Konten dari Pengguna

Google Maps Bisa Menyesatkan (1)

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
21 Oktober 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekitar satu setengah dekade lalu, Google Maps bukanlah aplikasi populer. Google Earth saudara dekatnya, tentu lebih asing lagi. Pada waktu itu, peta cetak berbentuk lembaran kertas atau buku masih menjadi pilihan favorit. Itu pun, biasanya hanya digunakan oleh orang-orang yang berlebihan secara materi.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2000-an, buku peta Jakarta buatan Gunther W sempat menjadi peta andalan warga Jabodetabek. Holtorf. Peta setebal kurang lebih 5 cm itu pernah menjadi peta favorit karena dibuat memudahkan untuk mencari dan menelusuri suatu alamat berdasarkan kode baris dan kolom. Ilmuwan Belanda itu rela menyusuri gang demi gang di seluruh Jakarta dan menggambarkannya menjadi peta Jakarta. Lalu peta cetak seperti itu di seluruh dunia punah oleh hadirnya Google Maps sebagai game changer. Sama seperti punahnya layanan Telegram di kantor Pos seiring adanya layanan SMS.
Saat ini, hampir semua orang kenal Google Maps, terutama anak-anak muda yang gandrung pada gawai (gadget). Jangan ditanya abang-abang kurir dan ojek daring (online). Mungkin banyak yang tidak sadar bahwa layanan transportasi/distribusi daring itu sangat bergantung pada Google Maps.
ADVERTISEMENT
Kemanfaatan Google Maps begitu terasa hingga tidak lengkap jika bepergian tanpanya. Jika dulu kita harus bertanya pada warga berkali-kali dan mengandalkan ingatan otak untuk menuju lokasi yang tidak familiar, sekarang hanya perlu mengandalkan Google Maps. Kalau sedang tidak memungkinkan untuk mengetik —atau sedang malas— Google Maps juga bisa diperintah melalui suara. Sangat praktis!

Sejarah Google Maps

Pengembangan Google Maps didasari oleh ide revolusioner bahwa peta seharusnya tersedia gratis untuk publik dan bisa diatur skalanya. Konsep ini tidak dimiliki oleh peta versi cetak (hard copy). Di samping itu, peta cetak juga tidak praktis dalam hal berat dan ukuran. Dengan Google Maps, peta cetak setebal apapun bisa ditampung ke dalam ponsel seukuran telapak tangan.
ADVERTISEMENT
Sekitar tahun 2005, Google Maps mulai diluncurkan oleh Google untuk penggunaan publik. Lars Rasmussen dan Jens merupakan pendiri dan pengembang Google Maps. Pada awalnya, mereka mendirikan perusahaan sendiri bernama Where 2 Technologies di tahun 2001. Perusahaan yang mereka bangun melalui berbagai rintangan hingga akhirnya dipinang oleh Google.
Setelah dibeli Google, Lars dan Jens mengembangkan Google Maps dari Silicon Valley. Teknologi Where w Technologies dirombak total oleh Google. Awalnya mereka hanya menggunakan aplikasi tersebut hanya untuk menuntun orang dari satu lokasi ke lokasi lain (A to B). Oleh Google, konsep tersebut diperkaya dengan kemampuan bepergian ke banyak pemberhentian (multi destinations), perekaman gambar (image recording), komentar (comment), sebarkan alamat (share), bisa mencari alamat (searchable), hingga ke navigasi layaknya alat Global Positioning System (GPS) yang sering dipakai di mobil. Singkatnya, Google Maps adalah single answer for many questions about navigation!
Google Maps.
Meski demikian, fitur yang dimiliki oleh Google bukan bebas masalah. Jika tidak paham, penggunanya akan tersesat. Paling parah, pengguna akan mengalami kecelakaan akibat terlalu mengandalkan Google. Untuk itu, pemahaman akan keterbatasan Google Maps penting untuk mewaspadai terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
ADVERTISEMENT

