Konten dari Pengguna

Alasanku Mengikuti Jejak Ayahku Jadi Seorang Diplomat

Renita J. Moniaga
Indonesian diplomat with a passion for the soft things in life like travel, food and culture.
18 Agustus 2019 13:36 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Renita J. Moniaga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto penulis dengan ayah, Bali Moniaga (Foto: Dok. Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Foto penulis dengan ayah, Bali Moniaga (Foto: Dok. Pribadi)
ADVERTISEMENT
Saat masih kecil, saya tak ada bedanya dengan anak-anak kebanyakan. Maksudnya, saya suka mendapat pertanyaan: Kalau sudah besar, mau jadi apa?
ADVERTISEMENT
Banyak yang berpikir bahwa saya ingin mengikuti jejak karier ayah saya, menjadi seorang diplomat. Jujur, menjadi diplomat sebenarnya bukan pilihan profesi pertama saya. Waktu kecil, jawaban saya atas pertanyaan di atas adalah jadi artis, jurnalis, atau dokter.
Namun, ada beberapa faktor yang akhirnya memotivasi saya untuk menjadi diplomat seperti ayah. Apa saja faktor-faktor itu? Berikut saya akan menceritakannya kepada anda.
1. Masa Kecil Saya
Sebagai seorang anak diplomat, saya tumbuh besar di lebih dari satu kota: Jakarta, Jenewa, London, dan New York. Anak-anak seperti saya biasanya disebut sebagai Third Culture Kids (TCK) karena punya pengalaman mengikuti orang tua tinggal di berbagai negara, sehingga berbagai budaya (Barat dan Timur) terasimilasi membentuk semacam budaya ketiga.
ADVERTISEMENT
Dari kecil, saya merasa diri saya ini adalah global citizen. Ada beberapa negara yang saya sebut sebagai 'my home'. Meski demikian, Indonesia akan tetap dan selalu menjadi Tanah Air saya.
Karena sering berpindah tempat dari satu negara ke negara lain, maka bagi saya tinggal di luar negeri itu sudah menjadi suatu kebiasaan. Saya senang bepergian ke tempat-tempat baru dan bertemu dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Tinggal di luar negeri, terutama di kota yang multikultural, seperti New York City, banyak nilai-nilai positif yang saya pelajari dan penting untuk dimiliki sebagai seorang diplomat. Nilai-nilai seperti toleransi, empati, keragaman, dan pemahaman antarbudaya.
Karena selalu menjadi anak baru di setiap sekolah, maka saya harus lebih luwes dan supel dalam bergaul dan mencari teman. Ada kalanya juga, saya di-bully di sekolah karena dianggap 'berbeda'.
ADVERTISEMENT
Ketika saya berusia sekitar tujuh tahun, ayah ditugaskan di London dan masih teringat setiap pagi saya menangis di sekolah karena tidak mampu berbahasa Inggris dan sulit berteman. Untuk belajar Bahasa Inggris, setiap hari selama setahun, saya diajarkan secara khusus oleh seorang guru setelah jam sekolah, sampai akhirnya saya mampu menguasai Bahasa Inggris dengan baik.
Namun ketika saya pulang ke Jakarta, muncul masalah baru, yaitu Bahasa Indonesia saya jadi tidak lancar dan anak-anak di sekolah memanggil saya “bule”. Kenapa? Sebab, kalau berbicara dalam Bahasa Indonesia, logat Inggris saya muncul.
Foto masa kecil di Swiss tahun 1987 (Foto: Dok. Pribadi)
Foto bersama teman SD di London tahun 1993 (Foto: Dok. Pribadi)
Foto keluarga saat liburan di pantai di Inggris tahun 1993 (Foto: Dok. Pribadi)
Pengalaman-pengalaman di atas mengajarkan saya bahwa beradaptasi di berbagai lingkungan berbeda itu penting dan merupakan sebuah skill yang berharga bagi seorang diplomat yang harus berpindah-pindah negara.
ADVERTISEMENT
Dibesarkan di sebuah keluarga diplomat juga berarti bahwa Kementerian Luar Negeri dan dunia diplomasi bukan ranah yang asing bagi saya. Pengetahuan tentang protokol, tata krama menjamu, dan komunikasi lintas budaya telah diajarkan oleh orang tua sejak usia kecil.
