Konten dari Pengguna

Hantu-Hantu Korupsi Politik: Aktor Utama Oligarki dan Pejabat Anti-Kritik

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law.
31 Agustus 2023 17:39 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Oligarki. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Oligarki. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Munculnya korupsi politik berbanding lurus dengan lemahnya atau tidak adanya kontrol terhadap praktik penyelenggaraan kekuasaan negara”, demikian yang disebutkan oleh Artidjo Alkostar. Korupsi politik diaktifkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mendominasi dan melindungi kepentingan mereka dalam sistem politik. Bagaimana caranya? Dengan korupsi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya karena kekuasaan yang dimiliki, mereka akhirnya kebal serta terhindar dari pemeriksaan dan proses hukum yang adil. Dari kekuasaan itu pula, pelaku korupsi politik ini dengan mudah memperoleh akses tercepat untuk kemudahan demi keuntungan dan keamanan bagi status quo-nya. Dari keserakahan tersebut, pada akhirnya yang merugi dan menjadi korban adalah rakyat yang sejatinya memiliki kedaulatan tertinggi di negara ini.
Mengambil judul “Hantu-Hantu Korupsi Politik” bukanlah tanpa alasan. Dengan judul itu, kita bisa mendefinisikan situasi saat ini. Pelaku korupsi politik begitu menyeramkan, menghantui, melakukan aktivitasnya yang merugikan publik, namun ia tak bisa diadili karena kekuasaannya.
Sangat mencekam, sekaligus lucu membayangkan ia tumbuh subur di negara yang tak henti-henti mengeklaim nilai-nilai keadilan dan demokrasi di dasar negaranya. Bahkan di jargon-jargon lembaga mereka masing-masing.
ADVERTISEMENT
Hal penting berikutnya adalah penulis perlu menekankan bahwa tulisan ini disusun bukan untuk menakut-nakuti apalagi menebar kebencian, melainkan rangkaian pemikiran ini ingin menyampaikan fakta dan beberapa pertimbangan untuk pembaca sebelum menyikapi situasi korupsi hari ini.
Salah satu hantu korupsi politik yang terpilih untuk diulas dalam tulisan ini adalah “oligarki”, sebagai aktor utama di korupsi politik. Di sini penulis meminjam definisi oligarki versi “pemerintahan dari atas yang menjadikan Negara sebagai alat untuk mencapai tujuan kelompok elite, sehingga tujuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kemerdekaan perorangan biasanya tidak dapat (sulit)”.
Bunyinya sangat familiar dan dekat dengan bentuk praktik korupsi politik: penyuapan, trading in influence, pembelian suara, nepotisme, dan pembiayaan kampanye. Oligarki mengacu pada kelompok individu atau perusahaan yang memiliki kekuasaan dan pengaruh ekonomi yang sangat besar dalam suatu negara. Mereka sering kali memanfaatkan posisi dan koneksi politik mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik korupsi. Oligarki memanipulasi sistem politik dan ekonomi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan keuntungan mereka.
ADVERTISEMENT
Salah satu alat utama oligarki dalam memperoleh keuntungan adalah melalui koneksi dan hubungan dengan pejabat pemerintah. Dari sini akan sangat dekat aktivitasnya dengan praktik korupsi politik dalam bentuk trading in influence yang berujung pada penyuapan. Membuktikan benar atau tidaknya pun akan menjadi tantangan besar, karena pasti sulit atau jarang sekali kita melihat pejabat publik yang transparan. Oligarki menggunakan lobi dan suap untuk mempengaruhi kebijakan publik yang menguntungkan mereka sendiri, dan di situlah celah pelibatan aktivitas seperti penyelewengan dana publik, pemerasan, hingga penyuapan.
Oligarki juga berperan dalam menjaga status quo yang menguntungkan mereka, mencegah protes serupa gerakan reformasi yang dapat mengancam kekuasaan dan keuntungan mereka. Dari modal ini akhirnya korupsi politik semakin subur karena modal yang berlimpah demi melanggengkan status quo yang ada. Modal itu, jauh lebih penting daripada “demokrasi”. Jauh.