Akurasi GPS di Google Maps

Hampir tidak ada yang pernah menemukan masalah akurasi GPS. Masalah ini misalnya, kita berada di depan rumah, tapi Google Maps menunjukkan seolah-olah kita masih di pinggir jalan besar. Ada selisih posisi antara realita dan tampilan di layar Google Maps atau biasa disebut offset.
Offset GPS terjadi karena beberapa sebab. Penyebab paling umum adalah karena sinyal GPS yang terhalang objek. Ponsel yang kita gunakan berfungsi ganda, sebagai pemancar (transmitter) sekaligus penerima sinyal (receiver). Jika sinyal terhalang, maka pengiriman data akan tertunda hingga terbebas dari halangan.
Proses pengiriman sinyal GPS diawali dari ponsel. Ponsel mengirimkan sinyal ke semua arah. Sinyal akan ditangkap oleh satelit yang ada di luar angkasa mengitari bumi. Satelit itu kemudian mengirimkan kembali sinyal ke ponsel. Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Selisih waktu antara sinyal terkirim dan diterima kemudian dihitung ke dalam formula algoritma untuk memberitahukan ponsel mengenai di mana posisi ponsel tersebut berada.
ADVERTISEMENT
Pada kondisi tertentu, ponsel bisa saja kesulitan mendapatkan sinyal dari dan ke satelit. Misalnya, ketika ponsel berada di dalam gedung perkantoran. Ketika sinyal sulit mencapai satelit di angkasa, Base Transceiver Station (BTS) atau menara seluler biasanya membantu untuk memperoleh data GPS yang lebih cepat.
Proses kerja yang mengandalkan sinyal ke satelit atau BTS ini yang kemudian menjadi titik lemah Google Maps. Sebagai contoh, ketika seseorang sedang berkendara sambil memakai Google Maps di daerah dengan pohon rindang, kemungkinan orang tersebut akan memiliki masalah dengan akurasi GPS.
Contoh lain adalah mengenai posisi palsu. Ketika seseorang berada di sisi gedung pencakar langit, masalah yang muncul biasanya adalah orang tersebut offset. Sinyal yang dipancarkan ponsel terpantul dinding gedung, seolah-olah dia sedang berada di lantai sekian di gedung tersebut.
Ilustrasi sinyal yang terpantul. Gambar: Wing, Kellogg, dan Eklund (2005)
Masalah offset posisi sering dialami oleh pengguna dan pengemudi layanan ojek/taksi daring. Pengemudi mengira penumpang berada di posisi yang tampak di layar, padahal tidak. Faktanya, penumpang ada di bawah fly over atau di samping gedung tinggi. Ini yang sering membuat pengemudi dan penumpang cekcok. Penumpang kesal tidak segera dijemput, sementara pengemudi bersikukuh sudah berada di lokasi jemput sesuai aplikasi.
ADVERTISEMENT
Idealnya, ketika seseorang sedang memakai Google Maps untuk bernavigasi, seharusnya tidak boleh ada objek yang menghalangi. Penghalang bisa berupa dedaunan yang lebat, tebing, gedung pencakar langit yang saling berdekatan, atau sedang berada di dalam gedung tanpa dilengkapi BTS mini.

Dampak Akurasi GPS pada Perjalanan

Untuk mengetahui seberapa akurat GPS yang digunakan di ponsel, misalnya pada Google Maps, ada banyak laman resmi yang bisa dijadikan rujukan. Salah satu contohnya adalah laman resmi GPS yang dimiliki oleh National Coordination Office for Space-Based Positioning, Navigation, and Timing di bawah Tentara Udara Amerika (U.S. Air Force).
Ponsel disebutkan memiliki akurasi maksimal hingga 4,9 m (16 kaki) pada kondisi ponsel di alam terbuka tanpa gangguan ke minimal empat satelit. Akurasi dimaksud adalah untuk pengukuran jarak horizontal. Untuk akurasi vertikal, GPS tidak disarankan untuk diandalkan karena kualitasnya yang belum banyak perbaikan. Bauer (2013) juga menemukan permasalahan mirip seperti ini pada gawai yang digunakan untuk olahragawan.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian yang lain, Wing, Kellogg, dan Eklund (2005) menegaskan tingkatan akurasi GPS menjadi tiga tingkatan. 5 m untuk posisi di alam terbuka, 7 m di sekitar pepohonan yang tidak terlalu rimbun, dan 10 m di bawah penutup seperti kanopi. Mereka mengingatkan kepada pengguna gawai yang mengandalkan GPS bahwa harus ada minimal empat satelit agar posisi horizontal dapat diperoleh hingga akurasi tertinggi yang dapat dicapai oleh GPS.
Meski begitu, akurasi lokasi menggunakan GPS sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagaimana telah diulas sebelumnya. Bangunan tinggi, dinding tebal, pohon tinggi dengan dedaunan rimbun, dan bawah tanah adalah musuh bagi akurasi GPS, termasuk di Google Maps.
Akurasi GPS juga berdampak pada perhitungan kecepatan. Pada sisi lain, jika pengendara tersebut mengandalkan GPS dalam bernavigasi dengan Google Maps, maka dia harus menunggu sedikitnya tiga detik agar posisinya terkoreksi dengan “tepat”. Makna "tepat” di sini masih memungkinkan toleransi hampir lima meter. Masalah ini yang sering menjadi momok bagi pengendara awam di tol.
ADVERTISEMENT
Seorang pengendara yang tengah melintasi suatu jalan tol, tapi bersebelahan atau paralel dengan jalan biasa sering mengalami masalah serius karena penundaan akurasi (delay of accuration) GPS. Kombinasi penundaan selama minimal tiga detik dan akurasi yang mentok tidak sampai lima meter ini bisa menyesatkan.
Seandainya pengendara tersebut ingin terus di tol, tapi GPS menafsirkan pengendara ada di jalan biasa, maka Google Maps akan menyarankan pengendara untuk masuk ke gerbang tol terdekat, sehingga dia diarahkan ke rute yang lebih panjang. Jelas ini menyesatkan. Pengendara yang tidak awas akan menurut saja hingga membuang waktu sia-sia. Dikira Google Maps pengendara itu tersesat, padahal sudah berada di jalan yang benar.
Dalam kasus yang lain, sering dijumpai kasus “salah lajur”. Misal seorang pengendara sedang berada di tol Tangerang–Jakarta. Lajur paling kiri menuju Meruya Ilir, lajur kedua dari kiri mengarah ke Kembangan, sedangkan lajur lain yang lurus mengarah ke Jakarta. Pengendara yang ingin ke Kembangan dengan mengandalkan Google Maps dalam bernavigasi sangat mungkin dianggap berada di lajur paling kiri. Akibatnya, alih-alih menuju Kembangan, pengendara malah diarahkan untuk ke lajur yang mengarah ke Meruya Ilir.
ADVERTISEMENT
Parahnya akurasi akan menjadi akumulasi ketika kecepatan bergerak semakin cepat. Ketika seseorang tengah berkendara dan melaju dengan kecepatan 50 km/jam, artinya dia pindah sejauh sekitar 14 meter per detik. Jika pengendara tersebut menunggu tiga detik, ditambah galat (error) posisi, maka pengendara itu bisa “terlempar” dari posisi sebenarnya sejauh hampir 50 m. Orang-orang sering menyebut kondisi ini dengan “lola” atau lemot. Orang sudah di mana, tapi Google Maps terlambat mengetahui.

