Konten dari Pengguna

Jepang dengan UU Disabilitas

Renaldi Pramudita
Mahasiswa S1 Departemen Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
6 Oktober 2022 14:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renaldi Pramudita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Disability (Source: Pixabay/StevePB)
zoom-in-whitePerbesar
Disability (Source: Pixabay/StevePB)
ADVERTISEMENT
Apa itu Disabilitas? Menurut Undang-Undang Dasar Penyandang Disabilitas, “Penyandang Disabilitas” didefinisikan sebagai orang yang terus-menerus menghadapi hambatan dan rintangan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan kehidapan sosial mereka karena cacat fisik, mental ataupun intelektual. Dengan kata lain, mereka mengalami kesulitan yang berat karena berbagai kondisi fisik dan mental.
ADVERTISEMENT
Jepang termasuk negara dengan jumlah penyandang disabilitas yang cukup banyak di Asia. Di Jepang, sebanyak 5,9% dari populasinya merupakan penyandang disabilitas. Jumlah ini selalu bertambah setiap tahun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk.
Dalam bahasa Jepang disabilitas dikenal dengan istilah Shougai (障害) dan penyandang disabilitas disebut dengan Shougaisha (障害者). "Shougai" (障害)berarti halangan, rintangan, hambatan atau gangguan, sedangkan "Sha" (者) berarti orang. Jadi secara bahasa istilah ‘Shougaisha’ berarti orang yang memiliki halangan atau hambatan.
Negara Jepang dikenal sebagai negara yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Hal ini sangat terlihat dari beberapa akses atau layanan yang telah dibangun oleh pemerintah Jepang. Para penyandang disabilitas atau kecacatan fisik dapat mengenyam pendidikan yang sama dengan apa yang diterima oleh orang normal. Serta kemudahan sarana dan prasarana yang menunjang segala aktivitas, juga para penyandang disabilitas pun dapat bekerja di berbagai perusahaan di Jepang dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Keadaan aksesibilitas sarana dan prasarana untuk disabilitas di Jepang telah meningkat secara dramatis dalam beberapa dekade terakhir, dengan dorongan menuju fasilitas "Barrier-free" yang dapat dinavigasi oleh kursi roda, toilet serbaguna dan lift lebar dengan tombol yang diturunkan.
Di Jepang, sebelum pertengahan 1900-an, hampir tidak ada undang-undang tentang hak-hak penyandang disabilitas. Sepanjang sebagian besar sejarah negara, orang-orang dengan cacat fisik dan penyakit mental dikucilkan dari masyarakat, dan dalam kasus terburuk, disterilkan secara hukum. Saat ini, ada undang-undang yang mendorong perusahaan dan organisasi pemerintah untuk mempekerjakan persentase tertentu dari orang-orang dengan kelainan fisik, intelektual, atau mental.
Undang-undang nomor 65 tanggal 26 Juni 2013, pasal 1 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas, menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah sama dengan orang yang bukan penyandang disabilitas. Memiliki hak untuk menikmati hak asasi manusia, dan berhak atas jaminan kehidupan yang layak.
ADVERTISEMENT
Undang-undang ini bertujuan untuk mempromosikan penghapusan diskriminasi atas dasar kecacatan, dengan demikian untuk memastikan bahwa tidak ada warga negara yang didiskriminasi apakah mereka memiliki kecacatan atau tidak, dan berkontribusi pada realisasi masyarakat, serta koeksistensi dengan saling menghormati kepribadian satu sama lain.
Berdasarkan Undang-Undang no. 84 tahun 1970, di Jepang dikenal dengan beberapa jenis disabilitas yaitu Shintai Shougai (身体障害). Shintai shougai atau disabilitas fisik merupakan individu yang mengalami kekurangan atau hambatan pada bagian indera atau bagian tubuh lainnya.
Shintai shougai secara umum adalah individu yang tidak dapat memfungsikan dengan bebas salah satu bagian tubuhnya. Shintai shougai dapat dibagi lagi menjadi beberapa jenis, di antaranya yaitu Shikaku shougai (視覚障害), yang merupakan kondisi dimana seseorang kesulitan melihat/tunanetra. Meskipun menggunakan bantuan alat optik seperti kacamata atau lensa kontak, penyandang disablitas jenis ini masih tidak dapat melihat dengan baik. Kecacatan ini bisa bersifat sementara ataupun permanen.
ADVERTISEMENT
Yang kedua yaitu Choukaku shougai ( 聴覚障害), yang berarti individu yang mengalami kesulitan dalam mendengar suara/tunarungu. Individu ini memiliki hambatan dalam kemampuan meneruskan rangsang suara, sehingga menjadi sulit mendengar. Karena tidak bisa mendengar suara, individu ini pun tidak dapat berbicara maka sering kali disebut pula tunawicara atau tunarungu.