Foto ayah dan ibu setelah ayah dilantik menjadi Duta Besar RI untuk Brasil (Foto: Dok. Pribadi)
2. Latar Belakang Pendidikan Saya
Waktu mengambil pendidikan S1, saya belum tahu akan mengambil jurusan apa. Jadi, saya belajar di sekolah liberal arts di upstate New York bernama Hamilton College.
Pilihan liberal arts college memungkinkan siswa-siswinya untuk mengambil berbagai mata pelajaran yang di luar jurusan utamanya. Jadi, saya boleh mengambil mata pelajaran yang lebih beragam dari bidang seni, ekonomi, biologi, sastra Italia serta ilmu sosial.
Sampai akhirnya, pada tahun kedua (sophomore year), saya memilih Hubungan Internasional (HI) sebagai jurusan utama saya. Kenapa HI? Karena saya tertarik untuk mencari solusi mengenai isu-isu global dan saya menyadari betapa pentingnya untuk memahami kebijakan politik luar negeri setiap negara.
ADVERTISEMENT
Salah satu kejadian yang memengaruhi keinginan saya mengambil jurusan HI adalah Tragedi 9/11, karena saat kejadian itu saya tinggal di New York. Saya berada di sekolah pagi itu, tepatnya sedang senam pagi, lalu melihat salah satu pesawat menuju ke Twin Towers. Serangan teror terburuk dalam sejarah itu telah mengubah geopolitik dunia.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana kebijakan luar negeri Amerika beralih fokus kepada War on Terror dan bagaimana kebijakan tersebut berdampak kepada hubungan bilateral Amerika dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Di kampus, saya menjelaskan kepada teman-teman saya bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan muslim moderat.
Serangan teroris yang terjadi di Bali dan tempat-tempat lain di Indonesia merusak citra negara kami yang damai, multietnis, dan hidup rukun antaragama. Di rumah, saya juga sering berdiskusi dengan ayah mengenai isu-isu internasional seperti perang di Irak dan politik luar negeri Indonesia. Oleh karenanya, hubungan internasional menjadi pilihan jurusan yang tepat bagi saya.
ADVERTISEMENT
Saya juga mendapat motivasi untuk menjadi diplomat dari salah satu dosen saya di Hamilton College yang mengajar teori Hubungan Internasional. Saya ingat Profesor Carlos Yordan mengatakan kepada saya bahwa masih kurang representasi wanita di hampir semua pemerintah di dunia. Dan sebagai diplomat wanita, saya ingin bisa berperan secara positif dan aktif di dalam kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Foto bersama teman-teman kuliah tahun 2004 (Foto: Dok. Pribadi)
Foto ayah saat bertugas di PTRI New York tahun 2000. Di latar belakang masih ada Twin Towers (Foto: Dok. Pribadi)
Foto penulis saat tinggal di New York (Foto: Dok. Pribadi)
3. Passion dan Career Goal Saya
Ayah saya selalu berkata bahwa semua orang perlu memiliki passion dan semangat yang tinggi untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Saya menyadari bahwa saya mempunyai strong desire untuk memajukan politik luar negeri Indonesia agar Indonesia dapat lebih berperan di dunia internasional.
Ketika saya tinggal di luar negeri, orang-orang selalu bertanya saya berasal dari mana. Ketika saya mengatakan saya orang Indonesia, saya menyadari bahwa banyak orang di luar negeri tidak tahu banyak tentang Indonesia. Sebagai diplomat, salah satu tugas utama kami adalah mewakili dan mempromosikan Indonesia di luar negeri, dan saya ingin menjadi bagian dari upaya untuk memperkenalkan budaya Indonesia dan kepentingan nasional Indonesia di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Saya juga punya passion untuk traveling, mengenal budaya-budaya baru, mencoba kuliner dari mancanegara, dan berteman dengan orang-orang dari berbagai bangsa dan kebudayaan. Menjadi seorang diplomat akan memenuhi passion saya untuk merealisaikan hal-hal tersebut.
Pada Agustus 2010, saya mengikuti tes ujian masuk untuk bergabung dengan Kementerian Luar Negeri. Pada tahun 2011, saya diterima untuk mengikuti diklat Sekolah Dinas Luar Negeri (SEKDILU) angkatan ke-36. Sekarang sudah sekitar 8 tahun saya berkarier di Kemlu dan banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan.
Foto bersama teman-teman Sekdilu angkatan ke-36 (Foto: Dok. Pribadi)
Penutupan diklat Sekdilu angkatan ke-36 tahun 2011 (Foto: Dok. Pribadi)