Konten dari Pengguna

Tiada Maaf untuk Jokowi

Renie Aryandani
a 2023 graduate of Indonesia Jentera School of Law.
17 Oktober 2024 16:11 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renie Aryandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Canva.
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Canva.
ADVERTISEMENT
Selama dua periode kepemimpinannya, Joko Widodo telah memperlihatkan narasi pembangunan yang kerap dipuja, namun kenyataannya penuh dengan dosa-dosa yang tidak bisa dihapus hanya dengan permintaan maaf. Mulai dari pelanggaran hak asasi manusia, kerusakan lingkungan, hingga kesenjangan ekonomi, pemerintahan Jokowi mewariskan luka mendalam yang sulit terobati. Sepuluh tahun ini, publik disuguhi janji kosong dan kebijakan yang lebih menguntungkan elite dibandingkan rakyat kecil.
ADVERTISEMENT
Pembangunan yang Mengorbankan Rakyat
Salah satu dosa terbesar Jokowi adalah ambisi pembangunan infrastrukturnya yang mengabaikan dampak sosial. Di balik gemerlap proyek-proyek seperti jalan tol, kereta cepat, dan ibu kota baru, banyak rakyat kehilangan akses tanah dan sumber kehidupan. Proyek infrastruktur ini lebih menguntungkan perusahaan besar dan investasi asing daripada petani, nelayan, dan masyarakat adat yang terpaksa tergusur. Narasi pertumbuhan ekonomi yang dibangun Jokowi menutupi kenyataan pahit bahwa pembangunan ini memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.
Gagal Menyelesaikan Pelanggaran HAM
Di bawah kepemimpinan Jokowi, pelanggaran HAM terus berlangsung, terutama terhadap aktivis lingkungan, masyarakat adat, dan mereka yang berani melawan kebijakan negara. Kasus-kasus kriminalisasi dan kekerasan di Papua hingga Poco Leok di NTT menunjukkan betapa jauh Jokowi dari retorikanya tentang keadilan. Permintaan maaf Jokowi atas pelanggaran hak asasi manusia seperti G30S, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi lainnya tak cukup untuk menutupi kegagalannya dalam menegakkan keadilan.
ADVERTISEMENT
Jokowi tidak hanya gagal membawa para pelaku pelanggaran HAM ke pengadilan, tetapi juga berkontribusi pada kemenangan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2024, seorang tokoh yang banyak dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dengan menjadikan Prabowo sebagai mitra politik, Jokowi melanggengkan rantai impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM, mengabaikan tanggung jawab moral untuk mengatasi sejarah kelam Indonesia. Sejumlah organisasi hak asasi manusia, seperti KontraS, telah mengingatkan bahwa baik Jokowi maupun Prabowo sama-sama memiliki catatan buruk terkait pelanggaran HAM, dan langkah-langkah konkret untuk menuntut pertanggungjawaban tetap minim. Ini menunjukkan bahwa Jokowi, alih-alih mendorong keadilan, justru memperkuat kekuasaan mereka yang memiliki reputasi kelam.
Ketergantungan pada Energi Kotor
Alih-alih menunjukkan komitmen pada perubahan iklim, pemerintahan Jokowi terus bergantung pada energi kotor seperti batu bara dan energi panas bumi. Pemerintahannya mendukung proyek-proyek energi yang merusak lingkungan dan menggusur masyarakat lokal. Penghancuran hutan, alih fungsi lahan, dan pencemaran sumber daya alam terus berlanjut tanpa pengawasan ketat, menandakan kegagalan dalam menjalankan janji untuk melindungi lingkungan. Hal ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sentralisasi Kekuasaan dan Kelemahan Demokrasi
Jokowi kerap membanggakan demokrasi, namun pada kenyataannya, pemerintahan ini semakin tersentralisasi dan melemahkan checks and balances. Dengan semakin kuatnya peran oligarki, keputusan politik sering kali diambil tanpa keterlibatan rakyat. Revisi undang-undang KPK, omnibus law yang penuh kontroversi, dan pengangkatan pejabat strategis yang diduga korup menandakan bahwa demokrasi Indonesia di bawah Jokowi semakin terkikis. Rakyat semakin sulit untuk menyuarakan aspirasi mereka tanpa risiko dikriminalisasi atau dibungkam.
Dinasti Politik yang Mengancam Demokrasi
Dengan masa jabatan yang akan berakhir pada 20 Oktober 2024, Jokowi gagal mendapatkan dukungan untuk memperpanjang kekuasaannya, namun dinasti politiknya mulai mencuat. Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, kini menjadi wakil presiden, sementara adiknya, Kaesang Pangarep, bersiap menjadi kontestan pemilihan kepala daerah. Dinasti politik ini menciptakan peluang bagi penguasaan kekuasaan yang lebih luas, di mana kehadiran Bobby Nasution, menantu Jokowi dan Wali Kota Medan, menunjukkan bahwa keluarga Jokowi akan tetap terlibat dalam politik, mengancam keadilan pemilu yang jujur dan adil.
ADVERTISEMENT
Leverage politik ini tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga menunjukkan praktik legalisme otokratik di mana hukum dipakai untuk mengesahkan pelanggaran dan kepentingan politik. Seperti yang diungkap oleh filsuf Swiss, Jean-Jacques Rousseau, demokrasi yang sehat memerlukan "lambung" yang kuat, namun di bawah kepemimpinan Jokowi, demokrasi Indonesia pelan-pelan membusuk, mengakibatkan kerusakan di sektor-sektor penting.
Kesenjangan Ekonomi yang Semakin Lebar
Meski Jokowi berulang kali membanggakan keberhasilan menurunkan angka kemiskinan, faktanya kesenjangan ekonomi semakin lebar. Reformasi ekonomi yang dijalankan hanya menguntungkan segelintir elit, sementara rakyat kecil berjuang menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok, stagnasi upah, dan minimnya perlindungan sosial. Kesenjangan ini menjadi cerminan dari kegagalan pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan keadilan sosial dan ekonomi yang seharusnya menjadi tujuan utama pembangunan.
ADVERTISEMENT
Kegagalan dalam Sektor Pendidikan dan Kesehatan
Sektor pendidikan dan kesehatan juga mengalami kemunduran di era Jokowi. Walaupun anggaran pendidikan meningkat, kualitas pendidikan masih tertinggal jauh, terutama di daerah-daerah terpencil. Sistem pendidikan yang birokratis dan kurang fleksibel semakin menyulitkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Di sisi lain, pandemi COVID-19 memperlihatkan rapuhnya sistem kesehatan Indonesia, di mana fasilitas kesehatan yang kurang memadai dan kebijakan yang terlambat menyebabkan banyak korban berjatuhan.
Tidak ada Maaf untuk Jokowi
Sepuluh tahun kekuasaannya dipenuhi dosa-dosa politik yang hanya memperkuat cengkeraman oligarki, memperburuk ketidakadilan, dan merusak demokrasi. Permintaan maaf tidak cukup untuk menebus dosa-dosa ini. Rakyat Indonesia berhak atas pemerintahan yang lebih baik, yang benar-benar berpihak pada keadilan sosial, demokrasi yang sehat, dan lingkungan yang lestari.
ADVERTISEMENT