ADVERTISEMENT
Makanya dalam penerapan dan dalam agenda perolehan keuntungannya, mereka akan sangat gusar jika ada kritik yang disasar kepada mereka. Merespons itu, oligarki belajar dan mereka menanggapi protes ini dengan cara membungkam. Apa pun caranya. Makanya korupsi politik adalah pembunuh demokrasi yang nyata dalam suatu negara.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Hal itu berkaitan dengan hantu korupsi politik berikutnya, yaitu Pejabat Anti-Kritik. Mereka adalah individu dalam pemerintahan yang cenderung menentang kritik atau tindakan pencegahan terhadap korupsi politik. Jangan disangkal pula asumsi yang mengira mereka memang memiliki kepentingan pribadi dalam mempertahankan sistem korupsi atau terikat oleh hubungan dengan oligarki.
Jangan ragu dan jangan bimbang, fakta sudah ada di depan mata, tinggal baca berita dan rajin nge-cek kajian terbaru aja. Pejabat anti-kritik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka yang sering kali memainkan peran penting dalam melindungi praktik korupsi dengan menekan investigasi, menghambat proses hukum, mengabaikan laporan korupsi, atau upaya lainnya yang mencoba menutupi fakta-fakta korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tindakan pejabat anti-kritik juga mencakup pembatasan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, karena mereka ingin mempertahankan kendali atas informasi yang dapat mengungkap korupsi politik. Dengan membatasi akses ke informasi dan membatasi kebebasan berpendapat, mereka mencoba untuk mengontrol narasi dan menekan upaya pencegahan korupsi yang dilakukan oleh LSM, media independen, dan aktivis hak asasi manusia.
Padahal ada agenda masyarakat untuk membongkar kasus korupsi yang sampai hari ini menjadi rahasia umum di beberapa tataran kekuasaan. Untuk mengatasi masalah korupsi politik yang disebabkan oleh oligarki dan pejabat anti-kritik, sangat penting untuk menghadirkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem politik dan pemerintahan. Tapi itu tidak cukup tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, seperti lembaga anti-korupsi yang independen.
ADVERTISEMENT
Lebih dari itu, konkretnya, kita penting melakukan reformasi kebijakan yang membatasi kekuasaan dan pengaruh oligarki di dunia politik. Untuk mencegah, maka perlu regulasi yang lebih ketat untuk mencegah trading in influence. Lebih penting lagi, partisipasi publik harus didorong, dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dan memberikan ruang bagi suara rakyat dalam pengambilan keputusan politik.
Termasuk dalam mencegah dan menolak korupsi politik lainnya seperti pembelian suara, nepotisme, dan pembiayaan kampanye. Itu penting, karena dampak dari korupsi politik ini buka hal kecil. Ia merugikan bangsa, bahkan di skala yang lebih besar.
"Hantu-Hantu Korupsi Politik" menggambarkan korupsi sebagai entitas yang tersembunyi dan sulit diidentifikasi, merujuk pada praktik korupsi yang terjadi di balik layar atau di luar pandangan publik. Agar masyarakat dapat terus berpartisipasi mendorong pencegahan korupsi politik, perlu dibarengi advokasi untuk mewujudkan kebebasan berpendapat agar tidak berujung kriminalisasi.
ADVERTISEMENT
Sebab seperti itulah yang terjadi hari ini. Aktor Oligarki dan Pejabat Anti-Kritik mesti dikoreksi demi penghapusan praktik korupsi politik di Indonesia. Dengan begitu, “keadilan” tidak lagi di-monopoli oleh penguasa dan masyarakat bisa merasakan bagaimana rasanya diperlakukan sama di depan hukum. Terakhir yang tak kalah penting dalam memerangi korupsi politik adalah langkah-langkah yang ditempuh agar dapat menghadirkan kontrol terhadap praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.