Konten dari Pengguna

Pelanggar HAM Berat Menjadi Presiden: Bagaimana Impunitas Bekerja

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law. Public Interest Lawyer Assistant at Jakarta Legal Aid Institute.
15 Oktober 2024 17:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilihan pelanggar hak asasi manusia (HAM) berat sebagai presiden telah memunculkan keprihatinan yang mendalam terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM. Pelantikan pelanggar HAM menjadi presiden merupakan manifestasi nyata dari impunitas yang mengakar dalam sistem hukum Indonesia. Dengan terpilihnya presiden kali ini, harapan untuk penuntasan kasus pelanggaran HAM semakin menjauh, mencerminkan buruknya komitmen pemerintah dalam menyelesaikan kejahatan yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Impunitas dan Kesempatan untuk Mengulangi Kesalahan
Impunitas memberi peluang kepada pelaku untuk mengulangi kesalahannya karena tidak mendapatkan efek jera dari jeratan hukum. Ketika pelanggar HAM berat diangkat menjadi pejabat publik tanpa proses peradilan yang memadai, perilaku buruk tersebut bisa menjadi contoh buruk bagi orang lain, termasuk bawahannya. Misalnya, jabatan menteri atau anggota dewan, yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan perlindungan HAM, justru berpotensi memperburuk keadaan. Ini menyebabkan publik mulai meragukan kualitas kerja dan output dari individu-individu tersebut, serta kepercayaan terhadap negara dan sistem peradilan di Indonesia.
Fenomena Kekacauan Hukum
Kondisi ini dapat melahirkan fenomena main hakim sendiri dan kekacauan hukum. Masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada proses hukum, yang mengarah pada hilangnya legitimasi negara. Selain itu, kredibilitas Indonesia di mata komunitas internasional akan tergerus. Tindakan para pelanggar HAM yang menduduki posisi strategis dapat mengeluarkan aturan hukum atau regulasi yang tidak hanya berpotensi menghilangkan bukti keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM, tetapi juga mendegradasi hak-hak para korban. Keberadaan individu ini dalam posisi penting juga bisa menghambat upaya penyelesaian pelanggaran HAM.
ADVERTISEMENT
Keadilan yang Terpinggirkan
Apabila pelanggar HAM berat menjabat di posisi strategis, mereka berpotensi semena-mena terhadap hukum dan menghindari tanggung jawabnya terhadap korban. Dalam situasi ini, keadilan bagi korban semakin terpinggirkan. Mereka harus berhadapan dengan pelaku yang kini memiliki kekuasaan lebih, yang dapat menyebabkan trauma berkepanjangan dan memaksa korban untuk "berdamai" dengan pelanggar HAM. Ini mengarah pada persepsi bahwa isu pelanggaran HAM berat tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, menurunkan dukungan publik terhadap upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Ketidakpedulian Negara terhadap Korban
Dalam konteks ini, impunitas mencerminkan ketidakpedulian negara terhadap korban, sekaligus memicu potensi pelanggaran serupa di masa depan. Pengangkatan pelanggar HAM ke posisi publik tanpa mekanisme penilaian yang ketat menunjukkan kegagalan pemerintah untuk belajar dari kesalahan masa lalu. Ketidakmampuan sistem peradilan dalam menangani pelanggaran HAM berat memperparah keadaan.
ADVERTISEMENT
Penguatan Kekuasaan untuk Menghindari Akuntabilitas
Mengutip Zaenal Muttaqien, Sekretaris Umum Ikatan Orang Hilang Indonesia (IKOHI), “Mereka tahu, agar tidak diadili, maka harus berkuasa.” Hal ini menunjukkan bahwa pelaku pelanggaran HAM berupaya memperkuat posisi kekuasaan untuk menghindari akuntabilitas. Jika orang yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat terpilih sebagai presiden, pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili pelanggaran yang mereka lakukan jelas menciptakan konflik kepentingan.
Menghadapi Masa Depan dengan Tindakan Nyata
Penundaan pelantikan pelanggar HAM menjadi presiden menunjukkan bahwa mereka dianggap di atas hukum dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban. Ini melanggengkan impunitas dan mengabaikan kepentingan korban pelanggaran HAM berat. Negara harus mengambil langkah-langkah jaminan ketidakberulangan dengan menerapkan mekanisme vetting yang ketat untuk pejabat publik, agar tidak mengulang kesalahan sejarah.
ADVERTISEMENT
Keberadaan pelanggar HAM di posisi strategis hanya akan semakin mengikis kepercayaan publik dan merusak pondasi hukum yang seharusnya melindungi hak asasi setiap warga negara. Jika ada yang bertanya tentang impunitas dan bagaimana ia bekerja, lihatlah bagaimana presiden hari ini terpilih dan bagaimana ia berkuasa di masa depan.