Menurut Ahli, Ini Bahaya Toxic Positivity dan Cara Menghadapinya

Relationship Goals
Dalam hubungan itu butuh tips dan zodiak
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2020 14:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Relationship Goals tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi toxic positivity. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi toxic positivity. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Toxic Positivity mengacu pada istilah perilaku seseorang yang memaksa orang lain untuk tetap berpikiran positif tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi atau tanpa memberikan rasa empati. Sebagai contoh kamu baru saja kehilangan pekerjaan dan merasa sangat sedih, lalu salah satu temanmu berkata “Kamu kan nanti bisa dapat pekerjaan yang lebih baik,”.
ADVERTISEMENT
Sisi baiknya itu bisa menimbulkan motivasi pada dirimu, namun sisi buruknya mungkin kalimat itu kurang tepat terlebih ketika kamu sedang mengalami hari-hari yang berat.
Para ahli mengatakan orang-orang yang berperilaku Toxic Positivity cenderung benar-benar menolak untuk menghadapi sisi gelap dalam hidup.
Selain itu, hal ini dapat memicu hubungan menjadi tidak baik dan berdampak pada kesehatan emosional. Melansir Bustle, para ahli menjelaskan pengaruh toxic positivity terhadap hubunganmu.
1. Apa Arti Toxic Positivity ?
Ilustrasi toxic positivity. Foto: Unsplash
Jennifer Murayama, seorang psikoterapis, memberi penjelasan toxic positivity bahwa, “Toxic positivity lebih dari sekadar bersikap positif dan optimis dalam menghadapi perjuangan atau tantangan. Toxic positivity adalah perilaku menyangkal, meminimalkan, dan membungkam perasaan otentik diri sendiri maupun orang lain,” ujar Murayama.
ADVERTISEMENT
Konselor Myisha Jackson mengkonfirmasi bahwa toxic positivity mengajarkan orang lain untuk membungkam setiap pengalaman yang dianggap negatif, “Kamu bertindak seolah-olah masalah tidak ada,” ungkap Jackson.
Padahal penting sekali untuk menyadari kemunculan sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan untuk menemukan solusi demi masa depan.
2. Mengapa Toxic Positivity Berbahaya?
Ilustrasi toxic positivity. Foto: Unsplash
Tidak ada yang menyatakan benar atau salah tentang baik atau buruknya perasaan.
“Sebenarnya, emosi adalah nilai-nilai netral, meskipun dapat menghasilkan kebahagiaan atau kesedihan dalam diri manusia,” kata Karen R.Koenig, seorang psikoterapis.
“Namun orang-orang yang mencoba untuk selalu berpikiran positif akan berakhir pada keputusasaan dalam mengatasi masalah,” tambahnya. Kamu tidak harus memalsukan kebahagiaan dan mengabaikan perasaan yang sebenarnya.
Sebuah studi tahun 2013 dalam Journal of Psychosomatic Research menemukan bahwa, selama periode 12 tahun, orang yang secara teratur menyembunyikan dan menekan perasaan mereka berisiko lebih tinggi mengalami kematian dini, termasuk kanker.
ADVERTISEMENT
Tidak membiarkan perasaan kamu yang sebenarnya dapat memberikan tekanan besar pada tubuh dan akan menumpuk dengan seiring waktu.
3. Bagaimana Menghadapi Toxic Positivity?
Ilustrasi toxic positivity. Foto: Unsplash
Orang yang memiliki toxic positivity selalu membicarakan tentang kehidupan mereka yang penuh dengan warna dan kebahagiaan.
“Itu mungkin diungkapkan melalui kalimat ‘baik-baik saja’ untuk menyanggah apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Koenig.
Mereka tidak akan pernah menginginkan percakapan yang merujuk pada pengalaman tidak baik atau kesulitan, karena mereka akan mencoba meyakinkan bahwa itu tidak terlalu buruk, atau bahkan menolak untuk mendengarkan pendapat orang lain.
Hal negatif justru bisa membuat mereka marah, bingung, atau takut. Padahal, orang yang memiliki perasaan dan perilaku negatif adalah sesuatu yang normal dan tanda bahwa mereka benar-benar 'hidup'.
ADVERTISEMENT
“Mengakui kesedihan dan kemarahan merupakan bagian dari menjadi manusia dewasa di dunia,” kata Jackson. Sementara itu, rasa syukur akan segala sesuatu yang terjadi merupakan pendekatan yang baik untuk meminimalisir perilaku ini.