Nelayan Indonesia Susah Maju (2)

Renan Hafsar
Investigator Keselamatan Transportasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2020 11:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Nelayan Terkendala Informasi dan Alat

ADVERTISEMENT
Kesulitan untuk berubah tidak hanya terjadi dalam hal bekerja secara berkelompok, tapi juga pada teknologi. Beberapa program yang diluncurkan untuk meningkatkan kualitas tangkapan nelayan Indonesia sudah beberapa kali diluncurkan tapi belum membuahkan hasil yang maksimal. Padahal, program tersebut dimaksudkan untuk mengubah paradigma nelayan dari mencari ikan menjadi menangkap ikan.
ADVERTISEMENT
Salah satu contohnya adalah Sistem Informasi Nelayan Pintar (SINP). Aplikasi yang terkenal adalah Nelpin (Telepon Pintar). Aplikasi informasi lokasi ikan yang diciptakan KKP ini berbasis Android. Sebelum melaut, nelayan akan melihat informasi lokasi ikan dan cuaca. Info cuaca yang perlu diperhatikan adalah kekuatan angin, arus, dan gelombang. Sedangkan informasi lokasi tangkap tentunya koordinat batas prediksi lokasi ikan.
Teknologi tidak selamanya menjawab masalah. Jika melihat komposisi pendidikan nelayan, sebagian besar dari mereka adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Muawanah (2017) melihat komposisi lulusan SMA sebesar 40% membuat sekitar 15% masih kesulitan untuk menggunakan aplikasi tersebut. Meskipun Putra, Jamhari, dan Hardyastuti (2020) menyarankan peningkatan tingkat pendidikan bagi nelayan untuk memperbaiki kehidupan mereka, namun Wulandari dan Putri (2020) menemukan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada besarnya tangkapan mereka. Malah, pengalaman diyakini lebih berpengaruh.
Ilustrasi teknologi pada kapal nelayan modern. Foto: Environmental Defense Fund
Penggunaan Nelpin juga harus dibarengi alat lain. Aplikasi tersebut berbasis Android, sehingga membutuhkan koneksi pada jaringan seluler. Di tengah laut, tidak ada sambungan internet. Sambungan telepon satelit tidak mungkin dimiliki oleh nelayan tradisional. Jadi, aplikasi tersebut hanya dapat digunakan di pesisir yang memungkinkan sinyal dari menara seluler tertangkap oleh gawai mereka.
ADVERTISEMENT
Kalaupun nelayan menghafalkan lokasi penangkapan ikan di laut sebelum berangkat, hal itu sangat sulit. Laut tidak memiliki tanda seperti pohon atau bangunan, sehingga tidak diketahui lokasi mereka ada di mana. Ke mana melihat, hanya terlihat air. Dengan demikian, mutlak dibutuhkan alat tambahan berupa Global Positioning System (GPS) portabel. Melihat kondisi perekonomian nelayan tradisional, sulit rasanya jika mereka yang bekerja perorangan tersebut untuk membeli GPS hanya untuk mengetahui lokasi tangkap.
Terkait GPS, absennya GPS sebagai bagian dari alat tangkap ikan di kalangan nelayan patut disayangkan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Pradeepraj et. al. (2018) berhasil membuat prototipe GPS yang dikombinasikan dengan pemancar sinyal darurat. Teknologi ini, jika dapat ditangkap oleh pemerintah terkait, dapat menyelamatkan banyak jiwa nelayan.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap hari terdengar berita nelayan tenggelam dengan berbagai sebab. Tapi, akhir dari berita rata-rata sama, yaitu nelayan tidak ditemukan atau ditemukan sudah dalam kondisi meninggal. Artinya, nelayan sulit ditemukan ketika operasi pencarian oleh Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) dilakukan.
Sebenarnya ada aplikasi lain seperti Nelpin, misalnya Navigasi Nelayan Marlin (NN MARLIN). Pada prinsipnya sama-sama membantu nelayan dengan memberikan informasi lokasi potensi ikan, prediksi cuaca, ketinggian gelombang laut, arah dan kecepatan angin, lokasi tempat pelelangan ikan (TPI), perkiraan BBM, hingga harga ikan.
Akan tetapi, kesulitan sinyal di tengah laut dan tidak adanya GPS membuat mereka hanya bisa menggunakan aplikasi di pesisir pantai yang hasil tangkapannya jauh dari harapan. Jika dipaksakan melaut ki lokasi tangkap tanpa GPS, bukan hanya tersesat, mereka juga bisa ditangkap oleh aparat keamanan asing karena dianggap masuk ke wilayah negara mereka.
Aplikasi Nelpin. Foto: Youtube
Berbagai alat di atas juga semakin suram masa depannya ketika kita mengetahui bahwa sebagian dari mereka hidup di dunia yang jauh berbeda dengan kebanyakan dari kita. Sebagai contoh, sebagian dari nelayan hidup dengan tenaga listrik yang sangat terbatas. Praktis, mereka jarang sekali melihat benda bernama ponsel dan merasa tidak perlu untuk memilikinya (Chhachhar 2014). Pada kondisi ini, teknologi apapun susah sekali untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini jauh berbeda dengan nelayan asing modern. Mereka tidak memanfaatkan alat yang terus-menerus melakukan pemutakhiran lokasi ikan tangkap. Mereka juga dapat membawa GPS, sonar , dan radar pencari ikan untuk meningkatkan akurasi pemilihan lokasi tangkap (Marzuki dan Man 2014). Bahkan, dalam sebuah studi, mayoritas nelayan asing justru merasa lebih diuntungkan dalam hal keselamatan ketika melaut dibandingkan tidak menggunakan SINP.
Sejumlah aplikasi lain juga telah diluncurkan untuk nelayan, khususnya terkait pemasaran dan keuangan. Namun demikian, Fox, Carnegie dan Adhuri (2009) membuktikan bahwa sebagus apapun hasil tangkapan nelayan, keputusan akhir cenderung berada di tangan pemilik kapal. Penangkapan hiu yang dilakukan di area Indonesia Timur, misalnya. Kendati nilai jualnya tinggi, namun proporsi bagi hasil antara awak kapal ikan dengan pemilik kapal terlalu jomplang. Akibatnya, nelayan yang sudah susah payah menangkap ikan, menjual hasil tangkap dengan harga tidak baik.
ADVERTISEMENT

