Merindukan Pemimpin yang Lahir dari Rahim Rakyat

rendi95 lustanto
Pecinta Kopi dan Part time student Philosophy Program UI. Ngebet Part time Schoolar at LSE
Konten dari Pengguna
10 Mei 2017 2:03 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rendi95 lustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampanye Pemilu 1955 (Foto: Wikimedia Commons)
Negeri ini akan menyambut pesta demokrasi jilid II setelah berfoya-foya dengan anggaran negara untuk perhelatan Pilkada 2015. Tahun 2017 pun sudah bersorak-sorai menyambut tangisan suka maupun duka. Pilkada serentak dilakukan di 269 daerah baik tingkat satu maupun tingkat dua. Tahta raja kecil diperebutkan dengan mengerahkan berbagai upaya, melalui tunggangan partai politik maupun melalui jalur independen.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan berlangsungnya hiruk-pikuk pelaksanaan pilkada, negeri ini dihebohkan oleh perang urat syaraf menuju untuk mendapatkan kursi kepala daerah. Bahkan, beberapa petinggi partai menggunakan senjata SARA untuk menjegal lawan politik mereka di arena pertarungan akbar tersebut. Agama dan tempat ibada digunakan sebagai jalan untuk menarik simpatisan konstituen. Jjika pemilih semakin cerdas, hal ini akan menjadi bumerang bagi partai-partai politik yang menggunakan kendaraan isu SARA sebagai isu utama yang mereka dengungkan untuk menumbangkan lawan politik yang dianggap memiliki elektabilitas yang kuat.
Jika memang itu terjadi, apakah kepercayaan politik (political trust) warga negara akan menurun akibat kejenuhan masyarakat indonesia dengan theater elite politik di negeri ini, baik tingkat nasional maupun tingkat daerah? Kepercayaan terhadap institusi peternakan politik yang saat ini dianggap gagal melahirkan elite penguasa, hal ini merupakan salah satu sinyal positif akan adanya perubahan besar dalam peta perpolitikan di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Masyarakat merindukan elite politik atau pemimpin baru yang lahir dari rahim masyarakat, lahir di tengah-tengah kejenuhan rakyat akan pemimpin yang berasal dari institusi peternakan politik (partai politik).Pemimpin alternatif ini mungkin dapat lebih memahami apa yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini ketika partai politik dianggap belum bisa menyuarakan kepentingan rakyat karena lebih mementingkan kepentingan partai itu sendiri.
Momen pilkada serentak seharusnya dapat dijadikan arena untuk menghasilkan pemimpin baru yang lahir dari rahim masyrakat. Hal ini untuk menjawab kekecewaan masyarakat terhadap institusi partai politik. Namun, sanggupkah masyarakat melahirkan pemimpin yang mereka dambakan? Karena kita semua tahu bahwa ongkos politik di negeri ini tidak semurah harga tomat di pasaran. Dibutuhkan manuver politik yang jitu jika ingin melahirkan pemimpin alternatif baru.
ADVERTISEMENT
Pemimpin yang lahir dari rahim rakyat harus memiliki nilai jual yang lebih dan menawarkan terobosan baru untuk mengatasi masalah yang ada. Pemimpin baru ini harus mampu membangun jaringan politik yang merangkul aneka ragam segmen dalam masyarakat. Jika modal sosial itu sudah dapat direngkuh dengan kuat, maka akumulasi dari modal sosial yang diperoleh dapat mendorong individu untuk bertindak bersama demi mencapai tujuan bersama. Tanpa modal sosial, pencapaian tujuan itu sangat sulit, karena untuk mendobrak tembok penghalang yang berupa hegemoni institusi peternakan politik yang sudah mengakar dibutuhkan formula yang ampuh.
Apakah masyarakat masih percaya dengan Institusi Partai Politik? Pertanyaan yang akan terjawab kelak nanti, dan akan terlihat ketika genderang perang sudah ditabuhkan. Sebenarnya, harus ada survei yang bertujuan untuk mengukur tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik. Namun kita tahu, dalam masyarakat sering terjadi anomali-anomali yang tak terprediksi, namun setidaknya kita sebagai masyarakat luas dapat mengetahui persepsi masyarakat indonesia terhadap partai politik.
ADVERTISEMENT
Ketika memang dalam kenyataannya kepercayaan publik terhadap partai politik sudah tereduksi, berarti kita sebagai masyarakat yang bertindak sebagai civil society berhak bertanya, apakah ada yang salah dengan sistem demokrasi di negeri ini? Mungkin kita membutuhkan cermin untuk melihat apa yang salah dengan demokrasi kita jika memang itu terjadi (masyarakat yang sudah tidak percaya akan adanya partai politik).
Melalui pilkada serentak ini, setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran awal berupa jumplah partisipasi masyarakat dalam pesat demokrasi kali ini, Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar pemetaan awal menuju 2019 yang penuh kejutan dan misteri. Anggap saja 2017 adalah testing water menuju 2019, Mungkin itu yang ada didalam pikiran para elite politik negeri ini.
ADVERTISEMENT
Ya, semoga demokrasi tetap menjadi pintu masuk yang elegan menuju kekuasaan. Kemudian, lewat pilkada serentak mendatang dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin baru yang lahir dari rahim rakyat, sehingga mereka yang terpilih merupakan representasi dari suara rakyat bukan merupakan suara kepentingan dari kelompok atau golongan tertentu, karena rakyat sudah terlalu bosan dengan drama-drama elite politik yang cenderung memperjuangkan kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan kelompoknya. Rakyat merindukan sosok pemimpin dari rakyat, untuk membela kepentingan rakyat, dan didambakan oleh rakyat.