Google Maps untuk Sipil, Bukan untuk Militer

Istilah “Gratis kok mau bagus” juga berlaku dalam Google Maps. Aplikasi ini sudah diputuskan dibuka untuk publik secara gratis oleh Presiden Bill Clinton pada waktu itu. GPS untuk publik tidak disengaja agar akurasinya menurun, tapi memang begitu adanya.
ADVERTISEMENT
Dari sejumlah kekurangan pada akurasi GPS, kita perlu memahami bahwa akurasi yang terkadang menyebalkan itu sebenarnya dapat ditingkatkan. Saat ini, pihak militer Amerika menggunakan teknologi frekuensi ganda (dual frequency). Jika hanya satu frekuensi, akurasi masih sering belasan atau puluhan meter. Jika ingin sampai di bawah 10 m, harus menunggu beberapa detik, bahkan menit. Dengan frekuensi ganda, rumus algoritma khusus akan mengoreksi hasil pembacaan posisi menjadi sangat akurat hingga sekian cm.
Dalam bahasa lain, teknologi ini juga disebut sebagai Differential Global Positioning System (DGPS). Selain untuk militer, DGPS juga dipakai di pertambangan. Tanpa DGPS, para pekerja akan menemukan lokasi sumur atau lokasi mineral tambang yang salah. Karena aktivitas pertambangan adalah padat modal, kesalahan harus diminimalkan semaksimal mungkin.
Ilustrasi teknologi Dual Frequency. Gambar: European GNSS Agency
Penggunaan Google Maps untuk kepentingan militer adalah salah besar. Bayangkan jika seorang prajurit membagikan suatu alamat kepada rekannya dengan akurasi rendah, katakanlah 20 m. Ketika target diserbu, ternyata lokasi tersebut salah sasaran. Tentunya ini akan menjadi masalah jika salah sasaran justru membunuh warga sipil.
ADVERTISEMENT

Google Maps Bukan Alat Ukur Lahan

Sebuah penelitian tentang penggunaan GPS sebagai alat bantu administrasi pertanahan patut dicermati. Windarni Sediyono dan Setiawan (2016) menegaskan bahwa masalah presisi GPS masih menjadi masalah yang belum teratasi dalam penggunaannya di bidang pertanahan.
Berkaca pada ilustrasi offset di atas, masalah akurasi GPS bisa berbuntut pada perang antarwarga. Terkadang muncul di media timbulnya permusuhan di masyarakat karena penyerobotan lahan. Jika pergeseran patok tanah satu meter saja bisa menimbulkan keresahan, apalagi jika pergeseran patok mencapai puluhan meter. Jelas, Google Maps sangat tidak tepat digunakan untuk membantu para petugas dalam menentukan lokasi lahan dan batas-batasnya.
Untuk meningkatkan akurasi dalam masalah pengukuran lahan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki layanan geospasial dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Peta yang disediakan oleh BIG diyakini lebih akurat dibandingkan dengan yang disediakan oleh Google Maps. Dengan mengusung konsep Satu Peta, pengukuran dan penetapan lahan selain lebih akurat juga tidak akan tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Di samping masalah-masalah di atas, Google Maps juga masih menyimpan sejumlah kekurangan yang berakibat fatal pada penggunanya. Contoh kasus dan ulasan mengenai dasar penyebabnya akan diulas pada edisi selanjutnya (no. 2).