Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Konten dari Pengguna
LRT di Jakarta dan Palembang Kok Gagal (1)
24 Oktober 2020 5:42 WIB
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aslinya, LRT adalah singkatan dari Light Rail Transit. Di Indonesia, moda transportasi rel ini namanya sedikit dimodifikasi menjadi Lintas Raya Terpadu (di Jakarta) dan Lintas Rel Terpadu (di Palembang).
ADVERTISEMENT
Apapun singkatan LRT, pastinya ia adalah jenis transportasi seperti kereta api listrik (Commuter Line/CL). Bedanya hanya di kapasitas angkut. Dalam hal lebar rel, LRT dan CL sama-sama bisa menggunakan rel dengan lebar 1435 mm (trek standar kereta api yang digunakan paling banyak di seluruh dunia) atau 1.067 mm (digunakan di sebagian besar Pulau Jawa). Setelah melalui berbagai pertimbangan, LRT di Palembang dan Jakarta diputuskan menggunakan lebar rel mayoritas di Pulau Jawa.

LRT di Indonesia saat ini baru ada di dua kota, yaitu Jakarta dan Palembang. Keduanya adalah “oleh-oleh” peninggalan Pekan olahraga Asia (Asian Games) tahun 2018 silam. Yang menarik, penggunaan LRT di kedua tempat tersebut terlihat gagal mencapai target jumlah penumpang harian. Padahal, pada waktu perencanaan digadang-gadang sebagai moda transportasi andalan warga Jakarta dan pertama di Indonesia, di samping MRT.
ADVERTISEMENT
Di Jakarta, proyek Rp 5,8 Triliun sepanjang 5,9 km tersebut hanya sukses menarik 7.400 penumpang per hari di Bulan Februari. Walaupun sekilas melampaui targetnya 7.000 penumpang per hari, jika dilihat keterisian penumpang pada alat transportasi (ridership) masih jauh dari angka target tersebut. Dengan total stasiun sebanyak enam unit, paling banyak diisi hanya ketika akhir pekan. Itu pun oleh warga yang bukan tinggal di area tersebut karena mereka ingin mencoba merasakan naik LRT.
LRT Palembang pun tidak kalah sepinya. Lebih dari setahun setelah diresmikan, LRT sepanjang 23,4 km ini pun rata-rata hanya terisi sekitar 40% penumpang. Rekor jumlah penumpang terbanyak dicapai Juni 2019 hingga lebih dari 10.000 penumpang per hari, tapi setelah itu menurun.
ADVERTISEMENT
Di Palembang sendiri, kerugian operasional ditaksir Rp 8,5 Miliar per bulan akibat sepinya penumpang hanya menghasilkan paling banyak Rp 1,5 Miliar per bulan. Pemda Palembang sendiri enggan jika diminta untuk menutupi defisit tersebut. Spekulasi pun menyeruak mengenai penyebab kegagalan ini.
Rasio Jumlah Penduduk dan Rute LRT
Hal paling lumrah yang mendasari kegagalan ridership LRT terjun bebas adalah rasio yang tidak ideal antara jumlah penduduk dan kapasitas angkut. Penduduk Palembang sendiri hanya sekitar 1,5 juta jiwa pada waktu LRT dibangun.
Lalu timbul pertanyaan, apakah semua warga sebanyak 1,5 juta tersebut akan bergerak menggunakan LRT dari rumah mereka masing-masing. Jika lokasi asal dan tujuan berseberangan atau melintang terhadap rute LRT, impian bahwa ridership LRT akan naik setelah diresmikan dapat dikatakan utopia.
ADVERTISEMENT
Barbier (2010) menjelaskan bahwa kepadatan penduduk di suatu area merupakan modal penting dalam pembangkitan kebutuhan pergerakan masyarakat. Semakin padat, maka potensi diterimanya suatu alat transportasi massal akan semakin besar. Contoh sukses seperti ini adalah di Singapura dan Hong Kong.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai sebaran rute pergerakan penduduk. Jika pada awalnya LRT diniatkan tidak hanya untuk transportasi para atlet, seharusnya penelitian mengenai pola pergerakan warga harus dikaji dengan serius.
Jika dikaji lebih mendalam, pergerakan masyarakat di Palembang tidak sama dengan rute LRT. Jika digambarkan, pergerakan mereka kebanyakan memotong jalur rel LRT. Idealnya, pola pergerakan masyarakat berpotongan sejajar agar mereka mau menggunakan LRT sebagai alat transportasi.
Studi Kelayakan yang Dipertanyakan
Dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan Proyek Monorail Palembang yang dibuat oleh Bappenas pada tahun 2015 menjelaskan sebagian alasan dipilihnya rute yang aneh bila dikaitkan dengan pola pergerakan warga setempat. Dokumen Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW) Kota Palembang menetapkan bahwa bagian utara Kota Palembang diarahkan berkembang menjadi pusat kota yang baru. Dengan harapan ke depannya ada suatu pusat perbelanjaan baru di dekat rel LRT, maka LRT dapat membangkitkan pergerakan yang tidak hanya berfokus di pusat kota.
Satu hal yang keliru dari dasar adalah bahwa penempatan LRT pada rute tersebut tidak bukan sebagai pembangkit pergerakan. Dalam teori transportasi, pergerakan penumpang dapat terjadi oleh dua sebab. Pertama, karena adanya kebutuhan. Jadi, alat transportasi hadir terlambat. Warga sudah terlalu lama menunggu hadirnya alat transportasi massal, lalu ketika dia datang dan diletakkan di rute yang banyak warga gunakan, pasti sukses diterima. Contoh nyata adalah MRT Jakarta dengan rute Lebak Bulus—Thamrin.
