Resensi Buku : Tanah Berdarah Di Bumi Merdeka

Renda Atamevia
Mahasiswa pendidikan universitas negeri jember
Konten dari Pengguna
6 Juni 2023 16:15 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renda Atamevia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora
ELSAM : Tanah Berdarah Di Bumi Merdeka Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Menelusuri Luka-Luka Sejarah 1965-1966 di Blora
ADVERTISEMENT
Penulis : Dalhar Muhammadun
Tahun Terbit : 2004
Penerbit : Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA), Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW), Perkumpulan ELSAM
Halaman Buku : 127 Halaman
ISBN : 979-98433-0-8
Blora merupakan wilayah yang terdiri dari hamparan hutan jati berkualitas tinggi dan tanah kering, tandus serta berkapur. Hanya tersedia sedikit lahan pertanian subur yaitu di wilayah Blora Selatan di sekitar sungai Bengawan Solo, meliputi Kecamatan Kedungtuban, Menden (Kradenan), dan Randublatung. Potensi hutan yang melimpah, mestinya bisa dijadikan komoditas pengganti bagi mayoritas penduduknya yang berpencaharian petani. Tetapi itu tidak pernah terjadi. Hasil hutan hanya dimanfaatkan oleh VOC dan Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan masyarakat Blora sendiri tetap miskin.
ADVERTISEMENT
Penderitaan masyarakat Blora semakin bertambah ketika pemenuhan kepentingan ekonomi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menuntut adanya jalur transportasi baru, yaitu jalur kereta api untuk mengangkut hasil pertanian dan hasil hutan. Tahun 1891 dibangun jalur kereta api Wirosari-Blora dan tahun 1896 dibangun jalur Rembang-Blora. Kota kecil Wirosari dan Rembang inilah pintu masuk menuju Semarang. Selain untuk pemenuhan kepentingan ekonomi Belanda, jalur baru ini juga untuk mengatasi daerah terisolir dan daerah bergolak. Pembangunan jalur kereta api ini membutuhkan banyak tenaga kerja murah dan sekali lagi rakyat Blora yang harus menanggungnya.
Naya Gimbal, perlawanan pertama Belanda yang tercatat dalam sejarah Blora adalah apa yang dilakukan naya gimbal. Sekalipun belum ada data pasti tentang kraman naya gimbal, tetapi Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo berani memperkirakan bahwa Naya Gimbal merupakan prajurit rakyat di bawah pimpinan Raden Tumenggung Aryo Sosrodilogo. Tokoh ini adalah pemimpin perlawanan rakyat Rembang yang berlangsung sejak 28 November 1827 dan berakhir 7 Maret 1828. Api perlawanan yang dikobarkan naya gimbal berupa penyerangan terhadap desa-desa di wilayah Blora yang dianggap berpihak pada Belanda. Perlawanan ini disebabkan perasaan tertekan dan kemiskinan serta tuntutan berbagai kerja wajib yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda.
ADVERTISEMENT
Geger Munggur, memasuki abad ke-20 tercatat sebuah peristiwa di wilayah Kawedanan Ngawen, yaitu terbunuhnya Wedana Ngawen dalam peristiwa Geger Munggur tahun 1916. Penyebab terbunuhnya wedana ngawen adalah kemarahan masyarakat Punggursugih akibat adanya cikar yang keluar masuk desa Punggursugih. Cikar itu biasa digunakan mengangkut kapuk dari dan ke gudang kapuk yang ada di dalam desa. Wedana Ngawen mengirim seorang opas tetapi tidak digubris penduduk sehingga Wedana Ngawen marah dan berusaha menangkap para pembangkang. Dalam peristiwa Geger Munggur ini, Mardjoeki (Ketua SI) dan beberapa anggotanya; Pasripin, Suradjan, Marto Mbako, Ikhsan, dan lainnya, berhasil ditangkap Kompeni Belanda.
Perusahaan minyak cepu setelah Jepang takluk kepada Sekutu ,pengalihan kekuasaan atas perusahaan minyak cepu dari tangan Jepang kepada pimpinan buruh setempat tidak menimbulkan banyak masalah. Pihak buruh diwakili Soekiban, tokoh laskar minyak yang kelak pada tahun 1948 berpihak kepada PKI. Sebagai tindak lanjut dari apa yang disebut Proklamasi Negara Soviet di Madiun, pada 18 September 1948, FDR/PKI melakukan perebutan kekuasaan atas wilayah karesidenan Semarang dan dilanjutkan dengan daerah Karesidenan Pati. Pada 24 September 1948, Kudus dikuasai FDR/ PKI. Pati dikuasai tanggal 25 September 1948 dan menyusul untuk kota-kota Blora, Rembang, Randublatung, Purwodadi, dan Cepu.
ADVERTISEMENT
Konflik politik bersenjata tahun 1948 di Kabupaten Blora, sekalipun tidak memakan waktu panjang, cukup banyak menimbulkan korban. tercatat 22 orang tewas di tangan tentara pro-PKI, selama terjadi Peristiwa 1948 di wilayah Kabupaten Blora (tidak menutup kemungkinan adanya korban lain yang tidak tercatat). Korban lain adalah korban penangkapan terhadap kurang lebih 368 orang dari berbagai wilayah di Kabupaten Blora. Korban penangkapan tersebut terdiri dari aparat pemerintah (Polisi, Kepala Pengadilan, dll.), tokoh-tokoh partai politik terutama PNI dan Masyumi, dan tokoh-tokoh lain yang berseberangan dengan haluan PKI. Ratusan tahanan yang berhasil ditahan PKI, dikumpulkan di Markas Pesindo di muka pasar Blora (saat ini asrama Polisi Perintis) dengan mendapatkan siksaan yang tidak manusiawi.
