Apakah Salah Jika “Indonesia” ngidam Nobel ?

rendi95 lustanto
Pecinta Kopi dan Part time student Philosophy Program UI. Ngebet Part time Schoolar at LSE
Konten dari Pengguna
8 Mei 2017 21:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rendi95 lustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bulan oktober setiap tahun nya menjadi bulan yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Dunia. Seantero dunia mulai dari mereka yang bermukin di kutub utara maupun di kutub selatan, ataupun yang bermukim di kolong kosan dipinggiran metropolitan sampai para pekerja yang sibuk dengan hiruk pikuk wall street. Mereka semua menunggu pengumuman penghargaan Nobel. Yah semacam penghargaan yang sangat bergengsi ditujukan kepada orang orang yang memiliki dedikasi tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang-orang hebat dari Asia yang memiliki dedikasi tinggi di bidang pengetahuan dan di bidang kemanusiaan berhasil mendapat penghargaan ini, misal Aung San Syu Kyi tokoh perempuan Myanmar yang berjuang dibidang HAM dan demokrasi dengan tujuan meruntuhkan hegemoni Junta militer yang bertindak sewenang-wenang, hal ini yang mengantarkan sosok perempuan hebat dan tangguh ini mendapat penghargaan Nobel dibidang perdamaian. Kemudian dari India terdapat Amartya Sen peraih Nobel di bidang Ekonomi, serta baru-baru ini Biolog dari jepang yang menggondol nobel di bidang kedokteran. Hal ini sebenarnya sebagai jawaban atas keraguan dan mindsite inferior syndrome yang diidap oleh bangsa eks kolonial. Kita tidak bisa menyangkal dan berlaku naif ketika kolonialism dan imperalism benar-benar memiliki dampak yang sangat besar dan begitu berpengaruh kedalam pola pikir kita, tanpa disadari hal ini sudah menjalar dan mengakar kedalam setiap jengkal pemikiran kita sebagai bangsa yang pernah terjajah.
ADVERTISEMENT
Meminjam konsep Discourse yang dicetuskan oleh filsuf France, Michael Foucault. Bahwa tanpa disadari bahwa suatu diskursus yang sudah menempel dalam diri kita, dan merasuk tanpa kita ketahui secara mendalam dan itu diinternalisasi oleh lingkungan dimana kita hidup. Diskursus perasaan inferior yang disebabkan oleh perlakuan sebagai penduduk kelas dua selama berabad-abad kepada masyarakat Asia, Khususnya sebagian besar Asia tenggara menyebabkan pola pikir inferior menguasai kolam-kolam pemikiran kita, menumpulkan keberanian kita sebagai individu yang bebas dan merdeka serta setara dengan individu lain.
Namun apakah salah jika Indonesia ngidam Nobel ?
Itu mungkin hanya cletukan salah seorang mahasiswa yang sedang nge-camp disudut kelas filsafat UI Depok. Memang ini sebuah pertanyaan yang sulit untuk dijawab dan terjawab. Bagaimana pun membangun sebuah atmosphere dan etos penelitian maupun pengabdian agar melahirkan para peraih nobel bukan hal yang mudah. ini bukan masalah keterbatasan dana atau keterbatasan fasilitas, bukan !!!!! ini adalah masalah mentalitas, masyarakat kita cenderung menghindari proses yang berat untuk mencapai posisi yang mereka inginkan, mereka lebih suka menggunakan cara cara yang instan untuk mendapatkan hal hal yang mereka inginkan, hal ini merupakan salah satu contoh dimana kita bisa melihat bahwa memang bangsa ini masih lama akan terus ngidam “nobel”, karena belum kesampaian.
ADVERTISEMENT
Nobel lahir dari Rahim pendidikan, apakah universitas kita sebagai Rahim Rahim yang melahirkan calon intelektual dan ilmuwan sudah menjadi Ibu yang baik. Saat ini universitas kita sedang mandul untuk menghasilkan pikiran pikiran yang segar dan terbuka terhadap ilmu pengetahuan, universitas kita sedang kecanduan akan imaginasi surga, dan hal itu menumpulkan gairah dan libido untuk menggali imu pengetahuan. Universitas kita sudah kehilangan khitah nya sebagai miniatur Academia yang seharusnya sebagai entitas Reproduksi Pengetahuan, karena universitas adalah Ibu dari pemikir dan ilmuwan. Tak hanya itu, Sekarang Mahasiswa kita lebih suka menggelar acara acara talk show untuk memuaskan hasrat akan imaginasi surga, daripada memikirkan perdebatan problem keadilan penduduk kota. Kampus Kampus kita gagap akan perbincangan pemikiran, seolah-olah itu biang keonaran negara, lantas apakah ini hasil dari reformasi kepada iklim pendidikan kita, pendidikan kita belum mengalami reformasi, karena masih terjebak dalam Euphoria Orba, kampus bukan rumah pemikir dan berfikir tapi sekarang kampus merupakan rumah mahasiswa calon pekerja, kampus sebagai peternakan penyokong tenaga kerja murah sebagai bantalan kapitalism.
ADVERTISEMENT
Kita membutuhkan refleksi panjang untuk sampai pada kesimpulan bahwa nobel akan mampir ke negara kita, harga yang harus dibayar sangat mahal dan tidak ternilai, bukan karena kita defisit anggaran namun karena kita sedang defisit akan kesungguhan, kita surplus kebohongan dan kedunguan. Sampai kapan kita Ngidam mendapatkan “Nobel”. Mungkin jawabannya sederhana, Kapan-kapan ! sampai semua elemen bangsa ini siap dan layak untuk dihadiahi Nobel.