Konten dari Pengguna

Pengawas Pulas, Kapan Kita Merdeka dari Impunitas?

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law.
1 September 2023 18:21 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Puluhan orang membawa poster korban pelanggaran HAM saat menggelar unjuk rasa di depan di depan Kantor Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Jalan Latuharhari Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/4). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Puluhan orang membawa poster korban pelanggaran HAM saat menggelar unjuk rasa di depan di depan Kantor Komnas Hak Asasi Manusia (HAM), Jalan Latuharhari Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (1/4). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hari-hari, warga mesti kelelahan. Lelah menyoroti, mengomentari, hingga berusaha untuk tidak peduli dengan lembaga pengawas atau penegak hukum yang lamban, enggan, dan tak punya keberanian dalam menindak pelanggaran hukum atau kejahatan. Aparat melanggar hukum–minta maaf–repeat, adalah alur yang terus berulang.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mungkin kita bisa merdeka dari impunitas, ketika pelaku kejahatan tidak dihukum atau dihadapkan dengan konsekuensi yang patut? Tulisan ini berupaya membumikan alasan dari pertanyaan: “mengapa pelanggaran berat HAM masa lalu harus terus digaungkan?”
Pemerintah dan para lembaga pengawas, gagal dalam memberantas korupsi serta penyalahgunaan kekuasaan. Alih-alih memeranginya, pejabat publik hari ini berlomba merawat kekebalan diri masing-masing agar terhindar dari jeratan hukum atas pelanggaran yang pernah dan akan mereka lakukan. Hukum disetir semata untuk menjaga kekuasaan.
Peretasan akun milik sipil yang menyampaikan kritik via medsos pribadinya tak pernah bersih diusut oleh aparat keamanan, represifitas yang kerap hadir di unjuk rasa pun tak pernah dievaluasi dan tak memunculkan perbaikan. Padahal saya/kita sudah muak dengan kata maaf yang tidak berguna.
ADVERTISEMENT
Betapa gagalnya bangsa ini jika “merdeka” cuma dimaknai dengan upacara bendera, angkat senjata, hormat tiang, dan hafal pancasila. Merdeka harusnya membuat masyarakat berdaya, bebas dari rasa takut untuk bersuara. Merdeka adalah terbebas dari pejabat publik yang merangkap jabatan. Merdeka artinya tidak dipimpin oleh militer aktif yang keputusannya tidak bisa dikoreksi. Merdeka adalah bebas dari impunitas pelanggaran HAM berat masa lalu.
Pelanggaran berat HAM masa lalu harus terus digaungkan sebagai eksplorasi upaya yang diperlukan untuk mencapai masyarakat yang bebas dari budaya impunitas. Hal ini penting utamanya ketika pelaku penyalahgunaan kekuasaan tidak pernah mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
Ketika para "pengawas pulas", maka mereka perlu dibangunkan. Fakta-fakta, dosa-dosa masa lalu, tak boleh sedetikpun terlupa apabila ia belum diselesaikan. Melupakan korban sama halnya dengan memperpanjang umur ketidakadilan. Poin penyelesaian pelanggaran HAM berat adalah mengenai jaminan ketidakberulangan.
ADVERTISEMENT
Lalu kapan kita merdeka dari impunitas? Bukan hal yang utopis, tapi memang butuh solidaritas dan kerja ekstra untuk menyisir para pelaku agar tidak abadi dalam menunggangi kekuasaan. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan memastikan akuntabilitas pemerintah atau otoritas, menjadi sangat krusial untuk itu.
"Merdeka dari Impunitas" memungkinkan untuk menjawab ketidakadilan dan impunitas di pemerintahan atau sistem hukum selama ini. Merdeka dari impunitas memungkinkan tumbuhnya iklim demokrasi yang sehat dan mendukung reformasi kelembagaan.
Bagaimana agar para pelaku ini tidak berkuasa? Caranya tentu saja bukan dengan menunggu ajal mereka yang tak tentu kapan datangnya. Mungkin dengan vetting mechanism, yaitu tools untuk memeriksa latar belakang calon pejabat publik demi memastikan mereka bebas dari potensi praktek korup dan diskriminatif yang berulang dan kebal hukum.
ADVERTISEMENT
Termasuk dengan memastikan kandidatnya bebas dari jejak pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Sayangnya tools ini masih jarang diterapkan, dan memang susah untuk memulainya. Hal itu karena tidak ada pelaku yang berkenan ketika dirinya diadili. Kita butuh banyak menguatkan solidaritas perlawanan karena kekuasaan bisa melahirkan apa saja. Para pejuang mestilah bernafas panjang sebab sejatinya kita belum merdeka, selagi impunitas pelanggar HAM masih nyata.