Dampak G-30 S di Blora
ADVERTISEMENT
Mengenai kerusuhan di Blora tanggal 10 November 1965, pada malam sebelumnya juga sudah beredar isu tentang rencana perusakan dan pembakaran. Tanggal 11 November 1965, kerusuhan sudah meluas ke wilayah Kecamatan Tunjungan (sebelah barat Kecamatan Blora kota). Sasaran pertama adalah rumah Patmo (simpatisan PKI) di desa Tutup, Kecamatan Tunjungan. Rumah yang terletak di pinggir jalan tersebut, dirusak dan barang-barangnya dikeluarkan. Hari berikutnya perusakan menimpa rumah dan toko Nyah Jhoe, seorang Tionghoa anggota Baperki, menyusul rumah Prapto (simpatisan PKI). Kedua rumah itu juga terletak di desa Tutup, Kecamatan Tunjungan. Perusakan lebih parah lagi menimpa rumah Chum Bie (anggota Baperki) di desa Blingi, Sukorejo, Tunjungan. Rumah dan toko tersebut habis dibakar. Pembakaran juga menimpa rumah Kardi,guru desa Burak, Kecamatan Ngawen. perusakan atau pembakaran juga terjadi di Kecamatan Jepon, Cepu, Randublatung, Todanan dan daerah lain.
ADVERTISEMENT
Pembentukan wadah baru, dibentuklah kesatuan keamanan yang bernama Hanra (Pertahanan Rakyat) Garuda Pancasila atau yang lebih dikenal dengan Hanra Garuda Pancasila. Pembentukan ini merupakan inisiatif tokoh-tokoh organisasi politik dan organisasi masyarakat untuk menangani situasi di blora yang semakin memanas.
Peran pasukan hanra garuda pancasila meliputi pelantikan dan kie kecamatan se-kabupaten Blora oleh dan yon dan panca tunggal (muspida), memberikan informasi kepada TNI tentang tokoh-tokoh PKI yang bersembunyi, membantu pelaksanaan operasi pembersihan sisa-sisa Gerakan 30 September, turut membantu Kodim 0721 untuk mengadakan pengejaran clan pelacakan anggota/ simpatisan PKI, membentuk Kiwal (Kompi Pengawal) bupati kepala daerah tingkat II Blora, dan menjaga para tahanan politik anggota PKI.
Hansip Bamunas adalah satu kesatuan pertahanan sipil yang dibentuk oleh sebuah organisasi para pengusaha swasta di Blora yang bernama Bamunas. Terdapat beberapa versi yang menjelaskan tentang kepanjangan Bamunas. Pertama, Badan Musyawarah Nasional, kedua, Badan Musyawarah Pengusaha Swasta Nasional, dan ketiga, Badan Musyawarah Pengusaha Nasional Swasta. Dengan wadah-wadah inilah kemudian masyarakat, terutama melalui hansip bamunas dan hanra garuda pancasila, berperan aktif dalam melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap anggota dan simpatisan PKI, termasuk para underbouwnya.
ADVERTISEMENT
Pembunuhan atau eksekusi terhadap anggota clan simpatisan PKI di Kabupaten Blora dimulai pada sekitar awal bulan November 1965. 11 November 1965 istilah 'di-bon ', yaitu istilah yang di kalangan tahanan dipahami sebagai pengambilan orang-orang dari dalam tahanan untuk dibawa ke tempat eksekusi. Istilah lain yang juga sering digunakan adalah dipindah Sebagian besar tahanan yang dipindahkan langsung dibawa ke tempat eksekusi. Alat yang digunakan untuk eksekusi dengan menggunakan belati. Cara melakukan eksekusi yaitu dengan menusukkan belati tepat di tenggorokan para korban. Selain itu juga pernah dilakukan eksekusi penembakan dengan menempelkan loop senjata jenis Garrand yang dipegangnya, tepat di belakang kepala korban sehingga isi kepala korban berceceran.
Anggota dan simpatisan PKI yang ditangkap di wilayah Kabupaten Blora dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu golongan A, B, clan C. Golongan A dieksekusi atau dibunuh langsung di sekitar Blora, Golongan B dikirim ke Nusakambangan atau Pulau Burn, dan Golongan C ditahan di Blora sampai akhir masa penahanan Dalam kasus lokal Blora.
ADVERTISEMENT
Benang merah antara proses penumpasan PKI dengan gerakan depolitisasi yang dimotori militer dan keterlibatan kelompok berkepentingan ekonomi pengorganisasian Hansip Bamunas. Sebagai tangan panjang dari para pengusaha yang tergabung dalam Bamunas, Kompi Hansip Bamunas menjadi kelompok yang paling terorganisir clan efektif dalam penumpasan PKI. Keterlibatan kelompok agama, veteran dan eksprajurit dalam kesatuan ini, pasca 30 September 1965, merupakan permasalahan lain karena anggota baru tersebut tetap clalam komando para pembina Hansip Bamunas dan militer.
Kekurangan Buku
Dalam buku ini kepanjangan dari kata-kata singkatan tidak dijelaskan pada saat singkatan tersebut di tulis, melainkan kepanjangan dari singkatan tersebut ditulis di bagian akhir, hal ini sangat menyulitkan pembaca, apabila pembaca tidak membacanya sampai akhir halaman buku.
ADVERTISEMENT
Kelebihan Buku
Selain ditulis berdasarkan refrensi buku, buku ini juga ditulis berdasarkan wawancara dari tokoh-tokoh yang ada dalam kejadian yang di jelaskan di buku, hal ini membuat isi dari buku tersebut merespresentatifkan kejadian dengan mirip seperti aslinya, di dalam buku ini juga terdapat lampiranlampiran gambar yang dapat membantu imajinasi pembaca tentang kejadian yang diceritakan.