Konten dari Pengguna

Menghidupkan Kembali Retribusi Daerah yang Mati Suri

Reigan Bastoto
Seorang yang sedang menjalani Perkuliahan di Politeknik Keuangan Negara STAN dengan ketertarikan pada akuntansi, pajak, auditing.
10 Februari 2025 14:58 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reigan Bastoto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Retribusi Daerah atas Pelayanan Pasar, Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Retribusi Daerah atas Pelayanan Pasar, Sumber: Freepik
ADVERTISEMENT
Di dalam keluarga besar keuangan daerah Indonesia, pajak daerah dan retribusi daerah bagaikan dua saudara yang perannya sangat krusial untuk memajukan ekonomi keluarganya, keuangan daerah. Layaknya kakak-adik, pajak daerah menjadi kakak yang selalu diharapkan dapat menggendong perekonomian daerah, menopang kebutuhan keluarga dengan stabilitas dan kekuatannya. Sementara retribusi daerah seolah-olah menjadi adik yang tak terlalu diprioritaskan. Padahal, jika diberi kasih sayang dan perhatian yang cukup, retribusi daerah bisa tumbuh membantu keluarga menjadi tulang punggung pendapatan asli daerah yang tak kalah signifikan.
ADVERTISEMENT
Dalam kenyataannya, retribusi daerah justru mengalami fase "mati suri." Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tren kontribusi retribusi daerah terhadap total Pendapatan Asli Daerah (PAD) nasional pada periode 2021-2023 hanya sekitar 1%, angka ini menunjukkan stagnasi penerimaan retribusi daerah. Banyak daerah yang masih bergantung pada transfer dana pusat. Salah satu penyebab rendahnya kontribusi retribusi adalah kurangnya tata kelola layanan publik yang menjadi objek retribusi, mulai dari pasar tradisional yang kumuh, parkir liar yang tidak terkelola, hingga layanan kesehatan daerah yang minim fasilitas.
Namun, di tahun 2024, terdapat peningkatan proporsi retribusi terhadap PAD nasional menjadi 5%. Meski angka ini masih tergolong kecil, pertumbuhan signifikan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan retribusi daerah bukanlah sesuatu yang mustahil. Peningkatan ini dapat menjadi sinyal positif bahwa dengan pengelolaan dan kebijakan yang lebih baik di setiap daerah, retribusi daerah memiliki potensi untuk menjadi salah satu penopang PAD yang lebih kuat.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Pajak dan Retribusi
Penting untuk memahami perbedaan mendasar antara pajak dan retribusi. Pajak adalah kewajiban finansial yang dibebankan kepada masyarakat tanpa imbalan langsung yang spesifik, sementara retribusi dikenakan sebagai imbalan atas layanan tertentu yang diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam teori Benefit Principle of Taxation, pajak tidak selalu memberikan manfaat langsung bagi pembayar, sedangkan retribusi didasarkan pada prinsip manfaat langsung.
Richard Abel Musgrave dalam teorinya tentang Public Finance menjelaskan bahwa pajak memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi ekonomi. Di sisi lain, retribusi lebih menekankan pada prinsip keadilan alokasi karena terkait langsung dengan layanan publik yang diterima masyarakat. Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah lebih fokus pada optimalisasi pajak dibandingkan retribusi.
ADVERTISEMENT
Mengapa Pemerintah Mengutamakan Pajak?
Ada beberapa alasan mengapa pajak sering kali diutamakan dibandingkan retribusi. Pertama, Potensi Pendapatan yang Lebih Stabil, Pajak cenderung memberikan pendapatan yang lebih konsisten dibandingkan retribusi. Kedua, Kemudahan Administrasi, Sistem pajak relatif lebih terstruktur dibandingkan sistem retribusi yang sering kali tersebar di berbagai sektor dengan mekanisme pemungutan yang beragam. Terakhir, Prioritas Kebijakan: Pajak memiliki peran strategis dalam kebijakan fiskal nasional, sementara retribusi lebih bersifat lokal dan tidak selalu menjadi perhatian utama.
Menurut teori Fiscal Federalism oleh Wallace Oates, desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya jika pemerintah daerah diberi kewenangan yang memadai untuk mengelola pendapatan lokal, termasuk retribusi. Namun, di Indonesia, implementasi desentralisasi fiskal masih menghadapi berbagai tantangan yang membuat potensi retribusi kurang digali.
ADVERTISEMENT
Potensi Retribusi Daerah yang Belum Maksimal
Meski menghadapi banyak tantangan, retribusi daerah memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Berikut beberapa sektor yang dapat dikembangkan:
Dalam konteks global, berbagai studi menunjukkan bahwa layanan publik yang dikelola dengan baik dapat menjadi sumber pendapatan penting bagi pemerintah lokal. Misalnya, penelitian oleh Bird dan Slack (2004) menunjukkan bahwa pengelolaan retribusi yang efisien dapat mendukung pembangunan kota yang lebih inklusif, seiring berjalannya akan menciptakan domino effect yang positif bagi perekonomian suatu daerah. Dengan dukungan fasilitas yang mendorong aksesibilitas dan inklusivitas bagi masyarakat, maka aktivitas ekonomi tentunya akan meningkat. Di lain sisi, pemerintah daerah tidak hanya memperoleh manfaat dari peningkatan retribusi, tetapi juga dari kenaikan penerimaan pajak daerah lainnya seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Reklame. Akhirnya, pengelolaan layanan publik yang lebih baik menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi daerah yang berkelanjutan dan peningkatan kemandirian fiskal pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Retribusi di Daerah yang Berhasil
Meski banyak daerah menghadapi tantangan, ada beberapa contoh praktik baik yang patut menjadi inspirasi. Misalnya, Kota Surabaya, berhasil meningkatkan pendapatan dari retribusi pasar hingga 30% pada tahun 2023 setelah merevitalisasi pasar-pasar tradisional menjadi lebih modern dan nyaman. Dengan layanan yang lebih baik, pedagang dan konsumen merasa mendapatkan nilai yang setimpal dari retribusi yang mereka bayarkan. Selain itu, Yogyakarta, menerapkan sistem retribusi parkir digital yang tidak hanya meningkatkan transparansi tetapi juga efisiensi layanan. Dengan aplikasi parkir resmi, pendapatan dari retribusi parkir naik signifikan, sekaligus mengurangi praktik pungutan liar.
