Ancaman Tersembunyi di Pelabuhan Patimban

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
22 Desember 2020 6:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada hari Minggu lalu (20/12) Presiden Jokowi telah meresmikan Pelabuhan Patimban. Pelabuhan yang diberi nama sesuai nama daerahnya itu digadang-gadang akan menjadi pelabuhan yang kapasitasnya cukup besar. Meski jaraknya mencapai lebih dari 100 km dari Jakarta, namun waktu tempuh cukup bersaing. Di samping itu, lokasinya yang berdekatan dengan Cikarang dan klaster industri lainnya akan menjadi daya tarik industri yang sangat menguntungkan bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT
Dalam hal kapasitas bongkar-muat peti kemas, Pelabuhan Patimban memang tertinggal jauh daripada kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok. Akan tetapi, kapasitas pelabuhan yang berlokasi di wilayah administratif Kabupaten Subang ini di masa depan sangat mungkin bisa mengungguli Pelabuhan Tanjung Priok dalam hal kemudahan akses yang saat ini tidak semacet Jakarta. Bahkan, bisa jadi Pelabuhan Patimban memiliki fasilitas yang lebih modern daripada Pelabuhan Tanjung Priok, mengingat proyek ini menggaet JICA Jepang yang dikenal cenderung mengedepankan inovasi dalam membuat berbagai produk dan layanan.
Pelabuhan Paimban. (foto: BKIP Kemenhub)
Kehadiran Pelabuhan Patimban seyogyanya menjadi harapan dan kebanggaan kita semua. Kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak perlu didukung suatu pelabuhan baru untuk menghindari bottleneck, sehingga logistik barang tidak terkendala. Dalam skala makro, hal ini akan memperlancar perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di balik keunggulan Pelabuhan Patimban, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara serius terkait keberadaannya. Jika hal-hal tersebut diabaikan, justru menjadi ancaman keselamatan yang membuat kapok kapal-kapal domestik dan asing untuk datang ke Pelabuhan Patimban. Faktor-faktor krusial tersebut paling tidak mencakup kesiapan lokasi perairan, pelayanan, dan bahaya di sekitar alur.

