Konten dari Pengguna

Risma dan Bayangan Kekar Nahdathul Ulama di Jawa Timur

rendi95 lustanto
Pecinta Kopi dan Part time student Philosophy Program UI. Ngebet Part time Schoolar at LSE
12 Juni 2017 4:14 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari rendi95 lustanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Risma dan Bayangan Kekar Nahdathul Ulama di Jawa Timur
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kemarin, salah satu lembaga survey merilis calon kandidat gubenur jawa timur yang berpotensial diantara nama tersebut, terdapat 4 orang mega bintang yang perlu disoroti, sang flamboyan Gus Ipul (Syaefullah Yusuf) yang masih menduduki sebagai wagub Jawa Timur saat ini, kemudian Ibunya wong Suroboyo, Tri Risma Harini, serta Khofifah Indarparawansah sang srikandi yang tak pernah letih, terakir ada sang Bupati penuh segudang prestasi, Azwar Anas (Bupati Banyuwangi). Jika dipikir-pikir, Bu risma sangat berbeda dari ketiga calon yang lain, Bu Risma berasal dari golongan masyarakat biasa, sedangkan ketiga kandidat lain sangat kental dengan nuansa kader NU yang jempolan. Nah ini menjadi tantangan tersendiri jika memang, Bu Risma benar-benar akan dicalonkan sebagai Srikandi di medan perang nanti.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya skenario apa yang sedang dipersiapkan oleh Bu Mega ? ingat Bu Mega selalu memberikan wejangan bahwa para kader PDIP merupakan petugas partai (Ingat baik baik, hanya petugas Partai !!!!) yang harus siap sedia mengemban amanah dan tugas yang diberikan oleh partai. artinya terdapat kemungkinan yang sangat besar bagi Bu Risma untuk dijadikan srikandi dengan senjata saktinya diturunkan di medan perang selain Jakarta, guna menguatkan barisan konstituen PDIP di Indonesia, terlebih Bu Risma merupakan salah satu figur pemimpin baru harapan masyarakat yang dihasilkan oleh partai ini, masyarakat menaruh harapan yang tinggi untuk sosok perempuan pemimpin kota pahlawan ini. mari kita terka skenario apa yang sedang disiapkan oleh Bu Mega untuk para petugas partainya termasuk Bu Risma.
ADVERTISEMENT
Kawah candradimuka perpolitikan Indonesia setelah Jakarta adalah Jawa timur, wilayah di ujung timur pulau jawa ini memiliki historis yang khas dan sangat panas dalam urusan percaturan politik nusantara. Masih ingat pertumpahan darah dan cerita kelam perebutan kekuasaan dinasti Ken Arok dan Tumepel dalam khasanah babad tanah Jawa atau Trah Raja Airlangga sang penguasa ujung timur pulau jawa dengan segala peninggalan nya, bahkan kisah Raja Brawijaya yang terpaksa Moksa jauh dari istana karena menghindari munculnya matahari kembar ditanah Jawa, walaupun harus berhadapan dengan putranya Raden Patah. Gambaran ini menjadi geneologi perebutan kekuasaan diujung timur pulau jawa, kisah kisah ini menjadi monumen peringatan sekaligus ingatan kepada rakyat bahwa Tanah di ujung Pulau jawa merupakan arena pertarungan politik yang kuat di masa keemasanya. Apakah bu risma dipersiapkan menjadi titisan kanjeng Ratu Tribuana Tungga dewi untuk memimpin kawasan ini ? sebuah pertanyaan yang menarik untuk kita telusuri.
ADVERTISEMENT
Jika memang benar, Hal ini kan menjadi suatu skenario politik yang menarik untuk kita plototi. Pertama kita harus melihat bahwa jawa timur merupakan salah satu daerah lumbung suara nasional primadona partai politik, jumplah DPT Pilpres di Jatim sekitar 30.639.900 (data KPUD Jatim pada saat Pemilihan Presiden 2014) angka ini termasuk menjadi penentu kelak dalam pertarungan politik 2019. Jika PDIP mampu meraih kemenangan di daerah ini, hal ini akan memperkuat akar kekuasaan partai ini ditingkat nasional maupun daerah. Dengan melihat hasil survei yang menunjukan bahwa elektabilitas dari Bu risma sangat baik, ini menjadi keuntungan PDIP jika ingin mengerahkan kader terbaiknya untuk turun di wilayah percaturan politik klasik negri ini. namun nampaknya jika Partai yang dikomandoi oleh Megawati, Berambisi untuk menguasai wilayah ini, mesin politik dari partai ini harus berkerja keras untuk mereduksi pengaruh politik kiayi yang berkolaborasi dengan para santri.
ADVERTISEMENT
Kuatnya pengaruh Nahdathul Ulama menjadi Tantangan bagi calon yang tidak terafiliasi dengan ormas ini.
Saya mengandaikan jika bu risma maju menuju kursi Jawa timur satu sebagai kandidat yang sama sekali tidak terafiliasi dengan kekuatan ormas terbesar di jawa timur, hal ini akan sangat menarik, kita akan disuguhi pertarungan politik dimana akan terlihat racikan-racikan strategi kreatif untuk melawan strategi konvensional yang selama ini dianggap berhasil. Kita tahu dua edisi pemilukada yang sebelumnya sukses mengantarkan pasangan Soekarwo-Saefullah Yusuf, walaupun sempat mendapatkan pertarungan sengit dari Khofifah Indar Parawansyah. Namun kita semua tahu baik ibu khofifah maupun saefullah yusuf (red: Gus ipul) sama –sama memiliki pengaruh yang kuat dikalangan ulama jawa timur karena mereka berdua sama-sama terafiliasi dengan NU dan memiliki pengaruh yang kuat ditingkat akar rumput organisasi ini.
