Konten dari Pengguna

Menggenggam Masa Depan Anak Yatim Piatu: Pendidikan Adalah Hak, Bukan Pilihan

23 April 2025 15:25 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Regita Adiningsih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di kelas. Foto: iStock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kegiatan belajar mengajar di kelas. Foto: iStock
ADVERTISEMENT
Di saat anak-anak lain tumbuh dikelilingi orang tua yang bisa mengarahkan, mendampingi, dan menuntun. Anak yatim piatu tidak dapat merasakannya dan justru harus menghadapi kerasnya dunia dengan tenaga sendiri. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalur utama untuk memperbaiki nasib pun tidak jarang menjadi hal pertama yang harus mereka lepaskan. Bukan karena mereka tidak mau belajar, tapi karena jalan menuju sekolah itu sendiri terlalu terjal dan rumit untuk mereka tempuh tanpa dukungan nyata.
ADVERTISEMENT
Kita juga sering mengira bahwa memberi makan dan tempat tinggal saja sudah cukup untuk membantu anak yatim piatu. Padahal, yang mereka butuhkan jauh lebih dari itu. Banyak dari mereka yang akhirnya putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan karena tidak tahu cara mengakses bantuan yang sebenarnya tersedia. Mereka tidak punya orang tua yang bisa mengurus berkas beasiswa, tidak ada wali yang paham prosedur administratif, atau bahkan tidak tahu bahwa mereka punya hak untuk mendapatkan dukungan pendidikan seperti Program Indonesia Pintar (PIP), atau ATENSI dari Kementerian Sosial yang juga sudah berjalan.
Di sinilah peran negara dan lembaga sosial harus lebih konkret lagi. Keberadaan program saja tidak cukup jika tidak disertai dengan sistem pendataan yang kuat dan akurat. Anak-anak yatim piatu tidak bisa kita samakan dengan anak-anak lain yang hidup dalam keluarga utuh. Tidak ada yang mengurus berkas mereka, menanyakan kabar di sekolah, atau memperjuangkan hak pendidikan mereka saat tertinggal. Petugas sosial juga harus hadir lebih dekat lagi dengan terjun langsung ke kampung-kampung, ke desa-desa, ke sudut kota yang terlewat untuk memastikan tidak ada satu anak pun yang kehilangan masa depannya hanya karena kehilangan orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Masyarakat juga perlu diajak untuk mengubah cara pandangnya kalau untuk membantu anak yatim piatu tidak harus menunggu Hari Anak Nasional atau Ramadhan. Kita bisa memulainya dari hal sederhana. Seperti, membantu anak tetangga yang kehilangan orang tua, menjadi teman belajar, menyumbang perlengkapan sekolah, atau sekadar memastikan mereka tetap semangat sekolah. Kita harus keluar dari pola pikir bahwa yang penting mereka makan dan punya tempat tinggal saja. Tanpa pendidikan, mereka akan terus terjebak dalam lingkaran ketertinggalan. Potensi mereka besar, tapi tidak akan pernah tumbuh jika tidak ada yang membuka jalan.
Sudah terlalu banyak cerita yang kita dengar mengenai anak yatim piatu yang tidak melanjutkan sekolahnya. Bukan karena mereka tidak pintar tapi karena tidak adanya sistem yang benar-benar mendampingi sejak awal. Di sini, kita butuh pendekatan yang lebih manusiawi. Pendidikan bukan sekadar kurikulum dan angka partisipasi, tapi soal keberpihakan terhadap mereka yang paling rentan. Anak yatim piatu tidak butuh dikasihani, mereka butuh dilibatkan dan dipercayai.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, kalau kita ingin masa depan negara kita ini lebih baik, maka kita harus mulai dengan memastikan bahwa tidak ada seorang anak yang tertinggal hanya karena ia kehilangan orang tua. Pendidikan harus benar-benar inklusif dan menjangkau mereka yang paling membutuhkan. Karena masa depan bangsa ini juga terletak pada tangan-tangan kecil yang hari ini sedang berjuang sendirian. Dan satu akses pendidikan bisa mengubah seluruh hidup mereka.