Saya Memang Bukan Dilan

aldo lolong
Mencoba terus belajar menulis
Konten dari Pengguna
5 April 2019 20:55 WIB
comment
11
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari aldo lolong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Teman Dilan (Yang Bukan) Diplomat Andalan: instagram.com/mugteh (edited)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Teman Dilan (Yang Bukan) Diplomat Andalan: instagram.com/mugteh (edited)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagian dari Latihan Menulis. (Fiktif. Jika ada kesamaan apapun, hanya kebetulan semata)
ADVERTISEMENT
Teman saya yang pintar dan keren (@mugteh), pernah menulis tentang Dilan, karakter utama film Dilan 1990 dan 1991 yang charming, tangguh, dan jago merayu. Dia bilang kalau Dilan punya potensi besar menjadi diplomat andalan Indonesia. Cari aja. Keywords-nya ‘kumparan diplomat andalan’.
Ia awali dengan pertanyaan, tepatnya fantasi, bagaimana jika Dilan menjadi seorang diplomat? Ia gunakan pendekatan fungsi diplomat sesuai Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik tahun 1961, yaitu fungsi Representing, Protecting, Negotiating, Reporting, dan Promoting (mugteh:2019).
Sore itu sehabis menenggak secangkir kopi basi di lantai 2 seputaran Senayan, saya teringat temannya Dilan. Iya, temannya Dilan. Tapi jangan cari dia di film. Ia produk fantasi saya menyaingi Dilan. Usianya tidak beda jauh, keduanya SMA tahun 90-an.
ADVERTISEMENT
Kenalkan, namanya Dildo. Eits, jangan ngeres dulu. Dildo itu diplomat dodol. Beda dengan temannya Dilan, yang diplomat andalan.
Mari kita bandingkan Dilan, dengan Dildo-nya saya.
(Dis)fungsi Representing
Kalau Dilan mewakili wajah bangsa yang memiliki pertumbuhan ekonomi pesat, berdemokrasi, beragam, toleran, anggota G-20 yang gagah, dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Dildo sulit melakukannya.
Karena sekalipun bangsa ini ekonominya tumbuh pesat, Dildo kerap dilanda masalah ekonomi. Ia sering pindah kosan karena diburu debt collector. Hutangnya banyak, dari kartu kredit, KTA, kredit serbaguna, sampai peer to peer lending. Macet semua.
Makannya ngirit. Beda dengan Dilan yang gagah nongkrong di cafe dengan counterpart, Dildo sering mojok di kantin, yang jujur aja namanya agak vulgar, jablay. Itu kantin sebelah yang kadang encroach, eh, ada c**kroach-nya. Konon kurang sesuai dengan standar diplomat (saat) diluar negeri. Kalau yang di dalam negeri mah sudah menyesuaikan.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan salah, Dildo lumayan rajin mengejar tunjangan. Jam 7.30 dia sudah sampai dikantor, biarpun jam 10 sudah ngilang untuk bersemedi di pojokan sambil ngorok.
Mikirin Dewan Keamanan dan peran Indonesia? Boro-boro. Otaknya gak nyampe. Yang dia pikirkan baru bagaimana menjaga keamanan kantor. Itupun karena minggu lalu sepatu Hush Puppies KW3-nya hilang diembat maling.
(Dis)fungsi Protecting
Kalau Dilan melindungi WNI yang terancam hukuman mati, yang ditawan teroris, mengunjungi penjara, dan hal heroik lainnya, Dildo juga.
Bedanya Dildo pilih-pilih. Penjara yang diluar kota akan lebih sering dia datangi. Soalnya dibekali amplop. Yang didalam kota? “Ah nanti dulu, kan belum mendesak, bisa nanti”, kata Dildo. Saking rajinnya keluar kota, ia sudah punya agenda bulanan hasil cascading rencana kerja tahunan.
ADVERTISEMENT
(Dis)fungsi Negotiating
Urusan negosiasi, lagi-lagi kembaran saya ini kalah telak dari Dilan si negosiator handal. Dari awal Dildo tak berdaya me-nego pejabat disekitarnya. Jangan heran kalau dikantor, ia hanya kebagian urusan non substansi. Dari mengantar lukisan ke Phnom Penh, mengatur meja di Jogja, sampai benerin taplak di Bali.
