Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Revitalisasi VTS Jangan Setengah Hati
14 Oktober 2020 5:33 WIB
Tulisan dari Renan Hafsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Vessel Traffic Services (VTS) adalah pelayanan yang diberikan oleh pihak berwenang dalam bidang pelayaran. Pelayanan dimaksud bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pelayaran, efisiensi pergerakan lalu lintas kapal, dan perlindungan lingkungan perairan. Peran VTS sangat bermanfaat untuk menjaga keselamatan area instalasi lepas pantai, lokasi proyek di perairan, area berbahaya di sepanjang bibir pantai atau alur, serta perairan dengan lalu lintas sibuk, terutama perairan tertutup (Mahdaly dan Selmy 2018). Untuk melaksanakan tujuan tersebut, badan khusus PBB bidang pelayaran, International Maritime Organization (IMO) mewajibkan institusi yang melaksanakan VTS harus mampu berinteraksi dengan kapal dan memberikan respons terhadap perkembangan situasi yang dinaunginya.
ADVERTISEMENT
Secara mudah, VTS diibaratkan Air Traffic Controller (ATC). ATC mengatur apakah suatu pesawat boleh lepas landas, mendarat, berputar-putar di udara. Agak mirip dengan ATC, VTS mengatur pergerakan kapal-kapal yang bergerak di dalam wilayah kerja VTS tersebut. Di dalam VTS terdapat berbagai peralatan sebagaimana di ATC, misalnya radar dan radio (Hughes 1998), sehingga memungkinkan untuk memantau dan mengatur pergerakan kapal secara waktu nyata (real time). Tanpa ada pengaturan, kapal-kapal dapat memadati suatu alur dan berpotensi celaka. VTS bertugas, antara lain, memberikan arahan pada suatu kapal dan, jika memungkinkan, instruksi terkait kenavigasian (Plant 2002).
Meski demikian, VTS memiliki tiga golongan yang berbeda, yaitu Information Navigation Service (INS); Navigational Assistance Service (NAS) atau layanan bantuan navigasi; serta Traffic Organization Service (TOS) atau layanan pengelolaan lalu lintas. Pemilihan golongan VTS tersebut tergantung hasil penilaian kebutuhan pada suatu area. Semakin banyak peran VTS yang dikerjakan, tentunya membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas lebih tinggi dan jumlah SDM yang lebih banyak.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan peran VTS di berbagai negara dapat berbeda-beda. Menurut IMO melalui Resolusi A.857(20), pihak berwenang adalah institusi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas sebagai VTS, baik seluruh atau sebagian peran VTS. Di Indonesia, peran VTS dijalankan oleh Distrik Navigasi (Disnav) yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Selain menjalankan peran sebagai VTS, Disnav juga menjalankan peran sebagai stasiun radio (coastal radio), terutama di daerah-daerah yang tidak terjangkau oleh VTS. Di Indonesia, kantor VTS ini berbeda dengan kantor Syahbandar (KSOP). Terkadang, suatu daerah memiliki VTS dengan strata yang lebih tinggi daripada KSOP; tetapi di tempat lain terjadi sebaliknya.
Peran VTS di sejumlah negara patut disimak. Inggris, sebagai contoh, menunjuk Syahbandar setempat untuk melaksanakan pelayanan VTS secara penuh. Sebaliknya, Australia menunjuk pihak swasta yang memenuhi syarat oleh regulator sebagai VTS untuk berperan sebagai VTS. Kemampuan tersebut akan dinilai setiap lima tahun sekali untuk memastikan SDM yang dipekerjakan dan peralatan memenuhi Undang-Undang Keselamatan dan Kepelabuhanan (Marine Safety Act dan Port Management Act).
ADVERTISEMENT
Peran VTS yang dijalankan Amerika sedikit unik. Negara ini mengkombinasikan antara pemerintah pusat dan daerah. Di banyak tempat, VTS dijalankan secara penuh oleh pemerintah melalui The United States Coast Guard (USCG). USCG ini bukan seperti TNI AL, meskipun perannya sangat besar dalam perlindungan wilayah perairan Amerika. USCG juga bukan berada di bawah The United States Department of Transportation (DOT) seperti di Indonesia, tapi di bawah The United States Department of Homeland Security atau Kemenhan jika di Indonesia.
