Konten dari Pengguna

Bali: Surga yang Terancam Overtourism

Regitahadi
Mahasiswa Komputasi Statistik di Politeknik Statistika STIS
7 Januari 2025 10:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regitahadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : www.pexels.com
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak kenal Bali? Pulau eksotis ini telah lama menjadi primadona wisata, tidak hanya bagi wisatawan lokal, tapi juga wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Pantainya yang cantik, pemandangan alam yang luar biasa, dan budaya yang kaya membuat Bali terasa seperti surga. Namun, di balik semua keindahan itu, ada isu yang mungkin tidak terlalu sering dibicarakan pada saat ini.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, istilah “New Moscow” muncul dan menggegerkan warganet di media sosial sebagai julukan untuk kawasan Canggu, yang kini menjadi salah satu pusat aktivitas wisatawan dan ekspatriat asal Rusia. Sekilas mungkin terlihat sepele, tetapi fenomena ini justru seolah menjadi sebuah gejala dari masalah yang lebih besar: pariwisata di Bali yang makin hari makin tidak terkendali.
Isu overtourism, yaitu pariwisata yang melampaui kapasitas daya dukung lingkungan dan sosial, sebenarnya telah lama menjadi masalah di Bali. Jika overtourism ini terus dibiarkan, bukan hanya jumlah wisatawan yang membludak, tetapi juga dampaknya yang lebih serius: kerusakan lingkungan, budaya lokal tergerus, harga properti melambung tinggi, bahkan masyarakat lokal merasa menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri.
ADVERTISEMENT

Apa yang sebenarnya Terjadi di Bali?

Pulau dewata, pulau kecil nan indah di Indonesia ini memang tersohor di kalangan wisatawan mancanegara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Oktober 2024, ada lebih dari 5,3 juta wisatawan mancanegara yang datang ke Bali, baik melalui bandara ataupun pelabuhan laut. Meskipun ini bisa dipandang sebagai hal yang baik, ketenaran ini juga datang dengan harga yang mahal dengan adanya ancaman overtourism.
Awal mula adanya ancaman overtourism ini dapat dirasakan pada beberapa aspek; properti yang habis dijual ke warga asing, pergeseran kultur masyarakat di beberapa daerah, hingga ancaman-ancaman konkrit pada infrastruktur. Fenomena “New Moscow”, kemacetan tidak terkontrol yang berkelanjutan, hingga peristiwa pesta kembang api di beach club yang mengganggu ritual adat setempat merupakan contoh nyata dampak overtourism yang telah terjadi di Bali. Jika tidak segera ditanggulangi, akan timbul semakin banyak dampak negatif baik pada aspek lingkungan, sosial-budaya, bahkan ekonomi Bali itu sendiri.
ADVERTISEMENT

#SaveBali, Bali is Not For Sale

Menurut Sutawa (2012), permintaan yang meningkat akibat pariwisata menyebabkan inflasi, sehingga meningkatkan harga kebutuhan dasar dan tanah. Hal ini secara tidak langsung membuat banyak penduduk lokal kesulitan membeli rumah dan memenuhi kebutuhan hidup karena kenaikan biaya. Peristiwa ini sesuai dengan keadaan di beberapa daerah, khususnya daerah padat wisatawan, di Bali. Salah satu warga asli Bali, Gede, berpenghasilan Rp17 juta per bulan, merasa sulit membayangkan memiliki rumah di Denpasar tanpa "keajaiban," mengingat harga rumah dengan luas 100 meter persegi kini rata-rata mencapai Rp1 miliar. Gede mengaku sedih harus "bersaing dengan turis asing" untuk memiliki rumah di tanah kelahirannya sendiri.
Dalam upaya mencegah hal ini, warganet meramaikan tagar #SaveBali di sosial media, mencapai 19,1 ribu unggahan di Instagram. Salah satu poin yang dibahas dalam unggahan dengan tagar tersebut adalah bahwa Bali sudah sold out. Warganet menekankan agar turis asing tidak lagi berupaya membeli properti di Bali, karena Bali sudah habis “terjual”. Hal ini relevan karena meski sektor pariwisata memang mendatangkan banyak keuntungan, sebagian besar keuntungan tersebut diraup oleh investor asing, bukan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT

Perusakan Lingkungan, Pergeseran Kultur

Selain berdampak pada aspek properti dan ekonomi, overtourism juga memberikan tekanan serius terhadap lingkungan. Menurut Wahyuni et al., (2022), hotel mewah mengkonsumsi hingga 65% pasokan air Bali yang secara signifikan menghambat akses masyarakat lokal terhadap sumber daya tersebut. Ekstraksi air yang berlebihan telah menyebabkan kekurangan air yang parah bagi penduduk dan memperburuk kondisi kekeringan, yang mengancam pertanian dan kehidupan sehari-hari. Kasus-kasus perusakan lingkungan, seperti pengerukan tebing batu putih di Pantai Pemutih dilakukan dalam rangka pembangunan villa dan hotel. Selain itu, kemacetan yang disebabkan dari lonjakan turis masuk juga tidak bisa dihindari dan sudah terjadi di beberapa daerah di Bali, seperti Ubud, Canggu, Kuta, dan lain-lain.
Pergeseran kultur dan budaya juga sudah terlihat jelas terjadi di Bali, khususnya daerah yang padat wisatawan mancanegara. Pembangunan beach club besar-besaran, hiburan dunia malam, dan berbagai budaya barat yang mulai masuk tidak hanya dinikmati oleh turis mancanegara, melainkan juga oleh masyarakat lokal. Perilaku beberapa wisatawan bisa jadi tidak menghormati adat istiadat setempat dan situs-situs sakral, sehingga menimbulkan ketegangan antara pengunjung dan penduduk setempat. Contoh-contoh wisatawan yang terlibat dalam perilaku yang tidak pantas, seperti mengabaikan aturan berpakaian di kuil atau berpartisipasi dalam ritual tanpa memahami maknanya, dapat mengasingkan penduduk setempat dan mengurangi kesucian praktik-praktik budaya. Tindakan semacam itu tidak hanya mengganggu keharmonisan masyarakat, tetapi juga berkontribusi pada meningkatnya sentimen di antara penduduk bahwa budaya mereka dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan (Kartajaya, 2002; Kotler, 2005).
ADVERTISEMENT

Sikap dan Penanggulangan

Dalam menyikapi ancaman overtourism ini, Dinas Pariwisata Provinsi Bali menyatakan bahwa Bali belum mengalami overtourism, hanya over concentrate di Bali Selatan. Pemerintah mengusulkan moratorium pembangunan hotel dan merancang pola perjalanan wisata yang menyebar ke Bali Utara, Timur, dan Barat. Penyebab konsentrasi wisatawan di Bali Selatan adalah aksesibilitas yang mudah dan fasilitas lengkap.
Selain itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) periode 2020-2024, Sandiaga Uno, menyatakan bahwa perlu adanya konsep keberlanjutan lingkungan dalam pembangunan villa ataupun hotel guna mendukung perkembangan industri pariwisata, sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yang ada di Bali. Lebih jauh, beberapa orang mungkin berpendapat bahwa pembatasan jumlah wisatawan akan mengurangi pendapatan daerah. Namun, menurut pengamat pariwisata Chusmeru, bahwa wisata yang berkualitas bukan hanya tentang popularitas dan kuantitas wisatawan, melainkan tentang bagaimana wisatawan dapat merasakan pengalaman yang bermakna dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Bali, dengan pesonanya yang luar biasa, telah lama menjadi ikon wisata dunia. Namun, sekarang pulau ini berada di persimpangan jalan, apakah akan terus mengejar jumlah turis sebanyak-banyaknya tanpa terkendali, atau mulai memikirkan keseimbangan alam, budaya, dan kesejahteraan masyarakat lokal? Fenomena overtourism yang sampai membuat banyak tanah dan properti di Bali jatuh ke tangan orang asing mulai memperlihatkan efek buruknya: lingkungan makin terancam, masyarakat lokal terhimpit secara ekonomi, kepemilikan lahan berpindah, dan budaya yang dulunya jadi kebanggaan kini mulai tergerus.
Beberapa langkah telah banyak disuarakan, mulai dari moratorium pembangunan hingga upaya menyebar titik kunjungan wisata agar tidak menumpuk di tempat tertentu. Namun, semua itu hanya bisa berhasil bila pemerintah, warga lokal, dan para wisatawan bisa bekerjasama dan saling mendukung.
ADVERTISEMENT
Pariwisata yang berkelanjutan itu bukan sekadar pilihan, tetapi tanggung jawab kita semua demi masa depan Bali. Setiap wisatawan, baik dalam negeri atau mancanegara, perlu lebih peka. Hargai budaya lokal, kurangi jejak kerusakan ekologis, dan bantu perekonomian masyarakat dengan cara yang adil. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga harus lebih tegas dengan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan. Pembatasan pembelian properti oleh warga asing dan penerapan nilai Tri Hita Karana dalam pembangunan, penting untuk keberlanjutan Bali.
Jadi, yuk sama-sama kita jaga Bali! Kita sebagai warganet, turis, pelaku bisnis, sampai pemerintah mempunyai perannya masing-masing demi mewujudkan pariwisata Bali yang lebih bijak. Jangan sampai pesona Bali hanya menjadi cerita lama. Jadikan tagar #SaveBali bukan sekadar seruan, tetapi benar-benar gerakan nyata untuk melindungi keindahan, budaya, dan masa depan Pulau Dewata yang kita cintai.
ADVERTISEMENT