Eksistensi Hukum Pidana Islam di Provinsi Aceh: Hukuman Cambuk Bagi si Pelaku

Reisya Thalita Nurmeyanka
Mahasiswi Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
28 November 2022 8:12 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reisya Thalita Nurmeyanka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
www.pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
www.pixabay.com
ADVERTISEMENT
Indonesia sebagai negara hukum memiliki berbagai sumber untuk menciptakan sistem hukum itu sendiri, terdapat empat sumber yang secara umum telah dikenal menjadi titik acuan Indonesia dalam membuat sistem hukumnya yakni hukum sipil, hukum adat, hukum umum, dan hukum Islam. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, maka hukum pidana Islam tak luput dalam penerapan hukum di Indonesia. Atas dasar asas legalitas, hukum pidana Islam dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis dan masih diakui serta berlaku di Indonesia secara konstitusional sebagai hukum, berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun, di samping penerapannya terdapat pula problematika hukum Islam di Indonesia yakni karena adanya pengaruh hukum barat, berkenaan dengan hukum adat, hal-hal politik, serta kebudayaan masyarakat yang beragam.
ADVERTISEMENT
Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum pidana Islam. Hukum pidana Islam di Aceh disebut sebagai hukum jinayah. Undang-undang yang menerapkannya disebut sebagai Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang hukum jinayah. Qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis dengan peraturan daerah yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Aceh. Sedikitnya terdapat tiga qanun yang berkaitan dengan hukum jinayah Islam (pidana) telah diundang-undangkan oleh pemerintah Aceh selama penerapan syariat Islam, yakni: qanun khalwat, qanun maysir, dan qanun khamar.
Awal Kehadiran Syariat Islam di Provinsi Aceh
Syariat Islam sendiri telah hadir dan diterapkan di Aceh semenjak abad ke-17 masehi. Syariat Islam itulah yang menjadi landasan bagi perundang-undangan yang diberlakukan, sehingga menciptakan masyarakat dan kebudayaan Aceh yang islami. Dalam pelaksanaannya, syariat Islam di Aceh juga pernah ditinggalkan pada abad ke-20 sebagai konsekuensi dari kehidupan berbangsa dan bertanah air. Lalu, diterapkan kembali pada masa kepemimpinan B. J. Habibie.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan Hukuman Cambuk Bagi Pelaku Aksi Penyimpangan
Salah satu kebijakan hukum berdasarkan syariat Islam yang ada pada Provinsi Aceh adalah hukuman cambuk bagi pelaku aksi penyimpangan. Hukuman ini diberlakukan bagi mereka yang melakukan perzinahan ataupun hubungan intim secara ilegal, meminum minuman yang bersifat memabukkan, berjudi, pria dan wanita berduaan di tempat yang sepi, pelecehan seksual, pemerkosaan, menuduh seseorang melakukan perzinahan tanpa adanya pengajukan empat saksi, gay, dan lesbian. Pelanggaran-pelanggaran tersebut berpotensi untuk mengakibatkan terdakwa dapat dijerat hukuman cambuk, meskipun terkadang hakim juga menetapkan hukuman penjara bagi mereka. Hukuman tersebut dilakukan setelah Provinsi Aceh mendapatkan izin secara konstitusional untuk menjalankan hukum Islam di wilayahnya. Izin tersebut telah dikatakan pada tiga undang-undang, yaitu UU No. 44/1999 tentang keistimewaan Aceh, UU No. 18/2001 tentang otonomi khusus di Aceh, serta UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Sebagai informasi, satu kali hukuman cambuk setara dengan 30 hari masa tahanan di dalam penjara.
ADVERTISEMENT
Saat ini Aceh memiliki Qanun Aceh Nomor 14 tahun 2014 tentang hukum jinayah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan syariat Islam di sana. Hukuman cambuk di Aceh juga disesuaikan berdasarkan hal yang dilakukan oleh si pelaku. Tujuan dari hukuman cambuk itu sendiri adalah memberikan rasa sakit dan perasaan menakutkan bagi mereka yang merasakannya serta yang menonton pelaksanaan hukuman tersebut. Selain itu, hukuman cambuk juga menimbulkan rasa malu bagi si pelaku karena pelaksanaannya yang disaksikan oleh banyak orang. Berdasarkan tujuan-tujuan dari hukuman cambuk tersebut, diharapkan terciptanya efek jera sehingga masyarakat akan selalu berpikir dua kali untuk melakukan hal-hal yang bersifat menyimpang dari syariat yang ada.