Kemelut Situasi VTS Indonesia
Penguasaan otoritas dan peran VTS, baik oleh pemerintah sepenuhnya atau oleh swasta, memiliki konsekuensi masing-masing. Jika peran VTS dijalankan secara penuh seperti di Inggris dan Amerika, tentunya membutuhkan banyak SDM dan biaya yang mahal. Biaya yang dikeluarkan meliputi peralatan dan SDM. Tidak peduli seberapa canggihnya suatu alat, jika SDM tidak memadai juga akan menjadi sia-sia. Akan tetapi, jika peran VTS dijalankan oleh swasta, di mana pemerintah hanya bertugas memastikan peran dan kapasitas entitas yang ditunjuk memenuhi persyaratan sebagai VTS, hal ini akan memberikan efisiensi secara signifikan.
ADVERTISEMENT
Berkaca kepada situasi VTS di Indonesia, situasi yang dihadapi ibarat simalakama. 21 stasiun VTS tersebar di sejumlah pelabuhan besar di Indonesia memiliki kendala SDM yang seragam dan cukup serius. Jika dipetakan, masalah ini berkisar seputar jumlah SDM, kualitas SDM, dan peran VTS.
Semenjak moratorium digaungkan pada medio 2010, jumlah pegawai di Kementerian Perhubungan terus mengalami pertumbuhan yang relatif stagnan. Masalahnya, pengembangan VTS membutuhkan ekstra SDM yang tidak sedikit. Distrik Navigasi Belawan, misalnya, memiliki SDM sebanyak 195 orang (Siswoyo, 2015).
Satu VTS kecil yang hanya berperan memberikan informasi pada periode tertentu, setidaknya membutuhkan 12 SDM yang terdiri dari satu supervisor, dua operator, dan satu teknisi. Mereka harus dipergilirkan selama maksimal delapan jam sehari, sehingga ada tiga shift dalam sehari. Efisiensi jumlah pegawai dengan memperpanjang masa kerja menjadi dua belas jam dalam sehari tidak mungkin dilakukan karena menyalahi ketentuan aturan jam kerja yang direkomendasikan ILO.
ADVERTISEMENT
SDM yang ditugaskan di VTS haruslah SDM unggul. Bagaimana tidak, mereka harus mampu berkomunikasi dengan kapal asing menggunakan Standard Marine Communication Phrases (SMCP) sesuai Resolusi IMO A.918. Tidak hanya itu, mereka juga akan memantau pergerakan kapal dengan perangkat lunak dan keras teknologi terkini layaknya pemantau situasi pada suatu command centre. Kemampuan komputer saja jelas tidak cukup untuk dapat bekerja di VTS. Idealnya mereka adalah para pelaut yang sudah paham bagaimana bekerja di atas kapal.
Standar operator VTS ditentukan oleh IALA. Untuk dapat menjadi operator, seseorang diharuskan menjalani kursus IMO Model Course V-103/1. Kursus yang terbilang cukup mahal ini tentunya investasi SDM yang tergolong berisiko jika tidak ditangani dengan baik. Masalah yang timbul dalam investasi SDM biasanya adalah ketika seseorang keluar dari tempatnya bekerja karena tergiur iming-iming gaji tinggi di tempat lain. Di samping itu, sering kali perintah mutasi/rotasi tempat kerja juga menjadi penghambat pengembangan fungsi VTS Indonesia. Jadi, rusaknya tatanan karir dan keterampilan SDM Perhubungan tidak selalu karena pegawai tersebut pindah kerja. Faktanya, jarang sekali ditemui ada pegawai yang berhenti dari PNS, lalu kerja di swasta.
ADVERTISEMENT
Kendala VTS diperparah lagi dengan ketidakjelasan otoritasnya. Jika berbicara mengenai kewenangan, seharusnya VTS yang berhak dihubungi pertama kali oleh kapal-kapal yang bergerak (hanya melintas, masuk alur, atau keluar alur pelayaran) di wilayah kerjanya. Realita yang terjadi menunjukkan bahwa VTS kurang mendapatkan perhatian dari para awak kapal. Penyebabnya beragam, tapi didominasi oleh ketidaktahuan apa itu VTS dan merasa tidak ada keperluan dengan VTS.