Tapi ia lakukan itu semua dengan cinta. Ia mengutip sang Bunda ‘if you can not do great things, just do small things with great love’. Maka dari itu semangatnya tetap menyala. Saking semangatnya, (maaf) tali kolor-nya pun sempat putus saat jongkok nurunin ATK di sekretariat KTT.
Belum lagi saat mau ditugaskan di luar negeri. Dilan pasti akan dapat tempat yang keren. Dildo gimana? Ia kalah bernegosiasi. Pilihan tempat yang tersisa hanya Ouagadougou, Timbuktu, Pago-pago, dan Majuro. Dildo pun pasrah ke Timbuktu. “Loe kurang bibit, bebet, dan bobot Do. Kalau mau negosiasi di rapat (penentuan) tempat, harus punya itu”, bos-nya menghibur.
ADVERTISEMENT
(Dis)fungsi Reporting
Kalau Dilan cukup mudah menulis laporan karena terbiasa mengisi isi TTS untuk Milea, Dildo surprisingly cukup bisa mengimbangi.
Sayangnya laporan-laporan yang ia kirim dari Timbuktu, beberapa kali nyampah. Tak melulu sesuai kenyataan, lebay, dan memuji diri. Dengan bangga ia tuliskan kalimat “Produk Bangsa Kita Sangat Diminati”, padahal kenyataannya yang beli sedikit. “Kesenian Kita Spektakuler Bergema Disini”. Memang bergema sih, gemanya doang. Tepuk tangan-nya sedikit. Tidak sebanding dengan besarnya ruangan.
Pendek kata, Dildo butuh pengakuan, butuh narsis, butuh dilihat, butuh pujian. Sekalipun laporannya rada ngibul. Jangan heran website Timbuktu jarang pengunjung, Isinya monoton. Kebanyakan kata ‘berhasil’, ‘sukses’, ‘memukau’, ‘terpesona’.
(Dis)fungsi Promoting
Seperti Dilan yang mempromosikan budaya bangsa, temannya Dildo juga getol mempromosikan hal serupa. Sayangnya, yang dia promosikan kerap kali cuma daerahnya. Dia lupa kalau Indonesia beragam, dari Sabang sampai Merauke.
ADVERTISEMENT
Mentang-mentang dari Manado, yang dia tonjolin ya kolintang, maengket, bubur, dan sambel roa. Manado-sentris. Harusnya dia cinta juga sama budaya lain. Ya Jawa, ya Sumatra, dan sebagainya.
Urusan promosi ekonomi, Dildo sebenarnya tidak kalah. Mirip-mirip Dilan, ia tengah menggarap pasar tradisional. Misalnya tempat-tempat berpotensi tapi selama ini jarang didatangi. Cuma, saking semangatnya, ia malah lebih sering cari yang ber-amplop. “Potensi nomor dua bro. Yang penting keluar kota” katanya. Dildo gak keberatan perjalanan darat. Timbuktu ke Ouagadougou ia tempuh dalam 10 jam. Berangkat jam 8 malam, tiba jam 6 pagi. Biar waktu abis di mobil, yang penting amplop maksimal.
Epilog
Tapi tunggu. Kita rewind dulu dari awal. Sama seperti Dilan, Dildo akan sulit menjadi diplomat. Dia bahkan tidak akan sukses karena dari nama dan ceritanya iya cacat moral, ngantukan, kurang substansi, dan doyan amplop. Sekalipun katanya, nasib orang tidak ada yang tahu.
ADVERTISEMENT
Anyway, lupakan Dilan dan Dildo. Mereka tidak nyata, hanya rekaan. Biar kreator mereka saja, @mugteh dan saya maksudnya, yang menjadi diplomat beneran. Kami lebih baik karena dalam diri kami sudah punya nilai Profesionalisme, Integritas, Manfaat, Proaktif, Inovatif dan Nilai Kejuangan. Kali ini saya serius.