Kesiapan lokasi labuh di Teluk Eretan

Teluk Eretan di mana Pelabuhan Patimban perlu mendapatkan perhatian serius terkait keselamatan bernavigasi. Selamat dalam konteks navigasi artinya harus didukung oleh lokalisasi labuh yang memadai serta sosialisasi yang masif dan terukur pada masyarakat sekitar. Mengingat bahwa pengoperasian pelabuhan ini baru, segala kesiapan tersebut perlu dilakukan simulasi (dry run dan full scale), sehingga tidak terkesan testing by running.
ADVERTISEMENT
Dalam hal penetapan lokasi kegiatan kapal labuh, hal tersebut sudah diatur dalam Keputusan Menteri (KM) Perhubungan No. 272 tahun 2020 tentang Penetapan Alur-pelayaran, Sistem Rute, Tata Cara Berlalu Lintas, Dan Daerah Labuh Kapal Sesuai Dengan Kepentingannya Di Alur-pelayaran Masuk Pelabuhan Patimban. Lampiran IV pada KM tersebut memuat koordinat beberapa lokasi (zona), yaitu Pengembangan Jangka Panjang, Karantina Container Post Panamax, Karantina, Labuh Kapal Tunda (Tugboat), Labuh Kapal Peti Kemas (Container), Labuh Kapal Peti Kemas Panamax Container , Labuh Kapal Post Panamax Container, Darurat, Kapal Mati.
Namun demikian, di dalam KM 272/2020 tersebut masih bisa disempurnakan lagi dengan penetapan lokasi yang belum ada. Sebagai contoh, kapal yang membawa muatan barang berbahaya (dangerous goods/DG, barang beracun dan berbahaya/B3) belum memiliki lokasi khusus. Jika ditempatkan di lokasi labuh kapal berstatus darurat, justru hal itu berlawanan dengan konsep darurat. Darurat dimaknai sebagai suatu kondisi yang tidak direncanakan, misalnya bencana atau kecelakaan. Jika kapal membawa bahan bakar minyak (tanker vessel), misalnya, dipaksakan di lokasi labuh area darurat, hal ini menjadi tidak lazim. Bisa jadi di masa depan Pelabuhan Patimban tidak hanya dikhususkan untuk peti kemas dan kendaraan, sehingga penetapan lokasi labuh kapal yang khusus.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang belum diatur dalam KM 272/2020 adalah mengenai definisi. KM tersebut telah memuat berbagai istilah, namun belum disertai definisi yang jelas. Sebagai contoh, istilah “Panamax”, “Post Panamax”, “kapal mati”. istilah Panamax ini termasuk istilah yang menimbulkan makna ketaksaan (ambiguity). Jika dicari, ada banyak arti dari kata Panamax ini, hingga pembaca akan bingung sendiri. Meskipun secara sederhana artinya ukuran kapal yang mampu melewati lock chamber di Terusan Panama, namun hal tersebut seharusnya ditetapkan secara detail di dalam KM tersebut.
Tanpa adanya penjelasan yang lugas, akan terjadi kebingungan di antara para pemangku kepentingan, terutama para pemilik/agen kapal. Mereka akan berebut lokasi tertentu yang cukup baik menurut mereka, biasanya yang dekat daratan atau dekat alur. Laman resmi Dirjen Hubla sempat menyebut makna istilah kapal mati, namun definisi itu lagi-lagi belum masuk di dalam KM 272/2020.
Peta area labuh di Teluk Eretan. (gambar: KM Perhubungan 272/2020)
Penempatan lokasi untuk kapal dalam keadaan darurat ini cukup menarik. Merujuk pada lampiran KM 272/2020, kapal mati justru mendapatkan lokasi yang kedalamannya paling dalam dan setara dengan lokasi untuk kapal Post Panamax, yaitu -17 mlws. Lokasi untuk kapal dalam keadaan darurat justru hanya diberikan kedalaman -10 mlws. Jika kapal yang kedalamannya lebih dari 10 m dalam keadaan darurat, hal ini akan menjadi dilema jika dipaksa tetap labuh di lokasi darurat. Hal ini perlu dipertimbangkan lagi demi alasan keselamatan.
ADVERTISEMENT
Satu area yang disebut "pengembangan jangka panjang" disebutkan memiliki kedalaman -11 mlws. Jika dikaitkan dengan tren kapal secara global, di mana ukuran kapal semakin besar untuk mengejar keekonomian operasional kapal, maka perluasan ini akan menghadapi kendala serius. Dengan ukuran kapal semakin besar, maka kedalaman kapal juga semakin bertambah. Solusi pengerukan dasar laut memang bisa diterapkan, tapi memiliki konsekuensi biaya yang tidak sedikit.
Sosialisasi kebijakan lokasi labuh dan alur pelayaran perlu dilakukan pada nelayan di sekitar Pelabuhan Patimban. Sejumlah kecelakaan tubrukan antara kapal nelayan dan kapal niaga hampir setiap bulan terjadi di berbagai tempat. Faktor penyebabnya adalah kapal nelayan tersebut tidak terdeteksi oleh kapal besar ketika mereka mencari ikan di alur pelayaran. Kendati peraturan pencegahan tubrukan (COLREGs) menyatakan bahwa kapal besar harus menghindari kapal nelayan, tapi hal ini tidak bisa terus-menerus diberlakukan karena berpotensi melumpuhkan pelayanan jika dibiarkan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengantisipasi hal ini, sosialisasi yang terencana dengan baik hingga mengukur tingkat keberhasilan sosialisasi sangat diperlukan. Jika masih ditemukan adanya nelayan yang beraktivitas di alur, kejadian tersebut sangat penting dicatat dalam suatu jurnal dan dilaporkan kepada pihak berwenang, dalam hal ini Kantor Kesyahbandaran setempat. Selanjutnya, pendekatan persuasif diharapkan lebih efektif daripada penghukuman kepada para nelayan di sekitar lokasi pelabuhan agar para nelayan memahami bahaya tersebut.

