Konten dari Pengguna

Pernikahan Sesama Jenis dalam Perspektif Hukum Perdata

Regita Lovena Febriadella
Mahasiswi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta Program studi Hukum Keluarga
23 September 2024 16:58 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regita Lovena Febriadella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pertentangan Antara Hak Asasi Manusia dan Norma Hukum Agama dalam Perkawinan Sesama Jenis
Sumber:https://www.pexels.com
Berbicara dalam survei yang dilakukan di Masjid At-Taqwa, Endan mengatakan LGBT merupakan plot setan yang dilarang sejak zaman Nabi Luht. “Ini (LGBT) menyimpang dan perlu diperjelas”. Dalam berbagai literatur fikih, ulama telah sepakat mencurahahkan perhatiannya terhadap fenomena sosial prilaku seks menyimpang.
ADVERTISEMENT
Dalam pembahasan fikih, kita mengenal istilah, seperti liwat, sihaq, mukhannats, mutarajjilah, khunsa. Meskipun tidak sama persis, istilah-istilah fikih tersebut substansinya bersinggungan dengan LGBT.
Perkawinan LGBT pada hakikatnya adalah perkawinan sejenis. Ada Sebagian orang mengaitkan perkawinan sejenis dengan hak asasi manusia (HAM) yang memberikan jaminan setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan. Pasal 28B UUD 1945 menyatakan; “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Perkawinan dipahami tidak sekedar ikatan lahiriah yang secara keperdataan menyatukan dua insan untuk hidup bersama, namun lebih dari itu perkawinan merupakan ikatan lahir batin, mengikat dua insan secara jasmani dan rohani. Untuk memasuki dunia rumah tangga harus didahului dengan akad, namun akad dalam pernikahan berbeda dengan akad lainnya.
ADVERTISEMENT
Pernikahan sesama jenis juga dipandang tidak sejalan dengan norma hukum agama, meskipun ada yang menghubungkannya dengan hak asasi manusia (HAM). Pasal 28B UUD 1945 memang menjamin hak untuk membentuk keluarga, namun perkawinan dalam perspektif fikih dipahami sebagai ikatan yang lebih dalam, melibatkan lahir dan batin, serta harus diawali dengan akad yang tidak sama dengan akad-akad dalam muamalah lainnya.