Yang ketiga adalah Shitai fujiyu (肢体不自由), yang dimana merupakan individu yang mengalami hambatan karena penyakit ataupun luka sehingga salah satu anggota tubuh menjadi cacat. Misalnya keempat anggota gerak tubuh, baik bagian atas (lengan), atau anggota gerak tubuh bagian bawah (kaki), batang tubuh (otot perut, punggung, dada), dan sebagainya. Penyandang tunadaksa biasanya mudah dikenali karena mereka menggunakan alat bantu gerak seperti kursi roda, kaki/lengan prostetik, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Yang Keempat yaitu, Naibu shougai (内部障害) yang dimana merupakan cacat organ dalam yaitu tidak berfungsinya kemampuan salah satu organ dalam tubuh seperti jantung, ginjal, usus dan sebagainya, sehingga berdampak pada kehidupan sehari-hari. Menurut shintai shougaisha fukushi hou, yang termasuk dalam kategori Naibu shougai yaitu kecacatan/kelainan pada jantung, ginjal, organ pernafasan, kandung kemih, usus. Selain itu, penyakit yang berhubungan dengan sistem imun seperti HIV/AIDS juga termasuk dalam kategori ini.
Setelah Shintai Shougai (身体障害), ada juga Chiteki Shougai (知的障害) atau Disabilitas Intelektual. Chiteki Shougai merupakan individu yang memiliki tingkat intelenjensi yang rendah sehingga mengalami kesulitan dalam berpikir dan mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Disabilitas intelektual disebut juga tunagrahita. Tingkat intelegensi ini biasanya dinyatakan dengan IQ (Intelegent Quotient). Individu dengan tunagrahita umumnya memiliki nilai IQ rendah atau dibawah rata-rata orang pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Chiteki shougai dideskripsikan sebagai individu yang mengalami hambatan kemampuan intelektual pada saat masa pertumbuhan (hingga kira-kira usia 18 tahun), karena mengalami hambatan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga orang tersebut memerlukan bantuan khusus.
Seishin shougai (精神障害) atau Disabilitas Mental, Seishin shougai merupakan individu yang mengalami kesulitan dalam pengendalian diri atau pengendalian emosi. Disabilitas mental merupakan penyakit pada otak yang disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah stres dan lain sebagainya serta efek-efek yang ditimbulkannya. Disabilitas mental disebut juga tunalaras. Menurut Undang-Undang Mengenai Kesejahteraan Penyandang Disabilitas Mental (精神保健及び精神障害者福祉に関する法律), yang termasuk dalam disabilitas mental antara lain, Skizofrenia, Gangguan bipolar, dan Higher Brain Dysfunction. Istilah Seishin shougai pun dapat diterapkan terhadap orang yang kecanduan zat psikoaktif atau narkotik.
ADVERTISEMENT
Terdapat beberapa hal yang memicu terjadinya disabilitas mental. Pertama yaitu penyebab dari sisi psikologis, pada mulanya kemampuan otak individu tersebut normal, namun karena stres kinerja otak menjadi menurun. Keadaan perasaan dan pikiran menjadi bias. Dapat juga terbentuk karena penyakit yang berhubungan dengan stres misalnya depresi.
Yang kedua, penyebab dari sisi internal, yaitu individu tersebut memang sudah memiliki kelainan fungsi otak bawaan sejak lahir. Hal ini misalnya pada penderita skizofrenia dan gangguan bipolar. Ketiga, faktor eksternal yang dimana karena suatu kecelakaan atau penyakit, sehingga fungsi otak menjadi terganggu atau karena penggunaan obat-obatan psikotropika ataupun alkohol, sehingga menjadi kecanduan.
Terdapat satu jenis disabilitas lagi yaitu Hattatsu Shougai (発達障) atau Developmental Disability. Menurut Shougaisha Kihon Hou, jenis disabilitas ini termasuk dalam seishin shougai. Contoh Developmental Disability antara lain autisme, Sindrom Aspergers, learning disability (LD), attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Penyandang disabilitas di Jepang diatur dalam undang –undang Shougaisha Kihon Hou (障害者基本法) yang disahkan pemerintah Jepang tahun 1970. Undang-undang ini memuat tentang definisi disabilitas, hak-hak penyandang disabilitas, tanggungjawab negara dan pemerintah, hari penyandang disabilitas, serta kebijakan-kebijakan dasar.
Untuk masing-masing jenis disabilitas, terdapat undang-undang sendiri yang termasuk dalam Fukushi Roppou (福祉六法) atau enam undang-undang mengenai kesejahteraan.
Fukushi Roppou ini di antaranya yaitu, Shintaishougaisha Fukushi Hou (身 体障害者福祉法) atau Undang-undang untuk kesejahteraan penyandang disabilitas fisik, Chitekishougaisha Fukushi Hou (知的障害者福祉法) atau Undang-undang kesejahteraan penyandang disabilitas intelektual, Roujin Fukushi Hou (老人福祉法) atau Undang-undang untuk kesejahteraan lansia, dan undang-undang ini juga berlaku untuk lansia dengan disabilitas.
Serta Jidou Fukushi Hou (児童福祉法) atau Undang-undang kesejahteraan anak, yang juga berlaku untuk anak penyandang disabilitas. Untuk itu kesejahteraan penyandang disabilitas sangat terjamin di negara Jepang.
ADVERTISEMENT
Pustaka
Naufal Alif, Ariyobimo (2022) Motivasi dan Motif Satoshi Uematsu Sebagai Pelaku Kekerasan Terhadap Penyandang Disabilitas Di Kota Samigahara, Prefektur Kanagawa Jepang. Other thesis, Unsada.