Konten dari Pengguna

Nelayan Indonesia Susah Maju (1)

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
23 Oktober 2020 7:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia dikenal sebagai negara maritim, tapi nelayan terkenal sebagai profesi yang susah maju. Kira-kira itulah paradoks yang sering terdengar jika kita membahas suatu topik berkaitan dengan kehidupan nelayan.
ADVERTISEMENT
Keanehan antara kehidupan nelayan dengan nilai ekonomi budidaya perairan juga terlihat sangat jelas. Pada kurun waktu antara 2010–2014, nilai perikanan tangkap nelayan Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan Buku Kelautan dan Perikanan dalam Angka (KKP 2015), rata-rata nilai produksi perikanan tangkap di laut adalah sebesar Rp 85 triliun per tahun. Nilai tersebut didominasi oleh perikanan tangkap laut sebesar 92% Dalam rentang waktu tersebut, peningkatan terjadi relatif konstan sebesar 14% per tahun.
nilai produksi perikanan tangkap. Gambar: KKP
zoom-in-whitePerbesar
nilai produksi perikanan tangkap. Gambar: KKP
Jumlah kapal penangkap ikan di Indonesia masih jauh dari cukup. Hingga akhir tahun 2014, jumlah total kapal penangkap ikan yang terdaftar di Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) tercatat lebih dari 620 ribu kapal (KKP 2015). Namun demikian, jumlah kapal yang dilengkapi mesin tetap (bukan motor tempel) hanya sepertiganya atau sekitar 220 ribu kapal.
ADVERTISEMENT
Kapal jenis inilah yang seharusnya bisa berlayar hingga jauh dari daratan untuk memperoleh hasil tangkap yang jauh berkualitas daripada perikanan di daerah pantai. Kapal jenis lainnya, kapal bermotor tempel dan kapal tanpa motor, tidak dapat diharapkan untuk berlayar jauh. Kedua kapal tersebut biasanya hanya untuk pariwisata. Kalaupun untuk kegiatan menangkap ikan, terbatas pada kegiatan semacam hobi.
Ardiyani, Iskandar, dan Wisudo (2019) mengungkapkan bahwa Laut Jawa bukan lagi termasuk sebagai perairan yang baik untuk dijadikan sumber potensi laut. Meskipun lebih dari separuh jumlah nelayan di Indonesia mencari ikan di Perairan Laut Jawa, namun kondisi ekosistem terkait habitat dan sumber daya ikan mendapatkan predikat jelek berdasarkan analisis KKP. Kondisi tersebut menyebabkan KKP menganggap Laut Jawa sudah overfishing.
ADVERTISEMENT
Kondisi wilayah tangkap yang semakin menurun karena overfishing juga diperparah dengan peralatan penangkap ikan yang kurang baik. Dengan kata lain, meskipun kapalnya terlihat modern dengan kapal bermesin, namun teknologi peralatannya masih tergolong tradisional.

Ukuran Kapal

Dari data KKP, sebaran jenis kapal nelayan jenis bermotor terbanyak adalah kapal kecil dengan ukuran tonase kotor (GT) kurang dari 30. Kelompok ini, jika dipecah lagi, ukuran terbanyaknya kurang dari 10 GT. Kapal jenis ini di tiap daerah memiliki sebutan yang berbeda-beda, misalnya kapal kelotok, jukung, jolloro.
Semakin besar ukuran kapal, semakin besar pula daya tampungnya. Kapal dengan GT 10, misalnya, dapat membawa pulang hasil tangkapan sekitar 3 ton. Jika menggunakan kapal dengan GT 30, bisa membawa hasil laut sebanyak hampir 20 ton. Putra, Jamhari, dan Hardyastuti (2020) menegaskan hubungan positif antara ukuran kapal dan pendapatan nelayan.
Ilustrasi nelayan. Foto: Unsplash
Ukuran kapal yang kecil berdampak pada terbatasnya daya jelajah kapal. Jika kapal hanya bisa di perairan berjarak kurang dari 12 mil laut, nelayan hanya akan mendapatkan hasil tangkap yang berkualitas kurang baik.
ADVERTISEMENT
Faktanya, hasil laut paling baik justru terdapat di Laut Cina Selatan (LCS). Perairan tersebut membentang mulai dari wilayah Kepulauan Natuna hingga utara Papua Barat. Dengan kandungan sekitar 30% koral dibandingkan yang ada di seluruh dunia (National Strategic Studies 2011), LCS menjadi rumah bagi hasil laut yang sangat menjanjikan.
Meski demikian, Laut Natuna sebagai salah satu bagian kecil dari LCS tidak mendapatkan tempat di hati para nelayan. Ukuran kapal yang begitu kecil tidak memungkinkan untuk dapat mengarungi lautan dari Pulau Jawa menuju Natuna. Jika dipaksakan, baru sampai Selat Karimata sudah karam.
Himpunan nelayan Pantura pernah mendapatkan tawaran ide untuk mencari ikan ke Perairan Natuna sekaligus mengamankan batas negara Republik Indonesia. Akan tetapi, jumlah nelayan yang memiliki kapal di atas GT 100 terlalu sedikit. Kalaupun ada, biasanya mereka hanya mencari ikan di perairan sekitar Maluku karena lebih dekat daripada harus ke Natuna. Apabila ada keperluan mendadak, juga masih banyak pulau yang bisa didatangi.
ADVERTISEMENT
Ada banyak faktor yang menyebabkan nelayan Indonesia terbiasa mencari ikan sendiri. Salah satunya adalah masalah dana. Mereka sering terjerat oleh rentenir untuk mendapatkan modal secara cepat. Kurangnya kemampuan finansial membuat mereka harus puas dengan kapal kecil yang hanya bisa mencari ikan di sekitar pantai. Seandainya mereka memiliki modal yang kuat, mereka pun mau untuk mencari hingga ke LCS.
Salah satu cara untuk membuat nelayan memiliki modal kapal besar adalah bersatu, misalnya di bawah payung koperasi. Koperasi yang beranggotakan puluhan nelayan ini harus mampu mewadahi keinginan para nelayan untuk melaut hingga perairan yang jauh sebagaimana nelayan tradisional dengan kapal pursein. Diharapkan, dengan peningkatan pendapatan, kesejahteraan mereka juga akan terangkat.
Penggunaan koperasi cenderung memiliki plus-minus untuk pengembangan usaha. Dari perspektif nelayan, jika koperasi meminjam dana ke bank akan lebih aman dibandingkan mereka meminjam secara individual. Valentina (2011) menjelaskan kesulitan nelayan secara individu untuk melakukan pinjaman ke bank terkait aspek legalitas. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki dokumen persyaratan administrasi,misalnya Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Di samping itu, dokumen kapal juga sulit untuk dipenuhi karena pembangunan kapal tradisional tidak memiliki gambar teknik kapal, sehingga stabilitas kapal sulit untuk dipastikan.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, perbankan di Indonesia masih takut-takut “bermain air laut”. Jangankan nelayan, bank yang mau memberikan pinjaman untuk angkutan laut terbilang sedikit. Kalaupun ada, nominalnya cukup kecil. Jadi, jika tidak ada perubahan kebijakan secara nasional, pinjaman bank-bank kepada nelayan masih terus di bawah 0,5% dari kemampuan mereka. Sungguh miris, memang. Kebanyakan bank memberikan pinjaman kepada berbagai sektor di daratan, misalnya properti.

