Konten dari Pengguna

Stop Ngatain Gen Z Pemalas

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law.
16 Oktober 2024 8:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva.
ADVERTISEMENT
Ah, Generasi Z! Generasi yang konon katanya malas, lebih suka main TikTok, dan tidak mau berusaha. Betul, bukan? Atau mungkin itu hanya mitos yang diciptakan oleh generasi yang lebih tua? Perlu kita selami lebih dalam tantangan yang dihadapi Gen Z di dunia kerja saat ini dan lihat apakah semua anggapan itu benar.
ADVERTISEMENT
Pekerjaan yang Tidak Stabil: Apakah Mereka Sebenarnya Malas?
Kita sering mendengar bahwa Gen Z itu sulit beradaptasi. Oh, coba lihat data: hampir 40% pekerja muda merasa cemas tentang masa depan pekerjaan mereka, menurut McKinsey & Company. Dengan pekerjaan yang bersifat sementara dan freelance, apakah bisa disalahkan jika mereka memilih jalan ini? Tentu saja, menjadi freelancer di platform gig economy seperti ojek online atau fastwork bukan karena mereka malas, tetapi lebih karena ketidakpastian yang membelenggu mereka, lebih ke ga punya pilihan aja sih.
Dalam tulisan Habis Utang Terbitlah Gelap, mengungkapkan bagaimana pekerjaan informal sering kali menjerat pekerja dalam siklus utang yang tidak ada habisnya. Jadi, mari kita tanyakan: apakah Gen Z itu malas, atau justru mereka terpaksa berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di tengah ketidakpastian? Data dari Kompas menunjukkan bahwa dari 5,6 juta pencari kerja Gen Z, hanya 2,8 juta yang berhasil mendapatkan pekerjaan. Itu artinya, hampir separuh dari mereka harus berjuang di pasar yang lebih ketat daripada memelihara tanaman hias di tengah musim kemarau.
ADVERTISEMENT
Tuntutan untuk Mandiri Secara Finansial: Gak Ada Pilihan!
Mari kita lanjut ke tekanan untuk mandiri secara finansial. Banyak dari mereka yang harus berjuang melawan utang pendidikan yang menggunung. Hmm, siapa yang tidak ingin memulai hidup dewasa dengan beban utang setinggi itu? Ini memaksa Gen Z untuk mencari pekerjaan yang tidak selalu sejalan dengan passion mereka. Katakanlah, mereka "terpaksa" bekerja.
Di Tirto.id, dijelaskan bahwa Gen Z berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan, dari mengikuti kursus hingga memperluas jaringan. Namun, dalam realitas yang pahit ini, 56% dari mereka merasa sulit menemukan pekerjaan yang cocok dengan kualifikasi mereka. Mungkin mereka harus mempertimbangkan karier sebagai petani sayuran organik di kebun belakang rumah, ya? Toh, mencari pekerjaan yang memuaskan di tengah sistem yang tidak berpihak pada mereka tampaknya lebih sulit daripada menemukan Wi-Fi gratis di tempat umum.
ADVERTISEMENT
Suara Gen Z yang Dikesampingkan: Siapa yang Peduli?
Di samping tantangan di atas, mari kita bicarakan satu hal lagi yang kerap diabaikan: suara Gen Z yang sering kali dikerdilkan di dunia kerja atau bahkan di dunia politik coi. Banyak dari mereka merasa pendapatnya tidak dianggap dan disalahkan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan. Ini bukan hanya masalah individu; ini adalah masalah sistemik -alias budaya senioritas- yang menghambat perkembangan dan ruang belajar mereka.
Sikap mengabaikan suara anak muda berdampak signifikan pada proses pengambilan keputusan dan kebijakan. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Harvard, hampir 65% Gen Z merasa bahwa mereka tidak memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam diskusi penting di tempat kerja. Alhasil, keputusan yang diambil sering kali tidak mencerminkan pandangan dan kebutuhan mereka. Siapa yang butuh masukan dari generasi yang akan mewarisi dunia ini, bukan?
ADVERTISEMENT
Ketika generasi ini merasa terpinggirkan, mereka terpaksa mencari cara alternatif untuk mengungkapkan suara mereka. Beberapa memilih untuk terjun ke dunia entrepreneurship, sementara yang lain lebih memilih untuk melakukan protes secara online. Apakah ini tindakan rebel? Mungkin, tapi apakah kita perlu mengabaikan suara yang jelas memiliki potensi untuk memicu perubahan? Tentu tidak.
Mencari Karier yang Sesuai dengan Nilai Pribadi: Gak Cuma Ngikut Arus!
Ah, idealisme Gen Z! Dalam survei oleh Deloitte, 77% dari mereka ingin bekerja di perusahaan yang memiliki tujuan sosial yang jelas. Tapi tunggu, bukankah kita semua tahu bahwa banyak perusahaan hanya menginginkan keuntungan? Ketika harapan bertemu dengan kenyataan, mereka terpaksa mengorbankan nilai-nilai itu demi keamanan finansial. Karena, siapa sih yang tidak ingin berkontribusi untuk dunia yang lebih baik, sambil terus membayar cicilan utang?
ADVERTISEMENT
Seperti yang ditekankan dalam tulisan Kompas, banyak Gen Z yang merasa terjebak antara harapan dan kenyataan. Ketika pekerjaan yang mereka inginkan tidak tersedia, mereka mencari cara untuk menciptakan peluang sendiri—mungkin dengan memulai bisnis kecil atau menjadi entrepreneur. Mungkin mereka berpikir, “Daripada menunggu pekerjaan yang tidak kunjung datang, lebih baik saya berjuang sendiri.” Namun, apakah ini bukan pilihan yang menyedihkan untuk sebuah generasi yang dianggap tidak berkomitmen?
Gen Z: Gak Malas, Cuma Terjebak dalam Dunia Kerja yang Gak Ramah!
Jadi, siapa yang bilang Gen Z tidak mau kerja? Mereka sedang berjuang keras di dunia kerja yang tidak selalu mendukung mereka. Dengan utang pendidikan yang menggunung, ketidakpastian pekerjaan, dan harapan untuk menemukan karier yang bermakna, tekanan yang mereka hadapi sangat nyata. Namun, mereka tetap berusaha untuk menemukan jalan menuju kemandirian finansial dan kepuasan profesional.
ADVERTISEMENT
Generasi ini menunjukkan ketahanan dan keberanian untuk menghadapi tantangan. Mereka tidak sekadar menunggu peluang, tetapi menciptakan sendiri. Jika ada satu hal yang perlu kita akui, itu adalah semangat Gen Z untuk bekerja dan beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah. Jadi, mari kita dukung mereka—karena siapa yang lebih tahu tentang berjuang, jika bukan mereka yang sedang berjuang?
Jadi tolonglah, jangan dikit-dikit mengkerdilkan Gen Z, kau pikir kita ini batu yang tidak terdampak apa-apa atas semua masalah struktural yang ada?