Pelayanan Kapal Masuk-Keluar Pelabuhan

Perairan Teluk Eretan telah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu. Hal ini tertuang dalam KM Nomor 247 Tahun 2020 Tentang Penetapan Perairan Wajib Pandu Kelas II Di Perairan Pelabuhan Patimban Provinsi Jawa Barat.
KM 247/2020 tersebut mewajibkan kapal yang akan sandar atau lepas untuk dilayani oleh jasa pemanduan dan kapal tunda. Artinya, kesiapan fasilitator pelabuhan dituntut untuk dapat melayani kapal dengan selamat.
ADVERTISEMENT
Peraturan pemanduan kapal telah diatur dalam Peraturan Menteri (PM) 57 Tahun 2015 Tentang Pemanduan dan Penundaan Kapal. Mengingat bahwa tren kapal di masa depan semakin besar, konsekuensi dari PM 57/2015 tersebut akan memaksa fasilitator pelabuhan untuk dapat menyediakan kapal tunda dengan daya minimal sesuai PM tersebut.
Pelabuhan Patimban. (gambar: Google Earth)
Kapal Suzuka Express (IMO 9448073) yang pada hari Minggu (20/12) lalu dikabarkan membawa ekspor perdana ratusan kapal ke Brunei Darussalam dapat dijadikan contoh. Dengan panjang 180 m, merujuk pasal 38 pada PM 57/2015, maka dibutuhkan minimal 2 kapal tunda berkekuatan minimal 6.000 daya kuda (HP) untuk menunda kapal tersebut.
Sayangnya, PM tersebut tidak menetapkan berapa kekuatan minimal setiap kapal tunda yang digunakan. Dengan aturan pasal 38 tersebut, bisa saja fasilitator pelabuhan (atas permintaan agen) menyediakan 10 kapal tunda berkekuatan masing-masing 600 HP. Meskipun hal ini tidak masuk logika, tapi sesuai dengan PM 57/2015. Celah ini membahayakan dan selayaknya segera mendapatkan perhatian serius. kasus-kasus kecelakaan di mana kapal yang ditunda tidak terkendali terjadi salah satunya karena daya kapal tunda terlalu kecil untuk menangani kapal yang dilayaninya.
ADVERTISEMENT

Bahaya di Sekitar Alur Pelabuhan Patimban

Pelayanan masuk-keluar kapal ke/dari Pelabuhan Patimban perlu mempertimbangkan dengan matang mengenai bahaya instalasi bawah air. Kenangan buruk dari tragedi putusnya pipa penyalur minyak mentah di Teluk Balikpapan diharapkan tidak pernah terulang lagi. Dari lampiran alur masuk Pelabuhan Patimban di dalam KM 247/2020, terlihat ada dua macam bahaya.
Pertama, keberadaan sumur-sumur pengeboran minyak lepas pantai di sisi timur dan barat alur. Meski letaknya jauh dari alur, namun kecelakaan biasanya terjadi ketika pergerakan kapal di luar kebiasaan dan tidak diantisipasi dengan peringatan dini secara cepat. Sebagai contoh, ketika ada kapal yang mengarah ke Tanjung Priok, bisa saja berbelok ke barat lebih awal, bukannya terus ke utara hingga ujung alur, dengan alasan menghemat bahan bakar.
Alur Pelabuhan Patimban. (gambar: KM Perhubungan 272/2020)
Kedua, keberadaan pipa penyalur minyak mentah di alur. Kapal yang melewati alur Pelabuhan Patimban akan memotong jalur penyalur minyak mentah. Di sini, Pandu harus selalu bersiaga dan mengingatkan awak kapal untuk tidak melakukan kegiatan apapun yang berpotensi mengulangi tragedi putusnya pipa penyalur minyak mentah akibat terbentur jangkar kapal Ever Judger pada tahun 2018 silam.
ADVERTISEMENT
Termasuk di dalam pelayanan kapal adalah emergency response. Di Indonesia, kedaruratan dilakukan oleh Basarnas sesuai Undang-Undang No. 29 Tahun 2014 Tentang Pencarian Dan Pertolongan. Dengan kata lain, Basarnas juga dituntut untuk bisa memberikan pelayanan kedaruratan. Dengan pusat pelayanan terdekat dari Jakarta, dibutuhkan waktu setidaknya hampir 3 jam untuk menuju Pelabuhan Patimban dari Jakarta. Dalam kondisi darurat, 3 jam kurang dapat diterima oleh para penyintas yang sangat membutuhkan bantuan. Kondisi ini secara tidak langsung memaksa Basarnas untuk dapat mempersiapkan diri menjadi koordinator kedaruratan yang dapat menggerakkan semua unsur potensi SAR pada situasi darurat.