan” “aku harus ikut di semua kegiatan kampus” “”istirahat sama aja pemborosan waktu”. Segala pemikiran tersebut hanya disadari tanpa dimaknai macam-macam atau dinilai sebagai baik buruk. Pemikiran-pemikiran tersebut tidak dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang dipercaya karena pada dasarnya hanya pemikiran yang akan datang dan pergi. Sensasi fisik yang muncul bersamaan dengan pemikiran tersebut juga hanya disadari tanpa perlu dilawan. Setelah melewati kedua komponen tersebut, selanjutnya yang harus kita lakukan adalah returning atau kembali hadir pada momen awal saat memulai mindfulness tanpa terhanyut pada distraksi lain.
ADVERTISEMENT
Being in The present Moment
Tidak sedikit orang-orang yang terjebak dalam hustle culture yang lebih memprioritaskan kuantitas di atas kualitas sehingga tidak jarang mereka hanya sekedar melakukan pekerjaan dengan tujuan untuk cepat selesai dan bisa melakukan pekerjaan lain sehingga tanpa benar benar memahami apa yang sedang mereka kerjakan. Being present berarti mencurahkan atensi dan konsentrasi sepenuhnya terhadap apa yang dikerjakan sekarang, tanpa terpengaruh dengan pikiran-pikiran lain. Misalnya, saat sedang mengerjakan tugas makalah, kita akan hanya fokus pada kalimat yang ditulis, kesesuaian dengan instruksi tugas, informasi yang ingin disampaikan, tanpa terpengaruh pemikiran-pemikiran lain seperti tugas lain yang harus diselesaikan atau rapat kepanitiaan pada besok hari.
Accepting
Accepting Bukan berarti menerima dengan pasrah segala situasi. Accepting di sini ditujukan agar kita tidak hanya semata-mata fokus pada rencana masa depan tetapi juga menyisakan ruang untuk kecewa dan sadar bahwa dengan menyusun rencana serapi apa pun tetap sisakan ruang untuk menerima celah akan adanya perubahan karena pada dasarnya segala sesuatu memang akan berubah sehingga tidak terlalu terobsesi dengan masa depan sampai melupakan untuk ‘hidup’ di masa sekarang. Selain itu, accepting berarti menerima situasi saat ini tanpa banyak terpengaruh ekspektasi atau tuntutan. Di masa sekarang, tuntutan ini sangat mudah terbentuk dengan maraknya fenomena flexing prestasi di sosial media. Dengan mindfulness, kita akan menerima dan sadar bahwa trek yang dimiliki setiap orang berbeda bahkan di cabang atau cabor yang berbeda, menjalani hidup bukan hanya tentang kecepatan tetapi juga ketepatan, dan kecepatan itu juga bukan berarti tanpa efek samping.
ADVERTISEMENT
Referensi
Choi, E., Gruman, J. A., & Leonard, C. M. (2022). A balanced view of mindfulness at work. Organizational Psychology Review, 12(1), 35-72.
Good, D. J., Lyddy, C. J., Glomb, T. M., Bono, J. E., Brown, K. W., Duffy, M. K., ... & Lazar, S. W. (2016). Contemplating mindfulness at work: An integrative review. Journal of management, 42(1), 114-142.
Jacobs, S. J., & Blustein, D. L. (2008). Mindfulness as a coping mechanism for employment uncertainty. The Career Development Quarterly, 57(2), 174-180.
Maharani, A. P., Martono, N., & Rizkidarajat, W. (2024). The Behavior of Hustle Culture among Students in Faculty of Social and Political Science Jenderal Soedirman University. International Journal of Multidisciplinary Sciences, 2(1), 24-36.
ADVERTISEMENT
Menardo, E., Di Marco, D., Ramos, S., Brondino, M., Arenas, A., Costa, P., ... & Pasini, M. (2022). Nature and mindfulness to cope with work-related stress: a narrative review. International journal of environmental research and public health, 19(10), 5948.
Metris, D. (2024). HUSTLE CULTURE: MENCERMATI TREN PERILAKU YANG MENDORONG KESUKSESAN TANPA HENTI. Al-KALAM: JURNAL KOMUNIKASI, BISNIS DAN MANAJEMEN, 11(1), 111-131.