Keberhasilan ini merupakan secuil dari potensi besar peningkatan retribusi yang ada di Indonesia. Daerah-daerah di kawasan timur seperti Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara masih memiliki ruang luas untuk pengembangan fasilitasi retribusi daerah. Tantangan seperti keterbatasan infrastruktur, layanan publik yang belum optimal, dan minimnya sistem digitalisasi menjadi kendala yang perlu diatasi. Dengan upaya revitalisasi pasar lokal, pengelolaan parkir yang lebih tertata, serta layanan kesehatan yang lebih memadai, potensi penerimaan retribusi di daerah-daerah ini dapat meningkat signifikan. Perlu adanya dukungan kebijakan, investasi infrastruktur, serta transfer pengetahuan dari daerah yang telah berhasil agar kawasan timur Indonesia dapat mencapai tingkat penerimaan retribusi yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Peran Teknologi dalam Optimalisasi Retribusi Daerah
Digitalisasi layanan publik menjadi salah satu kunci untuk menghidupkan kembali retribusi daerah. Dengan menggunakan teknologi, pemerintah daerah dapat meningkatkan transparansi dengan meminimalkan potensi kebocoran pendapatan. Teknologi juga mempermudah pembayaran retribusi melalui aplikasi digital yang meningkatkan kenyamanan masyarakat dalam memenuhi kewajiban mereka. Selain itu, data yang terintegrasi dari sistem digital dapat membantu pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan berbasis fakta. Di negara-negara maju seperti Korea Selatan, penggunaan teknologi dalam layanan publik telah terbukti meningkatkan kepatuhan masyarakat dalam membayar retribusi. Hal ini seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah daerah di Indonesia.
Membangun Kembali Kepercayaan Publik
Teori Tax Compliance menyoroti bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat mempengaruhi kepatuhan dalam membayar retribusi. Ketika layanan publik tidak memadai—seperti pasar yang kumuh dan fasilitas parkir yang semrawut—masyarakat cenderung enggan memenuhi kewajibannya membayar retribusi. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu memastikan layanan yang menjadi objek retribusi dikelola dengan baik agar masyarakat merasakan manfaat langsung yang setara dengan kontribusi mereka.
ADVERTISEMENT
Pendekatan ini diperkuat dengan penerapan Public Value Theory, menurut Mark Moore penting menciptakan nilai publik yang dirasakan langsung oleh masyarakat untuk membangun kepercayaan publik dari masyarakat. Misalnya, revitalisasi pasar tradisional dan digitalisasi sistem pembayaran dapat meningkatkan kenyamanan dan transparansi layanan. Selain itu, Social Contract Theory yang dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat terikat dalam sebuah kontrak sosial. Pemerintah harus memenuhi bagiannya dengan menyediakan layanan publik yang berkualitas, sementara masyarakat mendukung pembangunan melalui pembayaran retribusi. Dengan demikian, masyarakat akan lebih rela membayar retribusi dan tingkat kepatuhan pembayaran retribusi akan meningkat karena masyarakat merasa mendapatkan imbal-balik dari pembayaran yang setimpal.
Kesimpulan
Retribusi daerah yang mati suri bukanlah akhir dari cerita. Dengan tata kelola yang baik, inovasi digital, dan revitalisasi layanan publik, retribusi dapat menjadi salah satu pilar penting dalam keuangan daerah. Pemerintah daerah perlu menyadari bahwa kepercayaan masyarakat adalah kunci untuk menghidupkan kembali potensi retribusi yang selama ini terabaikan. Jika dikelola dengan benar, retribusi dapat menjadi simbol bahwa layanan publik yang berkualitas adalah hak setiap warga, bukan sekadar janji kosong di atas kertas.
ADVERTISEMENT
Potensi besar retribusi daerah yang masih tertidur menunggu tangan-tangan kreatif yang mampu mengelolanya dengan profesionalisme dan integritas. Hanya dengan semangat pembaruan dan transparansi, retribusi dapat kembali berperan sebagai motor penggerak pembangunan daerah yang mandiri dan berkelanjutan.
Referensi:
Badan Pusat Statistik. (2024). Realisasi Penerimaan Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia Menurut Jenis Penerimaan [Rincian 2022] (Rupiah), 2023-2024. Jakarta: BPS.
Moore, M. H. (1995). Creating Public Value: Strategic Management in Government. Harvard University Press.
Musgrave, R. A. (1959). The Theory of Public Finance: A Study in Public Economy. McGraw-Hill Book Company.
Mojok.co. (2023, September 12). Gencar dikembangkan, bayar parkir di Jogja bisa pakai QRIS. Retrieved from https://mojok.co/kilas/gencar-dikembangkan-bayar-parkir-di-jogja-bisa-pakai-qris/
Suryana, F. (2022). Pengembangan sistem manajemen retribusi pedagang pasar berbasis web dan Android di Surabaya. Jurnal Informatika & Rekayasa Sistem, 10(2), 45-60. Retrieved from https://jurnal.stmik-yadika.ac.id/index.php/spirit/article/view/340
ADVERTISEMENT