Bergerak Sendiri

Nelayan Indonesia memiliki kebiasaan mencari ikan sendirian. Dalam artian sendirian kapalnya, bukan orangnya. Satu kapal bergerak ke lokasi tertentu, lalu kembali lagi setelah dirasa hasil tangkapan mencukupi. Kalaupun di satu area terdapat beberapa kapal, kebetulan saja mereka menuju ke titik yang sama.
Konsep yang digunakan nelayan Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan nelayan asing. Jika kita bandingkan nelayan-nelayan modern yang dilakukan oleh kapal-kapal Cina, Vietnam, Hong Kong, Jepang, mereka sudah mempraktekkan konsep rantai suplai (supply chain).
ADVERTISEMENT
Nelayan asing ketika berangkat mencari ikan sudah siap dengan segalanya. Mulai dari perencanaan pergerakan, jadwal awak, kebutuhan umpan, bahan bakar, logistik, semua dipersiapkan dengan baik. Mereka bukan bergerak dengan satu kapal, tapi berkelompok (Han 2013), jadi semua persiapan sejak berangkat hingga kembali harus matang.
Ketika mereka bergerak, tidak hanya satu kapal sebagaimana kapal nelayan Indonesia. Pergerakan nelayan asing modern terdiri dari sejumlah kapal dengan tugas yang berbeda-beda. Sebagai contoh, satu kapal sebagai kapal pusat kegiatan, kapal lain sebagai penyebar jala, kapal lain sebagai kapal suplai. Minimal ada tiga kapal yang terlibat.
Contoh satu kelompok nelayan Cina. Foto: Voice of America
Dengan pembagian tugas seperti itu, kapal penangkap ikan seolah-olah seperti offshore platform di tengah laut, tapi tugasnya “menambang” ikan. Kapal pusat kegiatan, bahkan, bisa langsung memproses hasil tangkap di kapal itu juga, sehingga ikan yang dibawa ke darat sudah bersih dari kotoran ikan dan bisa langsung dikemas.
ADVERTISEMENT
Sementara itu kapal suplai akan bertugas bolak-balik mengirimkan berbagai keperluan dari dan ke kapal. Ikan hasil proses dibawa ke darat. Kembali dari darat, kapal suplai membawa air tawar, bahan bakar, dan awak kapal yang akan menggantikan awak lain di kapal.
Pemrosesan ikan di tengah laut memberikan banyak keuntungan dibandingkan pemrosesan di darat sebagaimana dilakukan nelayan Indonesia. Pemrosesan di laut akan mengurangi sampah perut ikan. Dengan bobot ikan yang bersih, pergerakan kapal juga lebih efisien, sehingga mengurangi konsumsi bahan bakar kapal.
Di samping itu, setelah diproses, ikan-ikan ditempatkan dengan baik. Kadang, sebagian ikan harus langsung dimasukkan ke dalam kemasan untuk menjaga rupa mereka tetap terlihat segar hingga ke tangan para pembeli. Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan nelayan kita yang menumpuk ikan-ikan di antara lapisan-lapisan es, sehingga ikan menjadi terlihat kurang menarik dan nilai jualnya menurun. Ikan yang terlalu kacau tampilannya hanya akan menjadi ikan asin.
ADVERTISEMENT
Melaut secara bersama-sama mustahil dilakukan dengan pengelolaan usaha tradisional. Di sini, jika nelayan Indonesia ingin mencontoh nelayan asing modern, maka pola pikir juga harus berubah. Pola pikir “melaut untuk menyambung hidup” harus diubah ke arah melaut untuk kesejahteraan bersama. Tidak hanya untuk kepentingan pemilik kapal, tapi untuk awak kapal, keluarga mereka, dan anak-cucu yang kelak akan mewarisi kekayaan laut Indonesia.