Konten dari Pengguna

Saat Kesedihan Dijadikan Tren

Rendi
Mahasiswa aktif Komunikasi Penyiaran Islam UIN Prof Saifuddin Zuhri Purwokerto. Hobi bermusik dan terkadang juga suka menulis, tapi lebih ingin dikenal sebagai musisi.
26 April 2025 16:40 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rendi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
Hari ini, kita hidup di tengah dunia yang semakin fasih berbicara soal kesehatan mental. Tapi entah sejak kapan, pembicaraan itu terasa semakin kosong. Bukan karena topiknya tidak penting, melainkan karena cara kita membawanya kian menjauh dari makna.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, kesedihan telah berubah menjadi konten. Tangisan diabadikan dalam bingkai kamera, cerita luka dikemas layaknya puisi, dan trauma dipoles menjadi tren. Apa yang dulu dianggap ruang sunyi untuk proses penyembuhan, kini menjadi panggung pertunjukan yang menuntut sorak penonton. Kita menyaksikan rasa sakit bukan sebagai pengalaman yang perlu dirawat, tetapi sebagai tontonan yang harus dinikmati.
Banyak yang menyebut ini sebagai cara untuk membuka diri. Katanya, semua orang berhak didengar, dan tak ada salahnya membagikan beban. Tapi masalahnya, kita semakin sulit membedakan antara ekspresi yang jujur dan performa yang dirancang. Saat algoritma lebih menghargai air mata yang viral daripada proses sunyi menuju pulih, kita tanpa sadar mulai memalsukan luka, atau setidaknya, menampilkannya dengan cara yang paling dramatis agar lebih layak ditonton.
ADVERTISEMENT
Kita menyebut ini sebagai keberanian. Padahal kadang, ini hanyalah bentuk lain dari ketergantungan pada validasi eksternal. Bukannya bertumbuh, kita justru tersesat di dalam siklus eksposur yang membuat luka tampak berharga hanya saat ditampilkan ke publik.
Lebih dari itu, kita menciptakan lingkungan yang secara tidak sadar menekan orang untuk tetap terlihat rapuh. Karena ketika kesembuhan tak lagi dipuji, dan hanya penderitaan yang diberi panggung, maka sembuh bisa terasa seperti kehilangan perhatian. Akhirnya, bukan hanya rasa sakit yang menjadi dangkal, tapi empati kita pun ikut menipis.
Kita tak lagi hadir untuk benar-benar mendengar. Kita hanya scroll, like, mungkin tinggalkan komentar pendek, lalu lanjut ke luka berikutnya. Di tengah banjir konten tentang “healing” dan “self-love”, kita melupakan hal paling penting dalam penyembuhan: kejujuran terhadap diri sendiri, dan proses yang sering kali tidak layak tayang.
ADVERTISEMENT
Jika setiap luka adalah peluang untuk viral, dan setiap trauma adalah peluang bisnis, maka barangkali kita memang sedang mengalami krisis yang lebih dalam. Bukan hanya krisis mental, tapi krisis nilai. Kita sakit, bukan hanya karena tekanan hidup, tapi karena terlalu sering membandingkan penderitaan. Kita lupa bahwa yang paling menyakitkan dari luka bukan ketika tidak ada yang melihat, tapi ketika semua orang menonton, dan tidak satu pun benar-benar peduli.