Solusi Penetrasi Teknologi pada Nelayan

Sejumlah masalah sulitnya teknologi membantu kehidupan nelayan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar. Kelompok masalah pertama adalah usia. Usia di sini tidak dapat dilepaskan dari tingkat pendidikan. Ada dua peneliti yang penting untuk disimak, yaitu Muawanah (2017) yang menemukan bahwa mayoritas nelayan berpendidikan SMA dan Shaffril (2012) yang mengungkap bahwa mayoritas pencari ikan berusia paruh baya.
Dari fakta tersebut, dapat ditarik satu kesimpulan bersifat substansial dan berlaku sebagai penghalang (barrier) bagi mereka untuk berubah. Para pencari ikan yang pada umumnya sudah memiliki cucu ditambah tingkat pendidikan yang rendah adalah kombinasi paling cocok untuk menjadi stigma bagi nelayan itu sendiri untuk maju.
Oleh karena itu, Czaja (2007) mengusulkan beberapa solusi agar teknologi dapat diterima oleh kalangan yang menjelang masuk usia lansia. Beberapa solusi di antaranya adalah penggunaan layar dan teks besar serta kemudahan dan kesederhanaan penggunaan gawai.
ADVERTISEMENT
Meski sebagian kalangan muda merasa gawai justru lebih mudah daripada mesin ketik, tapi bagi mereka justru sebaliknya. Di sini, boleh jadi nelayan kelompok mayoritas usia tersebut memiliki ekspektasi yang tidak sama dengan prediksi yang dibuat oleh penyedia layanan. Ketika ekspektasi tidak bertemu dengan prediksi, maka teknologi menjadi sia-sia.
Kelompok masalah berikutnya adalah budaya. Dalam hal ini, budaya tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan dan kehidupan religiositas. Ketika nelayan diajak melaut jauh ke lokasi iakn berkumpul, sebagai contoh, cenderung menolak karena khawatir tidak ikut sholat Jumat.
Kegiatan melarung sesaji laut di Juwana. Foto: Greatnesia
Contoh lain lagi, mereka meyakini bahwa rezeki di laut sudah ada yang mengaturnya, sehingga teknologi tidak akan berpengaruh banyak. Yang menentukan hanya sesaji yang dilarung ke laut dan perilaku nelayan. Jelas, pola pikir seperti ini jika tidak ditinggalkan sulit untuk menawarkan teknologi kepada mereka sebagai sarana untuk berubah.
ADVERTISEMENT
Jadi, cara satu-satunya untuk menolong para nelayan yang terjebak pada kondisi ini hanya dengan mengikis kepercayaan yang bertabrakan dengan logika sains. Organisasi Pangan Dunia (FAO) dalam sebuah buku berjudul Understanding the Cultures of Fishing Communities: A Key to Fisheries Management and Food Security (McGoodwin 2001) merekomendasikan pemerintah terkait nelayan untuk memberikan penyuluhan melalui komunitas. Nelayan skala kecil dapat didekati melalui komunitas mereka masing-masing (small-scale fishing communities). Pendekatan ini dianggap lebih menjanjikan mengingat keterbatasan dana dan waktu yang dimiliki oleh pemerintah dalam setiap program edukasi peluncuran suatu program kepada masyarakat nelayan.