ADVERTISEMENT
Rekam jejak demokrasi di Jawa timur tidak bisa disamakan dengan DKI jakarta. Peran para kiayi di wilayah ini seakan-akan menjadi Buzzer konvensional paling ampuh untuk turut serta memberikan pengaruh yang dahyat pada kondisi psikologi politik masyarakat jawa timur yang sangat dekat dengan NU, berbeda dengan DKI Jakarta yang lebih efektif menggunakan Buzzer kekinian dengan segala manuver mereka di dunia maya. Namun bukan berarti celah mengguakan buzzer kekinian tertutup kemungkinannya, kita harus melihat jumplah pemilih muda yang melek teknologi di jawa timur untuk mencoba jalan yang satu ini. Saya pribadi sebagai diaspora wong cilik asal jawa timur yang hijrah ke Ibu kota, menginginkan pertarungan yang sehat dan bisa menjadi pembelajaran politik bagi generasi muda jawa timur. Jika Bu Risma maju tanpa terafilisiasi dengan NU kita akan melihat sebuah pertarungan di arena tempur dengan lakon “Sri Kandi Meruntuhkan Hegemoni kiayi”, sekaligus dapat dijadikan sebagai upaya mencatat sejarah baru mengenai peta perpolitikan jawa timur yang bercorak Traditional political system of religius.
ADVERTISEMENT
Jika kita tilik, umumnya calon calon yang berasal dari ormas NU memiliki afiliasi dengan para elite kiayi dari tubuh organisasi ini, uniknya jika mereka memang berlatarbelakang dari keluarga santri, terdapat pre-asumsi bahwa akan menjadi pelumas bagi pasangan calon, hal ini dikarenakan sosok tersebut biasanya dianggap memiliki kharisma dan daya tarik tersendiri dikalangan santri. Jawa timur sebagai gudangnya santri terlebih kekuatan NU ini menyebar ke segala penjuru jawa timur dari ujung barat sampai ujung timur provinsi ini merupakan basis lumbung suara yang tidak bisa dianggap remeh. Namun bukan berarti jika Bu risma maju tanpa terafiliasi dengan kekuatan ormas ini akan menjadi titik lemahnya. Hal ini justru yang menjadikan pemilu jawa timur berbeda dari DKI yang diisi oleh mega bintang dengan punggawa elite politik negri ini. jawa timur menawarkan suatu hal yang baru, ketika panggung demokrasi digelar ujung timur pulau jawa, kekuatan kosensus yang diusung oleh para kiayi melawan golongan rakyat biasa tanpa embel-embel trah kiayi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya fenomena panggung politik jawa timur yang tidak bisa kita lepaskan dari pengaruh arus utama ormas ini. ormas ini bahkan memiliki jaringan urat syaraf yang lahir membentuk identitas baru, hasil perkawinan antara symbol symbol elitisme keagamaan dan feodalisme jawa menjadikan organisasi ini sebagai kekuatan kokoh menjadi penyedap racikan demokrasi Jawa timur. Jika menggunakan pendekatan konstruksionis hal ini dapat terlihat dari terbentuknya identitas keluarga kiayi yang mengisi elite elite ormas NU dikonstruksi secara sosial, dengan kata lain, definisi kelompok dan identifikasi batas batasnya kerap kali dinegosiasikan dan direnegosiasikan, dan bagaimana batas batas ini diredifinisikan akan bergantung pada situasi dan lingkungan spesifik yang dijadapi oleh kelompok tersebut (dalam hal ini NU). Namun jika analisa menggunakan sudut pandang yang lebih radikal, dengan menggunakan pendekatan instrumentalist lebih sinis dan lebih tajam dalam melihat fenomena perpolitikan jawa timur yang tidak bisa dilepaskan dari lingkaran elite kiayi. Pendekatan ini memandang bahwa terciptanya identitas adalah sebagai produk manipulasi simbol-simbol kebudayaan dan kekerabatan oleh para pelaku politik untuk mendapatkan keuntungan (Cohen, 1974). Jika kita menggunakan struktur yang dibangun dari pendekatan instrumentalis ini, cara yang dilakukan oleh para calon pemimpin Jawa timur yang berlatar belakang ormas ini memandang identitas mereka sebagai seorang “Gus” atau bagian dari keluarga Kiayi yang mempunyai pengaruh besar dalam ormas ini maupun di masyarakat, kemudian mereka menggunakan label yang mereka miliki untuk menjadi kendaraan politik yang ampuh guna meraup suara di daerah dengan basis NU yang kuat.
ADVERTISEMENT
Lantas pertanyaan nya, apakah benar akan benar-benar terjadi pementasan lakon “srikandi meruntuhkan hegemoni para kiyai” kita akan tunggu pagelaran nya di panggung pemilukada provinsi jawa timur, penulis sebagai salah satu diaspora wong cilik jawa timur merasa perlu untuk urun rembug, semoga lakon ini benar benar dipentaskan dalam panggung nanti.