Konten dari Pengguna

Pranata Mangsa Awal dari Peringatan Hari Krida Pertanian, Apakah Masih Relevan?

Reni Kartika
Mahasiswa Jurnalistik, Universitas Padjadjaran
25 Juni 2023 8:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Reni Kartika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi petani. Foto: Shutterstock (Sumber: kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi petani. Foto: Shutterstock (Sumber: kumparan.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari Krida Pertanian yang diperingati setiap tanggal 21 Juni merupakan perwujudan dari rasa syukur sekaligus untuk menghargai jasa dari para petani, pegawai, dan pengusaha yang bergerak di bidang pertanian.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2023 ini merupakan peringatan ke-51 Hari Krida Pertanian Nasional. Pranata Mangsa sebagai kalender yang dianut oleh petani Jawa digunakan dalam penentuan siklus waktu bertani.
Tapi di era globalisasi ini pemanasan global terjadi di mana-mana, menyebabkan cuaca menjadi tak dapat diprediksi lagi. Lantas apakah Pranata Mangsa masih dapat kita sebut relevan dalam perhitungan masa bertani? Sebelum itu mari kita ulas kembali bagaimana Pranata Mangsa ini membentuk Hari Krida Pertanian.

Awal Mula Hari Krida Pertanian Terbentuk dari Perhitungan Pranata Mangsa

Ilustrasi lahan pertanian. Foto: Dok. Kementan
Menurut KBBI arti dari kata krida/kri•da/ n 1 olah; perbuatan; tindakan; 2 olahraga. Pertama kali ditetapkan pada tahun 1972 berdasarkan faktor astronomis dan pembagian musim. Di Indonesia, tepatnya pada tanggal 21 Juni kondisi astronomisnya mengalami perubahan sehingga berdampak pada sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
Disebut sebagai masa panen raya, pada tanggal 21 Juni, Matahari berada dalam posisi di garis balik utara (23,5 Lintang Utara). Waktu tersebut dipercaya sebagai waktu di mana proses dari produksi tanaman berakhir dan akan dimulainya musim tanam yang baru.
Ilustrasi Perhitungan Pranata Mangsa (Sumber: warisanbudaya.kemdikbud.go.id)
Berdasarkan pembagian musim, terdapat kepercayaan yang dianut oleh petani Jawa yaitu siklus “Pranata Mangsa” yang membagi musim ke dalam empat musim (mangsa), yaitu: musim hujan (rendheng), pancaroba akhir musim hujan (mareng), musim kemarau (ketiga), dan musim pancaroba menjelang hujan (labuh).
Mengutip dari jurnal Fakultas Pertanian dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana, Pranata Mangsa juga mengenal siklus tahunan yang digunakan dalam perhitungan untuk waktu bertani. Terdapat 12 mangsa atau waktu dengan simbol berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Kedua belas mangsa itu di antaranya kasa (bintang sapi gumarah), karo (tagih), katelu (lumbung) dan lain sebagainya. Bertepatan pada tanggal 21 Juni, terdapat siklus “Mangsa Terang” yang diartikan sebagai kondisi di mana langit cerah dan berlangsung selama 82 hari.

Masihkah Relevan Perhitungan Tersebut?

Buruh tani menanam padi di area persawahan Tamarunang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis (16/6/2022). Foto: Arnas Padda/ANTARA FOTO
Pemanasan global yang terjadi secara masif di Indonesia sangat berpengaruh pada kondisi cuaca. Menurut laporan WMO dampak dari pemanasan global bumi tersebut di prediksi akan membuat pola curah hujan di Indonesia pada tahun 2023 meningkat di beberapa bagian daerah.
Akan tetapi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh letak geografis kondisi setiap wilayah di Indonesia, sehingga dampak dan efek juga dapat diterima secara berbeda.
Dengan demikian pastinya siklus waktu bertani juga akan sangat terpengaruh akibat dari pemanasan global ini. Lantas bagaimana menurutmu, apakah “Pranata Mangsa” masih dapat kita sebut relevan untuk perhitungan masa bertani?
ADVERTISEMENT