Pada saat yang sama, VTS tidak memiliki kewenangan untuk memberikan tindakan sanksi kepada kapal-kapal yang tidak mengindahkan komunikasi VTS. Memang, VTS dapat memberikan laporan kondisi tidak diharapkan tersebut kepada kantor Syahbandar setempat untuk ditindaklanjuti. Akan tetapi, koordinasi hampir selalu menjadi suatu tindakan yang sulit untuk direalisasikan. SIngkatnya, peran VTS hampir tidak ada bedanya antara ada dan tiada.
ADVERTISEMENT
Solusi untuk VTS Indonesia
Melihat serangkaian kemelut di VTS, dibandingkan dengan peran VTS yang sebenarnya vital bagi keselamatan dan keamanan perairan, harus ada solusi jangka panjang. Sebenarnya ada solusi praktis dengan mengadopsi berbagai praktik yang sudah berjalan di beberapa negara.
Untuk alasan efisiensi dan kepraktisan pemantauan kualitas pelayanan VTS, Indonesia dapat mencontoh Australia. Dengan Pemerintah hanya berperan sebagai penilai, fungsi VTS akan didelegasikan kepada entitas yang dianggap mampu menjalankannya. Pasal 28 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 tahun 2011 tentang Telekomunikasi Pelayaran sebenarnya sudah mewadahi kebutuhan ini. Akan tetapi, kelihatannya hal ini tidak menarik dari segi benefit, sehingga tidak ada pihak swasta yang melirik bisnis ini.
VTS Indonesia yang hampir selalu diposisikan sebagai INS membuat sulit untuk menarik Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dibandingkan layanan lainnya, INS adalah layanan paling dasar (Lundh, Costa, dan MacKinnon 2018). Pada banyak situasi, pelayanan ini sulit dilakukan karena terkendala SDM yang sulit memenuhi jadwal selama 7 hari, 24 jam. Adapun jika PNBP terus-menerus diberlakukan, tapi layanan tidak ada, tentunya hal itu tidak adil karena kaidah layanan adalah: “no service, no pay”. Pungutan pembayaran tanpa ada pelayanan justru dipertanyakan dari segi legalitasnya.
ADVERTISEMENT
Satu-satunya solusi yang mungkin dapat diterapkan saat ini adalah dengan menunjuk pihak fasilitator pelabuhan sebagai pelaksana peran VTS. Saat ini, fasilitator di banyak pelabuhan dijalankan oleh PT Pelindo (Persero). Hal ini cocok untuk diterapkan mengingat bahwa semua kapal pasti menghubunginya untuk mendapatkan pelayanan jasa pemanduan kapal. Integrasi layanan VTS ke dalam Pelindo juga tidak sulit karena Pelindo sudah memiliki SDM yang lebih baik dalam hal jumlah dan kualitas dibandingkan Disnav. Malahan, di beberapa Cabang, Pelindo telah memiliki peralatan yang sama canggihnya dengan VTS.
Dengan pemindahan peran teknis VTS ke Pelindo, kapal-kapal tidak perlu bingung karena peran jasa pemanduan, jasa kepelabuhanan, dan jasa VTS digabungkan sekaligus. Hal ini efisien bagi pengguna jasa yang tidak perlu repot harus pergi ke banyak tempat untuk mengurus administrasi. Dan yang terpenting, pemberian layanan sekaligus oleh satu entitas yang sama diharapkan memberikan tarif yang lebih memadai dalam kaitannya dengan jasa yang diterima oleh pengguna jasa.
ADVERTISEMENT
Ide opsi peleburan peran VTS ke dalam Pelindo bukan artinya meniadakan Disnav. Justru, Disnav bisa fokus untuk meningkatkan SDM yang ada tanpa harus dipusingkan oleh besarnya biaya investasi SDM. Terlebih, Disnav nanti hanya perlu fokus ke masalah evaluasi peran VTS dan perencanaan arah kebijakan VTS saja. Tidak perlu turun ke hal-hal teknis seperti yang saat ini dilakukan.