Konten dari Pengguna

Evaluasi Kebijakan Geothermal di Indonesia: Perspektif Vandana Shiva

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law. Public Interest Lawyer Assistant at Jakarta Legal Aid Institute.
15 Oktober 2024 17:02 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tanggal 2 Oktober 2024 kembali menjadi hari kelam bagi masyarakat adat di Pocoleok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pada hari itu, aparat keamanan yang terdiri dari TNI, Polri, dan Satpol PP, bersama PLN dan pemerintah daerah, melakukan tindakan paksa untuk survei pengembangan proyek Geothermal PLTP Ulumbu. Masyarakat adat yang secara tegas menolak proyek ini, dihadapkan pada situasi yang sangat merugikan, di mana prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) diabaikan. Tindakan brutal tersebut mencerminkan bagaimana proyek geothermal yang dipromosikan sebagai solusi untuk krisis iklim seringkali memicu pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Geothermal: Solusi Iklim Palsu?
Pengembangan energi geothermal di Indonesia sering dipandang sebagai solusi berkelanjutan untuk krisis iklim. Namun, Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan dan penulis, mengemukakan bahwa pengembangan ini justru dapat menjadi pemicu pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan yang lebih parah. Dalam pandangannya, energi terbarukan harus berorientasi pada keadilan sosial dan ekologi. Namun, kenyataannya, proyek-proyek geothermal sering kali lebih menguntungkan korporasi dan lembaga keuangan internasional ketimbang masyarakat lokal.
Proses eksplorasi dan eksploitasi geothermal melibatkan pengeboran yang dalam ke dalam tanah, yang dapat memicu bencana alam seperti gempa bumi, terutama di daerah rawan gempa seperti Pocoleok yang berada di zona "ring of fire." Aktivitas ini tidak hanya mengganggu kestabilan tanah, tetapi juga dapat menyebabkan pencemaran air bersih, yang sangat vital bagi masyarakat setempat. Kejadian di Sorik Marapi, di mana kebocoran gas H2S (Hydrogen Sulfide) menyebabkan kematian beberapa warga, menegaskan bahaya dari proyek geothermal yang tidak memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Krisis Air dan Ketidakadilan Sosial
Di banyak daerah, termasuk NTT yang rawan kekeringan, proyek geothermal justru memperparah krisis air. Meskipun dijanjikan sebagai solusi untuk mengatasi perubahan iklim, pengembangan ini berpotensi mengurangi pasokan air untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Hal ini bertentangan dengan prinsip keberlanjutan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam pengembangan energi terbarukan.
Secara ekonomi, pengembangan geothermal juga sering kali meminggirkan warga setempat. Sebagian besar tenaga kerja yang terlibat dalam proyek ini adalah tenaga ahli dari luar daerah, sehingga masyarakat lokal tidak mendapatkan manfaat yang sepadan. Selain itu, tanah adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat beralih fungsi menjadi area industri, yang berdampak negatif pada mata pencaharian mereka. Berdasarkan kajian terbaru oleh WALHI dan CELIOS, situasi ini semakin diperparah dengan ketidakjelasan komitmen pemerintah dalam memberikan dampak sosial yang positif bagi masyarakat sekitar proyek geothermal. Hal ini menimbulkan keraguan apakah proyek-proyek ini benar-benar berorientasi pada keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Masyarakat adat, yang terdampak atas pengembangan proyek geothermal, sering kali tidak mendapatkan kompensasi yang layak atas kehilangan tanah mereka. Bagi mereka, masyarakat di Pocoleok misalnya, tanah bukan sekadar aset ekonomi, tetapi juga bagian integral dari identitas dan spiritualitas mereka. Vandana Shiva menekankan bahwa hak-hak masyarakat adat harus dijadikan prioritas dalam setiap kebijakan pembangunan, termasuk dalam pengembangan energi terbarukan.
Keadilan Iklim dan Prinsip FPIC
Proyek geothermal yang didanai oleh lembaga keuangan internasional sering kali tidak sejalan dengan prinsip keadilan iklim yang mengedepankan hak masyarakat adat, keadilan gender, dan keberlanjutan sosial serta lingkungan. Dalam konteks ini, Vandana Shiva mendorong perlunya pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan dalam pengembangan energi. Ia berpendapat bahwa solusi iklim tidak hanya harus fokus pada pengurangan emisi karbon, tetapi juga harus mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, dan budaya terhadap masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT
Dalam siaran pers oleh Aksi! for gender, social, and ecological justice dan Solidaritas Perempuan, diungkapkan bahwa perempuan, yang sering kali menjadi penjaga sumber daya alam dan pengambil keputusan di tingkat komunitas, merasa terpinggirkan dalam proses pengambilan keputusan terkait proyek geothermal. Hal ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender yang mendalam, di mana suara perempuan tidak diperhitungkan dalam rencana yang berdampak langsung terhadap kehidupan mereka.
Keberhasilan proyek energi terbarukan, termasuk geothermal, tidak dapat dicapai tanpa melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam pengambilan keputusan. Melalui pendekatan yang menghargai dan melibatkan masyarakat, kebijakan energi dapat diimplementasikan dengan cara yang tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga adil secara sosial. Kajian dari WALHI dan CELIOS juga menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang mengandalkan sumber daya alam, seperti air, berisiko kehilangan akses terhadap sumber tersebut akibat proyek geothermal yang tidak transparan dan tidak partisipatif.
ADVERTISEMENT
Evaluasi kebijakan geothermal di Indonesia menunjukkan bahwa banyak proyek yang saat ini berjalan tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial dan ekologi yang diusung oleh Vandana Shiva. Kejadian di Pocoleok menjadi contoh nyata dari bagaimana pengembangan energi yang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan dampak lingkungan dapat menyebabkan pelanggaran HAM dan krisis sosial. Vandana Shiva juga pernah berpendapat bahwa kekayaan hayati negara-negara miskin terlalu sering diambil alih oleh perusahaan-perusahaan global yang tidak meminta persetujuan tuan rumah mereka maupun membagi keuntungan. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk meninjau kembali kebijakan yang ada, dengan memasukkan suara dan kepentingan masyarakat lokal sebagai bagian integral dari proses pengambilan keputusan. Solusi iklim tidak boleh dibiarkan terus-menerus memberi keuntungan lebih banyak untuk korporasi dan lembaga keuangan internasional daripada masyarakat lokal yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari kebijakan yang ada.
ADVERTISEMENT