ADVERTISEMENT
Kedua, alat transportasi sebagai alat bantu pembangkit pergerakan warga. Opsi kedua ini yang banyak digunakan oleh negara maju. Akan tetapi, yang patut dicatat di kepala dan diingat berulang-uang adalah bahwa hadirnya alat transportasi di negara maju tidak untuk menggerakkan masyarakat dari tempat ramai ke lahan kosong. Negara-negara maju hampir selalu menyertakan suatu daya tarik untuk memancing warga agar menggunakan alat transportasi massal yang baru. Sebagai contoh, pemerintah membangun sekolah, pabrik, pasar, tempat pariwisata.
Apapun yang dibangun sebagai pemantik pergerakan warga akan menimbulkan konsekuensi serius pada ridership. Jika lokasi yang dipatok sebagai tujuan utama warga adalah tempat wisata —seperti halnya pusat perbelanjaan atau wisata alam— maka ridership hanya akan dicapai tinggi hanya di akhir pekan. Hari kerja akan relatif sepi. Sebaliknya, jika yang ditetapkan sebagai tujuan utama adalah tempat beraktifitas harian seperti sekolah dan perkantoran, maka akhir pekan justru sepi, tapi di mayoritas hari akan ramai.
ADVERTISEMENT
Tingkat ketertarikan masyarakat pengguna transportasi publik pernah diteliti oleh Gronaua dan Kagermeier (2007). Secara umum, masyarakat pengguna transportasi terbagi menjadi tiga, yaitu warga yang ketergantungan pada kendaraan pribadi, warga yang tidak terlalu maniak pada kendaraan pribadi atau transportasi publik, dan mereka yang tergolong penyuka olahraga dan sadar pentingnya manfaat transportasi publik bagi kelestarian alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya golongan terakhir saja yang dapat diharapkan dapat menjaga kelangsungan operasional transportasi publik. Itu pun, mereka tidak mutlak harus memilih transportasi publik setiap waktu.
Berkaca pada LRT Palembang, kita patut bertanya mengenai pusat perbelanjaan (mall) apa yang sebenarnya direncanakan tersebut. Atas biaya siapa dan kapan membangunnya masih tidak terjawab di dalam dokumen tersebut. Pemerintah Daerah pun tidak bisa dipaksa untuk membangun mall sebenarnya karena memiliki agenda tersendiri untuk membangun daerahnya masing-masing dengan anggaran yang juga terbatas.
ADVERTISEMENT
Kehadiran mall di Palembang sebagai daya tarik LRT juga perlu mendapat pertanyaan tantangan. Seandainya Palembang hari ini diberikan mall gratis tinggal pakai tanpa beri jasa apapun ke Pemerintah Pusat, belum tentu warga akan berbondong-bondong ke sana. Perlu diingat bahwa rumah-rumah warga tersebar dan tidak cocok dengan rute LRT. Artinya, jika mereka ingin ke mall baru di utara, mereka harus naik kendaraan tertentu, baik umum atau pribadi, lalu menyambung naik LRT. Hasilnya adalah warga kemungkinan besar tetap tidak mau naik LRT.
Park and Ride vs Waktu Tempuh
Dengan situasi Palembang yang kemacetannya tidak separah Jabodetabek, pilihan penggunaan kendaraan pribadi jauh lebih baik ketimbang LRT. Mereka bingung di mana harus parkir kendaraan mereka jika naik LRT. Konsep yang ada di dalam Dokumen Kajian Akhir Prastudi LRT Palembang tersebut juga sebenarnya menabrak konsep park and ride. Di Inggris, konsep park and ride ini gagal (Titheridge 2004). Jika dibandingkan dengan di Amerika yang sukses, penyebab utamanya adalah karena lahan. Dengan demikian, pada area yang padat, seperti di Pusat Kota Palembang, sangat sulit untuk menyediakan lahan parkir bagi pengguna LRT.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Total biaya yang dikeluarkan dan waktu tempuh menjadi alasan utama mereka. Jika mereka berkendara sendiri, lebih murah dan lebih cepat. Kemacetan di Palembang bisa dihitung dengan jari dan hanya terjadi di waktu pagi-sore, ciri khas pergerakan masyarakat beraktivitas untuk bekerja dan sekolah.
Di Jakarta, LRT yang dibangun memiliki rute Kelapa Gading—Velodrome. Rute ini sebenarnya pernah dikritik pada waktu perencanaan yang lampau. Masyarakat Kelapa Gading mayoritas adalah pemilik kendaraan roda empat. Jika mereka bepergian yang awalnya terbiasa menggunakan mobil, lalu dengan hadirnya LRT tidak serta merta mereka akan berubah menjadi pengguna LRT dan Transjakarta karena jarak tempuhnya yang kelewat nanggung.
Salah pilih rute juga terjadi di Mumbai, India. Mumbai Metropolitan Region Development Authority (MMRDA) mengakui bahwa ada kesalahan fatal dalam penentuan rute. Para ahli menyampaikan keberatan atas rute yang dipilih dan tarif yang terlalu mahal. Layanan kereta dengan rel tunggal tersebut akhirnya harus ditutup hampir setahun setelah terbakar hebat.
ADVERTISEMENT
Meski kita tidak ingin kejadian nahas tersebut terjadi pada LRT di Indonesia, tapi situasi defisit anggaran akibat pemasukan dari ridership patut diwaspadai. Penggunaan moda transportasi rel seiring waktu membutuhkan biaya yang besar untuk perawatan komponen, baik rel ataupun kereta. Stenström (2014) menegaskan pentingnya subsidi yang terus-menerus pada investasi transportasi perkeretaapian dalam kaitannya menjaga keberlangsungan pelayanan LRT.